Media Sosial, Medan Propaganda Ukraina-Rusia
Media sosial turut menjadi medan propaganda dalam konflik Ukraina-Rusia. Publik perlu membekali diri dengan kemampuan untuk memilah informasi di media sosial.
Media sosial menjadi salah satu andalan saluran informasi tentang kabar konflik bersenjata antara Ukraina dengan Rusia. Namun perlu diwaspadai bahwa platform ini merupakan salah satu medan pertempuran informasi. Audiens perlu bijak dan cermat dalam memilih informasi yang diterima.
Pada masyarakat digital, media sosial sudah menjadi medium yang diandalkan untuk memperoleh informasi secara mudah dan cepat. Digital News Report 2021 menunjukkan bahwa enam dari 10 penduduk dunia yang dapat mengakses internet mengandalkan media sosial sebagai sumber berita sehari-hari.
Apabila dilihat dari kelompok usianya, pengguna media sosial dari usia muda (18 tahun) hingga yang berumur 54 tahun, hampir 60 persen mendapat berita dari media sosial. Data ini menunjukkan bahwa media sosial sebagai sumber berita diandalkan oleh hampir semua kelompok usia pengguna internet.
Melalui media sosial, orang dapat berperan sebagai konsumen sekaligus pembuat informasi. Sifatnya yang egaliter membuat media sosial tidak hanya memuat konten berkualitas, tetapi juga konten disinformasi. Jenis konten disinformasi adalah infromasi yang dimanipulasi sedemikian rupa untuk mengelabuhi audiens dari fakta yang ada.
Momentum menjelang pemilu, saat terjadi bencana, dan peperangan dapat digunakan sebagai celah menyebar konten disinformasi. Lebih jauh lagi, disinformasi tanpa disengaja dapat menjadi misinformasi ketika pengguna media sosial turut menyebarkannya tanpa mengetahui kebenaran fakta yang ada di dalamnya.
Saat ini perhatian penduduk dunia tertuju pada agresi militer Rusia yang merangsek ke wilayah Ukraina. Tanpa dicari pun, informasi perkembangan situasi konflik bersenjata di wilayah bekas Uni Soviet ini bermunculan di layar gawai. Perlu diperhatikan bahwa konten disinformasi merupakan salah satu “senjata” yang digunakan dalam konflik bersenjata di Ukraina.
Sebagai contoh pada 25 Februari 2022 atau sehari setelah Rusia melancarkan serangan ke wilayah Ukraina, media yang berafiliasi dengan pemerintah Rusia menyebar kabar bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy melarikan diri ke luar negeri.
Tidak lama berselang setelah kabar tersebut menyebar, Presiden Zelenskyy mengunggah video singkat yang menunjukkan keberadaan dirinya di ibu kota Ukraina, Kiev. Contoh ini menjadi bukti bahwa informasi menjadi salah satu arsenal dalam peperangan di era digital.
Baca juga : Dark Social Ketika Media Sosial Menjadi Sumber Berita
Medan propaganda
Manipulasi informasi yang dimanfaatkan untuk meraih tujuan tertentu dapat disebut sebagai propaganda. Memainkan propaganda dalam peperangan dipopulerkan oleh Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi pada era Hitler. Prinsip propaganda yang dilakukan Goebbels dengan cara mengulang-ngulang sebuah kebohongan. Pengulangan kebohongan ini lama-lama akan diterima sebagai sebuah kebenaran.
Secara teknis, prinsip tersebut dilakukan dengan menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin. Goebbels menunjukkan bahwa manipulasi informasi dapat secara efektif menggiring opini masyarakat bahkan hingga pada level aksi.
Di era digital metode dan materi propaganda bukan hanya dilakukan melalui media massa tetapi juga media sosial. Manipulasi informasi tersebut diramu dalam berbagai bentuk, mulai dari berita bohong yang relatif lebih mudah dikenali dan disanggah, hingga manipulasi video serta foto yang membutuhkan usaha lebih untuk melacaknya.
Di tengah perkembangan jumlah penggunanya, media sosial dapat juga digunakan sebagai medan pertempuran informasi dari kedua belah pihak yang berseteru untuk “mengendalikan” aspek psikologis, opini, serta aksi baik oleh masyarakat Ukraina, Rusia, bahkan dunia. Skala medan laga informasi digital di antara Ukraina dan Rusia dapat dilihat dari statistik pengguna media sosial di kedua negara.
Merujuk data Digital 2022 Ukraine yang dipublikasikan oleh We Are Social, di Ukraina terdapat 28 juta pengguna media sosial dari total 43,3 juta penduduknya. Dapat dikatakan 65 persen dari populasi negara yang dipimpin Zelenskyy ini setiap hari mengakses dan menggunakan media sosial.
Ditinjau dari ragam platform yang digunakan, Youtube menjadi media sosial yang paling banyak diakes (28 juta pengguna), disusul oleh Instagram (16 juta pengguna), Facebook (16 juta pengguna), Tiktok (11 juta pengguna), dan terakhir Twitter dengan 900.000 pengguna harian.
Sementara itu, cakupan pengguna media sosial penduduk Rusia mencapai 73 persen dari 146 juta penduduk. Pada publikasi Digital 2022 The Russian Federation menunjukkan bahwa Youtube (106 juta pengguna) menjadi platform media sosial yang paling banyak diakses penduduk Rusia.
Pada urutan kedua ada Instagram (63 juta pengguna), kemudian Tiktok (55 juta pengguna), disusul Facebook (8,6 juta pengguna), dan Twitter (3 juta pengguna) berada di urutan terakhir. Dilihat dari peringkat penggunanya tidak begitu berbeda antara audiens di Ukraina dengan di Rusia. Namun dari aspek cakupan penggunanya, persentase pengguna media sosial di Rusia lebih tinggi.
