Presiden: Semua Tak Ingin Ada Penurunan Kualitas Demokrasi
JAKARTA, KOMPAS — Protes Presiden Joko Widodo atas revisi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD tidak cukup ditunjukkan dengan tidak menandatangani pengesahan revisi. Harus ada langkah lebih tegas untuk menunjukkan Presiden betul-betul keberatan dengan pasal-pasal dalam revisi yang ditentang oleh publik.
Presiden Joko Widodo mengatakan, bisa memahami keresahan masyarakat akibat pengesahan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dia pun menyatakan tak ingin kualitas demokrasi di Indonesia menurun.
Presiden Joko Widodo mengaku masih menimbang-nimbang apakah akan menandatangani UU MD3. Presiden menangkap banyak kritik yang disampaikan masyarakat dan tak menginginkan adanya penurunan kualitas demokrasi.
Sejauh ini, draf UU MD3 yang disahkan DPR pada Senin (12/2) lalu sudah di meja Presiden. Namun, Presiden Joko Widodo mengakui saat ini masih menimbang-nimbang dan menunggu kajian mengenai perlu tidaknya menandatangani aturan tersebut.
Presiden menyatakan bisa memahami keresahan-keresahan di masyarakat. ”Banyak yang mengatakan, ini hukum dan etika, kok, dicampur aduk. Ada yang mengatakan, politik sama hukum, kok, dicampur aduk. Pendapat-pendapat itu saya baca dan saya dengar di masyarakat. Saya kira semuanya tidak ingin ada penurunan kualitas demokrasi,” tuturnya, Rabu (21/2) di Jakarta.
Banyak yang mengatakan, ini hukum dan etika, kok, dicampur aduk. Ada yang mengatakan, politik sama hukum, kok, dicampur aduk. Pendapat-pendapat itu saya baca dan saya dengar di masyarakat. Saya kira semuanya tidak ingin ada penurunan kualitas demokrasi.
Kendati demikian, tanpa ditandatangani Presiden pun, setelah 30 hari, aturan perundangan baru tersebut tetap akan berlaku. Presiden Joko Widodo pun mengakui, memahami konsekuensi tersebut. Oleh karena itu, Presiden juga mempersilakan masyarakat yang tak setuju dengan pengaturan yang ada dalam UU MD3 yang baru untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Terkait usulan DPR bahwa semestinya Presiden harus menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) apabila tak sepakat dengan UU MD3, Presiden Joko Widodo menilai hal itu belum diperlukan.
Salah satu pengaturan yang dinilai merusak demokrasi terkait dengan penghinaan kepada DPR. Mahkamah Kehormatan Dewan bisa mengadukan seseorang yang merendahkan martabat DPR jika itu terkait dengan tugas-tugas konstitusional DPR.
Selain itu, DPR juga membangun imunitas dengan mensyaratkan izin tertulis dari Presiden dan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk pemanggilan atas tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugas DPR.
Secara terpisah, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, langkah tegas itu bisa dengan cara Presiden mengeluarkan perppu untuk merevisi pasal-pasal bermasalah di revisi UU MD3.
Pasal-pasal dimaksud adalah Pasal 73 yang mengatur kewajiban polisi membantu DPR memanggil paksa pihak yang tidak memenuhi panggilan DPR, Pasal 122 yang mengatur penghinaan terhadap DPR, dan Pasal 245 soal pemeriksaan anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan.
Perppu, menurut dia, memenuhi syarat dikeluarkan karena pasal-pasal itu akan menimbulkan masalah dan melahirkan kegentingan. Sebab, pasal-pasal akan membangun oligarki di DPR.
”Lihat saja, dengan tiga pasal itu, DPR bisa memanggil siapa saja lalu bisa memanggil paksa bahkan memenjarakan siapa pun yang tak hadir. Tetapi di sisi lain, DPR kebal hukum dan berpotensi tidak bisa dikritik karena bisa dinilai menghina DPR. DPR akhirnya menjadi sangat kuat. Padahal negara kita sesungguhnya menganut sistem presidensial,” jelasnya.
Hanya saja konsekuensinya, Presiden harus terlebih dulu mengakui ke publik bahwa ada permasalahan komunikasi, khususnya dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, saat proses revisi UU MD3. ”Kemudian sebagai solusi atas permasalahan itu, Presiden mengoreksi revisi dengan perppu,” katanya.
Pengamat hukum tata negara Refly Harun sepakat jika Presiden harus mengambil langkah lebih tegas. Namun, bukan dengan mengeluarkan perppu. Ini karena dia menilai perppu revisi UU MD3 tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.
Menurut dia, langkah lebih tegas tersebut bisa ditunjukkan saat pasal-pasal bermasalah di revisi UU MD3 diuji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Presiden bisa meminta bawahannya yang mewakili pemerintah saat memberikan keterangan di MK untuk menjelaskan pasal-pasal tersebut memang bermasalah.
”Seperti kita tahu, sikap pemerintah saat ada undang-undang yang diuji materi di MK, selalu membela undang-undang itu. Nah, untuk revisi UU MD3, pemerintah tidak perlu membelanya. Jadi jauh lebih mudah bagi MK membatalkan aturan itu,” ujarnya.
Terlebih Presiden telah berencana tidak menandatangani pengesahan revisi UU MD3. Dengan tidak menandatanganinya, Refly meyakini hal itu akan berdampak pada sikap MK saat memutuskan uji materi revisi UU MD3.
Menunggu uji materi revisi UU MD3 oleh MK juga dinilainya lebih tepat karena melalui proses itu, DPR sekaligus bisa mendengar langsung keberatan dan penolakan masyarakat. ”Hal itu bisa menjadi pembelajaran bagi DPR. DPR jadi tahu bahwa mereka telah membuat undang-undang yang buruk,” katanya.
DPR optimistis
Ketua DPR Bambang Soesatyo tetap optimistis Presiden akan menandatangani revisi UU MD3. Ini mengingat hasil revisi undang-undang tersebut merupakan hasil pembahasan dan kesepakatan bersama antara DPR dan pemerintah. Dengan demikian, janggal jika pemerintah baru bersuara menolak revisi UU MD3 sekarang.
”Termasuk pasal-pasal yang diperdebatkan banyak kalangan, itu juga sudah pembahasan dan kesepakatan bersama,” katanya.
Terkait pasal-pasal yang dikritik publik, Bambang mengatakan, hal tersebut bukan masalah karena koreksi terhadap UU MD3 bisa dilakukan melalui proses uji materi di MK. ”Jadi jika ada yang tidak sepakat, silakan ke MK,” ujar Bambang.
Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan pun melihat sikap Presiden tidak membawa banyak perubahan. Sebab, meskipun tidak ditandatangani Presiden, dalam jangka waktu 30 hari, undang-undang tetap berlaku secara sah dan mengikat. ”Presiden boleh tidak teken, tetapi undang-undang tetap berlaku. Kalau tidak puas, baru ke MK,” katanya.
Namun jika Presiden betul-betul tak setuju atas revisi UU MD3 karena menampung aspirasi publik, Presiden bisa saja menawarkan solusi lain seperti mengeluarkan perppu.
Adapun Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menuding pernyataan Yasonna dan sikap Presiden itu sebagai bentuk pencitraan. Pasalnya, setiap tahapan pembahasan revisi UU MD3 selama ini selalu melibatkan pemerintah.