Negeri Impian Buya Syafii Maarif
Seperti apa negeri impian Ahmad Syafii Maarif? Indonesia yang berdaulat dan bebas korupsi menjadi tantangan besar yang harus dijawab generasi penerus bangsa untuk mewujudkannya.
Impian Buya Syafii Maarif tersebut dapat ditelusuri dari buah pemikirannya saat menulis tentang peringatan 68 tahun kemerdekaan bangsa serta masa depan Indonesia di 2050. Keinginan tersebut dilandasi harapan dan kondisi yang masih terjadi saat ini karena kedaulatan bangsa belum sepenuhnya tercapai dan praktik korupsi yang masih saja terus terjadi.
Makna kedaulatan yang dimaksud adalah tekad untuk mengembangkan potensi kebangsaannya dan bebas dari campur tangan pihak asing. Kondisi ini menuntut hal mendasar pembangunan bangsa, yaitu sumber kreativitas dan dinamika pembangunan nasional dijalankan seutuhnya oleh bangsa Indonesia.
Pengembangan potensi kebangsaan itu bertujuan untuk menghadirkan seluruh rakyat Indonesia sebagai manusia penuh (full human). Karena dalam kondisi terjajah, kemanusiaan dan harkat bangsa diperlakukan tidak utuh. Bangsa Indonesa tidak mendapatkan hak-hak dasarnya dan tidak bebas menjalankan kehidupannya.
Sebagian kondisi tersebut masih dijumpai selepas Indonesia merdeka. Masih belum terpenuhinya sisi kemanusian bangsa dapat dilihat dari kondisi masyarakat seperti kemiskinan, desa tertinggal, dan pengangguran. Merujuk data BPS, penduduk miskin di Indonesia pada September 2021 masih ada 26,5 juta orang. Jumlah warga yang menganggur sebesar 8,4 juta pada Februari 2022. Sedangkan Indeks Desa 2021 mencatat masih terdapat 3.299 desa tertinggal di Indonesia.
Padahal Indonesia sudah memliki modal utama mewujudkan kedaulatannya, yaitu kemerdekaan bangsa yang diraih pada 1945. Lebih lanjut Buya Syafii menyebut dua hambatan yang membuat bangsa Indonesia belum dapat mengaktualisasi modal utama tersebut. Hambatan tersebut berupa kendala mental dan kultural.
Pemikiran Buya Syafii ini menarik untuk direnungkan. Apa yang menjadi penyebab bangsa ini belum berdaulat ternyata lebih karena faktor internal masyarakat Indonesia itu sendiri, baik sebagai individu warga maupun sebagai penyelenggara Negara. Ini artinya dari dalam diri bangsa itulah problem itu berasal.
Hal ini dicontohkan di daerah kelahirannya Sumpur Kudus, Sumatera Barat. Dulu di awal-awal kemerdekaan bangsa, masih sangat sulit menemukan sekolah. Hanya terdapat Sekolah Rakyat yang menjadi tanda pendidikan tertinggi di wilayah itu. Gerak pembangunan membuat sekolah makin banyak didirikan dan mudah dijangkau. Demikian pula dengan layanan kesehatan, insfrastruktur jalan, dan fasilitas publik. Jaringan listrik juga mulai menerangi permukiman warga.
Berbagai berkat kemerdekaan tersebut sebenarnya menawarkan sejumlah peluang bagi masyarakat untuk berkembang. Masuknya listrik bisa digunakan warga untuk keperluan berbagai usaha atau bisnis. Namun, tidak semua penduduk memanfaatkan potensi tersebut karena sebagian besar penduduk desa tidak terlatih.
Di sisi lain belum semua desa di Indonesia dapat menikmati hasil pembangunan. Keterbatasan sumber daya manusia dan praktik korupsi oleh birokrasi dan politisi membuat masih ada wilayah-wilayah desa terpencil yang tetap tertinggal hingga saat ini.
Masa depan
Kendala mental dan kultural bangsa tersebut dapat mengancam kesejahteraan bangsa di masa depan. Buya Syafii melihat ada satu kondisi yang akan dihadapi Indonesia nanti di 2050. Kondisi itu juga bersumber dari keberadaan masyarakat yaitu penambahan jumlah penduduk. Dengan perkiraan lebih dari 300 juta penduduk pada 2050 nanti, problem sosial dan ekonomi yang dihadapi bangsa Indonesia di masa depan akan semakin besar.
Populasi yang bertambah akan berdampak pada kebutuhan tempat tinggal, bahan pangan, dan kebutuhan energi. Namun dari sekian ragam tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia, ada dua hal yang paling dikhawatirkan Buya Syafii, yaitu tingkat korupsi dan perusakan hutan. Keduanya bersumber dari peningkatan kebutuhan hidup manusia yang semakin besar.
Jumlah penduduk yang terus bertambah akan membutuhkan tempat tinggal dan makanan. Untuk mencukupi kebutuhan tempat tinggal, kekayaan alam nusantara seperti lahan hutan dan pertanian lambat laun pasti akan terpangkas. Belum lagi peningkatan kebutuhan energi yang membutuhkan eksploitasi bahan tambang.
