Urgensi Penguasaan Bahasa Tubuh Digital
Komunikasi virtual ternyata menggeser unsur penting dalam komunikasi. Cara menyampaikan pesan menjadi lebih penting dibandingkan dengan pesan. Akibatnya, bahasa tubuh digital memiliki peran krusial.
Judul : Bahasa Tubuh Digital: Bagaimana Membangun Kepercayaan dan Keterhubungan meski Jarak Memisahkan
Penulis : Erica Dhawan
Penerbit : PT Bentara Aksara Cahaya
Cetakan : 2021
Jumlah halaman: xxii+284 halaman
ISBN : 978-602-6486-66-0
Erica Dhawan, seorang pakar komunikasi, pembicara di acara global seperti TEDx, juga penulis buku best-seller berjudul Get Big Things Done: The Power of Connectional Intelligence, merupakan seorang keturunan India yang lahir dan tinggal di Amerika Serikat. Tumbuh di daerah pedesaan orang kulit putih yang konservatif di luar Pittsburgh, Ia berada di antara dua budaya yang sangat jauh berbeda, AS dan India.
Merasa tak memiliki keterikatan dengan India, juga bukan seorang Amerika tulen, Erica menjalani masa kecil dengan kesulitan untuk merasa berasal dari ”suatu tempat”.
Hal inilah yang memotivasinya mengembangkan beberapa trik, salah satunya mengartikan bahasa tubuh, sinyal dan isyarat dari teman-teman sekelasnya. Gadis-gadis populer berjalan dengan kepala mendongak tinggi, bahu ditarik ke belakang. Anak-anak yang lebih besar menunjukkan ketidaktertarikan mereka dengan duduk atau berdiri tidak tegak dalam pertemuan-pertemuan sekolah.
Erica juga mempelajari bahasa tubuh melalui film-film Bollywood yang ia tonton di VCR tua milik keluarga. Erica menggunakan bahasa tubuh yang dipelajarinya sebagai kekuatan. Ia akan menirukan bahasa tubuh teman-teman sekelasnya yang sangat percaya diri ketika dibutuhkan. Selain itu, Erica memanfaatkannya untuk lebih terkoneksi dengan sekitarnya.
Keseriusan mendalami bahasa tubuh membuat Erica menjadi percaya diri membawa kemampuannya ke ranah profesional, seperti menjadi pengajar public speaking di Harvard dan MIT. Erica kemudian menuangkan segala keahlian ke dalam buku berjudul Digital Body Language, yang kemudian diterbitkan dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Penerbit Bentara Aksara Cahaya berjudul Bahasa Tubuh Digital: Bagaimana Membangun Kepercayaan dan Keterhubungan meski Jarak Memisahkan (2021).
Setelah cerita panjang mengenai perjalanan Erica mendalami bahasa tubuh, mengapa yang ia tuliskan justru bahasa tubuh digital? Alasannya, invasi digital dalam komunikasi sehari-hari telah menggeser unsur penting komunikasi. Awalnya unsur penting komunikasi adalah pesan tersampaikan. Namun, dalam era serba virtual cara penyampaian menjadi lebih krusial. Di sinilah pengetahuan Erica akan bahasa tubuh mengambil peran.
Terbagi dalam 3 bagian, buku berjudul Bahasa Tubuh Digital mengelaborasi elemen gaya digital, 4 hukum bahasa tubuh digital, serta mengenai bahasa tubuh digital melintasi perbedaan.
Pada bagian pertama, Erica membuka mata pembaca bahwa pada era komunikasi digital, manusia tidak benar-benar menggunakan bahasa tubuh dalam berkomunikasi. Manusia hanya menuliskan bahasa tubuh dalam percakapan virtual. Padahal, bahasa tubuh memegang peranan penting dalam komunikasi. Bahasa tubuh membangun koneksi serta empati dalam komunikasi.
Diskoneksi digital
Keterbatasan seseorang mengaplikasikan bahasa tubuh dalam komunikasi virtual membuat sebuah keadaan yang Erica sebut sebagai ”diskoneksi digital”. Diskoneksi digital merupakan keadaan di mana interaksi tatap muka sangat berkurang. Di sisi lain interaksi secara virtual makin sering dilakukan. Namun, dalam interaksi virtual tersebut, bahasa tubuh nyaris tak bisa dibaca sehingga banyak orang salah menafsirkan, gagal menangkap, dan bahkan seiring berjalannya pola ini dalam waktu yang cukup lama, mereka bahkan mengabaikan aneka sinyal dan petunjuk satu sama lain. Dengan demikian, keterikatan emosi dan koneksi memburuk.
Erica menangkap masalah ini dan menawarkan prinsip yang dapat dipraktikkan untuk memiliki komunikasi digital yang ideal demi membangun koneksi serta empati. Empat prinsip tersebut adalah memberikan penghargaan nyata, berkomunikasi dengan hati-hati, berkolaborasi dengan penuh percaya diri, dan memercayai sepenuh hati.
