Penyiksaan Seksual Tidak Manusiawi, Pelaku Harus Diproses Hukum
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Aksi penghakiman massa yang dilakukan terhadap sepasang muda-mudi di Cikupa, Tangerang, Banten yang dituduh berbuat mesum pada Sabtu (11/11) pekan lalu terus menuai kecaman dari berbagai kalangan, terutama dari kelompok aktivis perempuan. Tindakan tersebut dinilai sebagai bentuk penyiksaan seksual dan penghukuman yang tidak manusiawi dan bernuansa seksual yang dilakukan oleh masyarakat.
Tindakan yang dilakukan oleh para pelaku bertentangan dengan hak-hak yang dijamin oleh konstitusi dan undang-undang. Karena tanpa pembuktian melalui proses hukum, masyarakat tidak berhak untuk melakukan penghukuman, penganiayaan, dan melanggar hak kebebasan orang lain yang dijamin dalam konstitusi.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam keterangan pers, yang disampaikan para komisioner Adriana Venny, Khariroh Ali, Mariana Amiruddin, dan Nina Nurmila, Rabu (15/11) mengutuk keras penganiayaan dan pengeroyokan oleh oknum yang mengatasnamakan warga setempat.
“Tindak main hakim sendiri ini telah meruntuhkan integritas dan martabat korban secara personal, termasuk juga keluarganya, dan akan berdampak panjang pada masa depan korban,” ujar Mariana.
Seperti diberitakan sepasang kekasih RN (28) dan MA (20), Sabtu (11/11) malam mengalami penganiayaan oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan warga setempat, seusai makan malam di rumah kontrakan MA, di Kampung Kadu RT 007 RW 003 Kelurahan Sukamulya, Cikupa. Keduanya dituduh berbuat mesum. Kejadian memilukan itu bermula ketika RN datang ke rumah kontrakan MA. Pria yang berencana menikahi MA ini membawa makanan untuk disantap berdua pada pukul 22.00.
Beberapa menit setelah RN masuk rumah, T (44), ketua RT setempat, menggedor pintu kontrakan. Tak lama, T bersama ketua RW berinisial G (41) serta warga berinisial A (37) masuk ke rumah itu. Mereka mendapati MA dan memaksa perempuan itu mengaku telah berbuat mesum dengan pacarnya. Padahal, saat itu, kedua korban tidak melakukan tindakan asusila, tetapi baru selesai makan. Kedua korban diarak keluar kontrakan menuju jalan raya, dipukuli dan ditempeleng agar mengaku telah berbuat mesum.
Tak hanya, itu para pelaku juga memaksa membuka baju MA. Sebelumnya RM sudah ditelanjangi kemudian dilindung MA dengan memberikan kemejanya. Proses kekerasan tersebut direkam seorang warga. Akibat perlakuan tersebut, kedua korban mengalami luka dan lebam pada sekujur tubuh mereka.
Polri perlu mengoptimalkan peran Babinkamtibmas untuk bertindak lebih cepat dalam mencegah dan menangani penghakiman massa, agar masyarakat sadar hukum dan tidak melakukan main hakim sendiri
Karena itulah, selain mengapresiasi langkah kepolisian yang menangkap para pelaku, Komnas Perempuan juga mendesak pihak kepolisian memproses hukum para pelaku penyiksaan seksual serta penghukuman tidak manusiawi bernunasa seksual, termasuk yang membuat video dan memviral rekaman video tersebut.
“Polri perlu mengoptimalkan peran Babinkamtibmas untuk bertindak lebih cepat dalam mencegah dan menangani penghakiman massa, agar masyarakat sadar hukum dan tidak melakukan main hakim sendiri,”kata Adriana.
Selanjutnya untuk mencegah penghakiman dan stigma berlanjut terhadap korban dan mencegah adanya replikasi atas tindakan kekerasan oleh pihak-pihak lain, masyarakat diminta segera menghentikan penyebaran video penyiksaan seksual tersebut.
“Media untuk tidak lagi mengekspos perempuan korban dalam pemberitaan, sebagai bagian dari upaya mendukung pemulihan korban,”tambah Khariroh Ali.
Pendampingan Korban
Pada bagian lain, lanjut Adriana, Komnas Perempuan meminta agar pihak keluarga dan lembaga pendamping korban agar segera melakukan pendampingan bagi korban dan mengupayakan pemulihan yang komprehensif.
Kami mendukung pihak keluarga korban untuk melakukan pemulihan terhadap korban, karena tindakan penyiksaan seksual tersebut dapat menyebabkan dampak psikologis yang kompleks dan jangka panjang
“Kami mendukung pihak keluarga korban untuk melakukan pemulihan terhadap korban, karena tindakan penyiksaan seksual tersebut dapat menyebabkan dampak psikologis yang kompleks dan jangka panjang,”tegas Nina.
Pada bagian lain, Komnas Perempuan juga meminta tokoh-tokoh agama dan pemuka masyarakat, serta institusi pendidikan utuk memberikan perhatian serius terhadap menguatnya budaya kekerasan di masyarakat dan agar kasus-kasus main hakim sendiri tidak terus berulang.