Muncul beberapa persitiwa yang menunjukkan gelagat bahwa pemerintah Rusia begitu mempertimbangkan ranah media sosial sebagai bagian dari war effort atau upaya berperang. Dilansir dari The Guardian, pada 4 Maret 2022 Roskomnadzor lembaga regulator komunikasi Rusia menyatakan telah memblokir akses Facebook dan Twitter bagi penduduk Rusia.
Untuk mengendalikan aktivitas publik di media sosial, langkah lebih jauh diambil oleh pemerintah Rusia. Reuters memberitakan bahwa pada 4 Maret 2022 parlemen Rusia menyetujui diberlakukannya undang-undang yang mengatur tentang publikasi dan penyebaran “berita bohong” terutama terkait dengan berita perang di Ukraina. Ancaman hukuman yang dikenakan kepada terdakwa bisa mencapai 15 tahun penjara.
Memilah informasi
Dari sisi audiens persoalan timbul ketika apa yang dinyatakan oleh pihak otoritas sebagai “berita bohong” belum tentu merupakan berita bohong. Di sinilah dituntut kecermatan audiens media sosial dalam memilah informasi.
Menurut hasil studi Shelby Grossman dari Stanford Internet Observatory (SIO), saat ini masyarakat Ukraina berupaya mengungkap kebenaran yang terjadi di lapangan melalui unggahan di media sosial seperti Twitter, Facebook, dan Tiktok. Maka tidak heran bahwa langkah yang diambil oleh pemerintah Rusia adalah memblokir platform media sosial yang diandalkan oleh warga Ukraina untuk mengabarkan kondisi terkini.
Sayangnya ada sisipan konten-konten disinformasi di antaranya. Grossman dan timnya telah mengindikasikan tujuh jenis konten yang perlu diwaspadai terkait konflik terkini di Ukraina.
Pertama yaitu akun warga Ukraina yang dibajak oleh pihak tertentu untuk menyebarkan disinformasi. Untuk mengidentifikasi kualitas konten pada kasus ini bisa mudah bisa juga sulit, tergantung pada kepiawaian pembajak yang mengambil alih akun. Apakah bertingkah organik atau terjadi pengulangan yang mencurigakan layaknya buzzer.
Baca juga : Mari Berdayakan Media Sosial dengan Baik
Audiens juga perlu waspada terhadap klaim palsu yang dinyatakan oleh berbagai pihak. Audiens perlu mencermati portal informasi yang diakses, berkaitan dengan identitas, afiliasi, dan narasi yang dimuat dalam media digital. Narasi yang timpang dan kalimat bernuansa tendensius bisa jadi indikator awal konten disinformasi.
Kemudian jenis konten lama yang diunggah ulang dan dibalut seolah-olah berkaitan dengan konteks perang Ukraina-Rusia. Banyak beredar konten video yang dibuat sebelum perang terjadi, namun dimanipulasi sehingga tampak baru saja terjadi.
Ragam konten berikutnya yaitu foto yang dimanipulasi untuk menyampaikan pesan tertentu. Audiens perlu mencermati adanya kejanggalan dalam foto. Metode paling mudah yaitu dengan memverifikasi melalui mesin pencari gambar seperti Google Images dan Yandex Images. Dari hasil pencarian akan ditemukan foto serupa bahkan persis, biasanya beserta keterangan sumber dan waktu unggahnya. Metode ini bisa juga dilakukan terhadap konten video.
Selanjutnya, audiens perlu kritis terhadap pemberitaan yang tidak mencantumkan keterangan pokok pemberitaan berupa 5W + 1H. Ada kalanya pihak penyedia konten tidak memberikan informasi lengkap dengan dalih kerahasiaan informasi.
Saat ini mulai muncul penipuan berupa ajakan menyumbangkan dana atau keperluan lainnya untuk pengungsi Ukraina atau untuk mendukung upaya peperangan. Audiens sebaiknya tidak langsung percaya dan melakukan verifikasi melalui mesin pencarian terkait kebenaran informasi.
Terakhir, secara umum audiens perlu lebih berhati-hati ketika mendapat informasi dari media yang secara terbuka berafiliasi atau mendukung pihak tertentu dalam konflik. Hal ini akan menimbulkan bias pandangan jika hanya mendapatkan berita dari satu pihak saja.
Bagi audiens yang enggan repot untuk melakukan verifikasi informasi, ada jalan tengah yang dapat diambil. Sebaiknya memilih media sosial yang merupakan perpanjangan tangan dari media massa konvensional. Misalnya media sosial dari perusahaan surat kabar, televisi, atau radio yang kredibilitasnya sudah teruji.
Konflik antara Rusia dan Ukraina juga merembet menjadi perang baru di dunia digital dengan beragam konten bermuatan propaganda atau juga berita bohong. Konten-konten disinformasi ini juga menyebar hingga Indonesia. Kominfo memberitakan sejumlah konten hoaks seputar konflik Rusia-Ukraina. Salah satunya adalah videodi Youtube pada 27 Februari 2022 yang menyebutkan bahwa TNI membantu Ukraina menggempur militer Rusia. Setelah diverifikasi, video tersebut aslinya hanya membahas pendapat pengamat agar Indonesia membantu Ukraina terkait konflik Rusia versus Ukraina.
Konten propanda dan berita bohong yang menyebar di sekitar kita perlu diimbangi dengan kemampuan untuk memilah informasi di media sosial. Memilah informasi ini dapat diibaratkan sepertimemilih makanan bagi kesehatan jasmani. Bedanya, kualitas informasi akan menentukan kesehatan jiwa audiens dan kejernihan pikiran dalam memaknai peristiwa yang terjadi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Rusia dan Ukraina Sepakat Menyelamatkan Warga Sipil