Erica melengkapi penjelasannya dengan memberikan beberapa contoh bahasa tubuh digital praktis yang dapat dilakukan serta membandingkannya dengan yang biasanya dilakukan dalam percakapan konvensional. Misalnya, untuk membangun kepercayaan, dalam percakapan konvensional, bahasa tubuh yang biasanya dilakukan adalah dengan membuka kedua telapak tangan, tidak bersedekap, dan tidak menyilangkan kaki ketika duduk. Lalu, apa yang bisa dilakukan dalam dunia digital untuk menggantikan bahasa tubuh ini?
Erica meramu jurus jitu. Kepercayaan bisa dibangun dengan menggunakan bahasa lugas. Apalagi, untuk surel, jangan pernah mengirin blind carbon copy (BCC) tanpa peringatan apa pun, serta yang terlihat sederhana tetapi penting untuk dilakukan mengakhiri pesan dengan gestur ramah seperti ”Jangan segan untuk chat saya apabila ada kendala. Semoga ini membantu”.
Dalam dunia digital, berbagai gestur tersebut yang menjadi bahasa tubuhnya. Ketiadaan gestur-gestur akan menciptakan diskoneksi digital yang selanjutnya memicu rendahnya kepercayaan satu sama lain, kecemasan, bahkan mungkin kebingungan dalam menganalisis maksud lawan bicara.
Transformasi
Makin intensnya komunikasi melalui aplikasi pesan, surel, bahkan konferensi berbasis video seperti Zoom membuat orang tak lagi dapat mengandalkan suara, nada bicara, bahkan kontak mata saja. Lalu, apa yang dapat digunakan sebagai tolok ukur membaca intensi, bahkan persona seseorang yang berkomunikasi dengan secara virtual? Erica Dhawan secara jelas memberikanpencerahanterkait sinyal-sinyal bahasa tubuh digital terpenting serta korelasinya dengan kehidupan nyata.
Pertama, prioritas seseorang dapat dilihat dari pilihan media/jalur komunikasi yang dipilih. Kedua, emosi terbaca dari tanda baca dan simbol yang digunakan. Ketiga, rasa hormat seseorang dapat dilihat dari kecepatannya merespons pesan. Keempat, inklusi dari sebuah komunikasi terlihat dari siapa saja yang orang tersebut tempatkan pada kolom To, CC, BCC, dan Reply All. Kemudian yang terakhir, persona digital.
Dalam pekerjaan formal, pemilihan jalur komunikasi berperan penting menunjukkan skala prioritas, bahkan isyarat lain. Ketidaktepatan pemilihan saluran komunikasi dapat mengakibatkan mispersepsi, bahkan kesalahan penafsiran pesan. Begitu pula dalam menggunakan tanda baca, atau bahkan teknologi terbaru seperti emoji.
Bayangkan jika sebuah e-mail berisi sebuah laporan dikirimkan kepada atasan melalui surel. Kemudian, atasan memilih merespons dengan aplikasi pesan singkat hanya dengan mengirimkan satu tanda baca, yaitu tanda tanya. Kebingungan dan kecemasan tentu akan melingkupi pengirim e-mail.
Setidaknya ada tiga faktor sebagai landasan ketika hendak memilih saluran komunikasi, yaitu panjang pesan, kompleksitas isu, dan tingkat keakraban dengan penerima pesan. Pengirim pesan akan memilih dengan bijaksana menuliskan surel untuk menyampaikan isu yang cukup kompleks, tetapi terlalu panjang jika hanya dituliskan dalam media pesan singkat seperti Whatsapp. Namun, jika pesan yang ingin disampaikan adalah pesan yang membutuhkan respons segera, surel bukanlah pilihan tepat. Tentunya, ambiguitas seperti isi pesan yang sangat singkat perlu dihindari, atau tidak boleh dilakukan sama sekali.
Lebih jauh dari sekadar teknis berinteraksi dalam dunia digital, Erica Dhawan memaparkan seberapa penting bahasa tubuh digital dalam mengatasi kesenjangan serta menunjukkan empati. Demi menghargai orang lain secara nyata, seseorang dapat melakukannya dengan bahasa tubuh digital seperti tidak terburu-buru merespons sesuatu. Langkah proofreading terlebih dahulu sebelum membalas pesan orang lain perlu dilakukan. Erica berpendapat bahwa menulis sesuatu dengan jelas dan saksama merupakan cara baru menunjukkan empati serta penghargaan kepada orang lain secara nyata.
Masih banyak kiat yang dapat diterapkan demi memaksimalkan keterhubungan dengan orang lain dalam dunia serba digital. Bahkan, Erica menambahkan panduan pada bagian akhir buku, berdasarkan tiap-tiap saluran komunikasi digital yang banyak digunakan saat ini. Mulai dari aplikasi pesan singkat, aplikasi konferensi video, hingga dalam saluran komunikasi yang cukup tua seperti surel.
Buku ini membuka mata akan pentingnya bahasa tubuh digital yang tepat pada setiap kesempatan yang ada. Dengan demikian, koneksi dan rasa menjadi manusia seutuhnya tetap terjaga di tengah belantara dunia yang kian digital. (Litbang Kompas/KIK)