Jarum jam baru menunjukkan pukul 19.15 pada Jumat (2/8/2019) malam kemarin saat dalang kondang Ki Manteb Soedharsono (71) duduk di deretan kursi terdepan di halaman depan Istana Merdeka, Jakarta.
Berpakaian beskap putih, kain batik, lengkap dengan blangkon, dan keris, Ki Manteb terus memandangi panggung berisi gamelan serta barisan wayang kulit di depannya. Sesekali Ki Manteb melayani pengunjung yang ingin bersalaman, mengobrol, atau sekadar berswafoto.
Ki Manteb berada di Istana Kepresidenan karena ditanggap pihak Istana untuk memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-74 RI. Malam ini pun jadi malam pertama bagi Ki Manteb ndalang di Istana, menghibur Presiden Joko Widodo sekaligus masyarakat akar rumput. Dulu, di era Presiden Soekarno, wayang kulit sering dipergelarkan di halaman Istana tiap dua bulan sekali.
Karena pergelaran wayang kali ini dianggap bersejarah, Ki Manteb pun pilih lakon ”Kresna Jumeneng Ratu”. Artinya, Kresna jadi pamong atau pemimpin pemerintahan. Dalam cerita pewayangan, Sri Bathara Kresna merupakan raja negara Dwarawati. Ia dikenal raja nan bijaksana.
Pergelaran wayang kulit diawali dengan saling tukar wayang Kresna antara Presiden Jokowi dan Ki Manteb. Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno membuka acara dengan mengajak seluruh hadirin mengheningkan cipta, khusus untuk mendoakan masyarakat pesisir selatan Jawa Barat, pesisir barat Banten, dan Lampung yang baru saja terguncang gempa. Gempa bermagnitudo 7,4 terjadi sebelum acara dimulai.
Pertunjukan wayang dengan lakon ”Kresna Jumeneng Ratu” itu pun dibuka dengan dikeluarkannya gunungan. Melalui lakon itu, Ki Manteb ingin menceritakan sejarah Kresna sebelum jadi ratu di Dwarawati. Kresna yang juga punya nama lain Narayana sering melakukan blusukan, menemui rakyat kecil.
”Kresna itu, ratu pamong. Dia sering blusukan ke sana kemari. Dari desa ke desa, dari pasar ke pasar. Ternyata dengan blusukan itulah Narayana tahu sejauh mana penderitaan rakyat,” tutur Ki Manteb sebelum memulai.
Tindakan itu pula yang membuat Kresna berhasil mengalahkan ratu Dwarawati sebelumnya, yakni seorang raksasa bernama Yudakalakresna. Kresna berhasil menunjukkan, Dwarawati tak harus dipimpin raksasa seperti sebelumnya. Kebiasaan Narayana blusukan, menurut Ki Manteb, sempat diprotes kakaknya, Prabu Baladewa. Baladewa menganggap kebiasaan blusukan itu tak patut dilakukan adik seorang raja.
Bukannya menurut, Narayana justru balik bertanya kepada Baladewa. ”Lha Kakang Prabu (Baladewa) itu jadi ratunya rakyat atau ratunya keluarga?” tutur Ki Manteb.
Lewat lakon ”Kresna Jumenengan Ratu”, Ki Manteb ingin menyampaikan pesan untuk seluruh pemimpin bangsa dan negara agar selalu mengerti penderitaan rakyat. Para pemimpin juga diharapkan memahami mereka adalah pemimpin rakyat, bukan pemimpin keluarga, seperti teladan yang ditunjukkan Sri Batara Kresna.