Tanpa wawasan masa depan, kelestarian lingkungan terutama hutan akan terancam. Praktik korup dan rusaknya hutan ini ditautkan oleh perilaku politisi/birokrasi buruk dan pengusaha hitam yang mengancam kehidupan alam hayati. Ditambah cengkeraman pengaruh asing kedaulatan bangsa dalam hal sumber daya alam seperti deforestasi makin terancam.
Melihat data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), pada periode 2015-2020, laju deforestasi mencapai 10 juta hektar per tahun. Deforestasi ini antara lain dipicu kebakaran hutan yang menyebabkan hilangnya hutan-hutan. Sepanjang 2019, Indonesia kehilangan 1,65 juta hektar hutan.
Memang deforestasi tak bisa dihindari untuk kebutuhan pembangunan. Tetapi perilaku korup dalam diri bangsa Indonesia bakal membuat krisis hutan semakin cepat terjadi. Padahal hutan dan air di mana pun adalah sumber kehidupan paling utama bagi manusia.
Menurut Buya Syafii, tidak ada sebuah pulau pun yang terbebas dari kerusakan lingkungan. Jawa, pulau terpadat di Indonesia, kian minim lahan hijau karena telah berubah menjadi lingkungan perumahan dan perkantoran. Di masa depan, jika ketimpangan pembangunan antarwilayah tidak diatasi dan distribusi penduduk tidak mengalami pemerataan, pada 2050 Pulau Jawa bisa menjadi daerah yang kering dan didera problem kemiskinankota.
Dengan penduduk 273 juta saja pada tahun 2021, bangsa Indonesia sudah mengalami berbagai masalah sosial dan ekonomi yang berimpit. Apalagi nanti jika memiliki lebih dari 300 juta penduduk.
Dari pemikiran di atas, keprihatinan mendasar terhadap masa depan Indonesia tetap berpangkal pada masalah sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia akan memengaruhi kualitas lingkungan hidup dan perilaku korup pejabatnya.
Cita-cita bangsa
Mencermati dua tantangan yang dihadapi bangsa saat ini dan di masa depan, akar masalah tersebut bermula dari mental bangsa. Kedaulatan bangsa berhadapan dengan kendala mental dan kultural, sedangkan masa depan bangsa berhadapan dengan kelestarian sumber daya alam dan perilaku korup.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Buya Syafii memberikan jalan terang agar pada 2050 generasi penerus bangsa bisa tetap melangkah maju dengan optimis. Langkah pertama adalah mencari negarawan-negarawan dengan wawasan yang jauh menembus ke masa depan.
Sosok negarawan ini dibutuhkan untuk melihat kondisi masyarakat Indonesia di desa-desa tertinggal. Harapannya, kualitas masyarakat Indonesia yang selama ini terpinggirkan turut mendapat berkat kemerdekaan dengan akses pendidikan, kesehatan, atau bantuan usaha. Dengan demikian sumber daya manusia yang terlatih dapat semakin banyak ditemukan di Tanah Air.
Negarawan ini juga dibutuhkan untuk memberikan teladan kejujuran bagi bangsa. Praktik korup dari birokrasi dan politisi yang merugikan kepentingan masyarakat luas membutuhkan hadirnya negarawan yang tidak memikirkan kepentingan diri.
Selain perilaku jujur, negarawan juga diharapkan memiliki orientasi masa depan. Sikap ini dibutuhkan untuk menghadapi sepak terjang politisi/birokrasi korup dan pengusaha tunamoral yang hanya berpikir jangka pendek dengan tujuan meraup keuntungan tanpa memedulikan kelestarian lingkungan.
Langkah kedua adalah menggali kembali cita-cita kemerdekaan bangsa. Kedaulatan yang deperjuangkan para pejuang bangsa bertujuan untuk melindungi segenap bangsa, melindungi tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan berbangsa tersebut harus terus menjadi pedoman bagi perjalanan bangsa.
Lihat juga: Melepas dan Mengenang Sosok Buya Syafii Maarif
Buya Syafii juga mengingatkan bahwa para pendiri bangsa Bung Karno dan Bung Hatta telah membangun corak masa depan bangsa dengan cukup jelas. Corak itu dibangun dari nilai-nilai persatuan bangsa yang dibangun dari keragaman bangsa. Modal kultural tersebut sebetulnya sudah ada sejak lama. Pembentukan bangsa telah mendahului pembentukan negara di Indonesia yang baru muncul melalui proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Ini artinya secara histori fondasi bangunan bangsa kita sudah jelas dan kokoh. Jangan sampai modal kebangsaan tersebut goyah atau runtuh akibat upaya adu domba dan pertentangan kelompok. Upaya nyata mewujudkan cita-cita bangsa adalah dengan melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan kembali ke marwah cita-cita besar bangsa, dasar negara Pancasila, serta pengelolaan negeri di tangan negarawan yang jujur, impian kedaulatan Indonesia di masa depan akan dapat terwujud. (LITBANG KOMPAS)