Harga Diri dan Kasih dalam Sepotong Daging ”Meugang”
”Meugang” adalah tradisi makan masakan berbahan daging satu-dua hari sebelum Ramadhan. Tradisi yang telah berlangsung sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam itu merupakan wujud kebahagiaan warga akan datangnya Ramadhan.
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Tradisi meugang memiliki makna mendalam bagi warga Provinsi Aceh. Tradisi makan masakan berbahan daging satu-dua hari sebelum Ramadhan itu menjadi momentum untuk berkumpul dengan keluarga, berbagi untuk yang papa, hingga pertaruhan harga diri laki-laki. Tradisi yang telah berlangsung sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam itu merupakan wujud penyambutan datangnya bulan suci Ramadhan dengan gembira.
Kariman (27), warga Desa Panca Kubu, Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, baru menikah sebulan lalu. Sebagai pengantin baru, meugang pertama menjadi hari sangat penting. Kariman harus membawa pulang beberapa kilogram daging sapi kepada mertuanya.
Sebenarnya tidak ada aturan yang mewajibkan, tetapi sudah menjadi tradisi seorang pemuda yang baru menikah harus mampu memberikan daging sapi di hari meugang. Jika tidak mampu, dia akan dianggap sebagai lelaki yang tidak bertanggung jawab.
”Saya sudah siapkan uang Rp 500.000, cukup buat beli 3 kilogram daging,” kata Kariman kepada Kompas, Rabu (30/3/2022). Uang sebanyak itu sudah disiapkan jauh-jauh hari. Pada hari meugang, dia akan mengajak istrinya ke pasar untuk belanja daging dan bumbu masak.
Lain lagi dengan Syakiror Razi (32), warga Banda Aceh yang baru menikah dua bulan lalu. Razi tidak membawa pulang daging, tetapi menyerahkan uang Rp 1 juta kepada mertuanya untuk belanja kebutuhan meugang. ”Kalau uang bisa dipakai sesuai kebutuhan. Sebagai pengantin baru wajib ada yang kami berikan,” ujar Razi.
Bukan hanya bagi pemuda yang baru menikah, seorang ayah juga wajib membeli daging meugang untuk keluarganya. Daging itu menjadi semacam bukti kasih dan sayang bagi keluarganya. Biasanya para ibu kemudian akan memasak bermacam menu dari daging, seperti rendang, sie reuboh, kuah puteh, hingga sop. Pada siang hari, seluruh anggota keluarga akan makan bersama.
Bagi para mahasiswa yang tidak bisa pulang ke kampung, merayakan meugang bersama teman-teman komunitas menjadi pilihan. Seperti dilakukan oleh anggota sukarelawan forum jurnalis lingkungan di Banda Aceh. Pada Jumat (1/4/2022) pagi, mereka belanja bersama ke pasar kemudian memasak di sekretariatan. Mereka menyantap makan siang bersama.
Sejarawan Aceh, TA Sakti, menuturkan, meugang adalah ritual budaya yang dirawat secara turun-temurun sejak masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pada masa sultan, sebulan sebelum meugang, para kepala desa wajib mengirimkan nama-nama warga miskin kepada petugas kerajaan. Kerajaan kemudian akan menyantuni mereka dengan daging dan kain.
Sakti mengatakan, sebagai kerajaan Islam, bulan suci Ramadhan disambut dengan bahagia. Tradisi makan enak bersama-sama menjelang Ramadhan menjadi sebuah tradisi yang membahagiakan.
Pada hari meugang, anak-anak yang berada di rantau pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan sanak saudara. Bila ada anak yang tidak bisa pulang, ibunya akan mengirimkan masakan berbahan daging yang ia buat ke rantau. Masakan daging itu menjadi ikatan kasih sayang.
Masakan daging itu menjadi ikatan kasih sayang.
Hari meugang juga menjadi momentum bagi orang kaya dermawan untuk berbagi kepada warga miskin. Keluarga besar harus memastikan sanak saudaranya yang tidak dapat menyantap daging saat meugang. ”Dulu ada budaya meuripee (urunan). Beberapa keluarga urunan beli sapi, dagingnya dibagi rata,” ujar Sakti.
Selain itu, ada juga yang menjual daging dengan sistem ngutang. Daging dibayar saat keumeukoh (panen) padi. ”Dulu budaya meuseuraya (gotong royong) kuat, sekarang sangat individualistis,” kata Sakti.
Meski demikian, tradisi meugang, menurut Sakti, tidak akan hilang di era yang semakin modern. Sebab, selain ada unsur budaya, meugang menjadi bagian kepentingan ekonomi.
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Hafas Furqani, menuturkan, meugang adalah hari yang ditunggu-tunggu para peternak lokal dan penjual daging. Pada saat itu para peternak akan mengeluarkan sapi mereka untuk disembelih. Sementara pedagang daging berkesempatan untuk meraup laba besar.
Pada hari meugang, suasana pasar tradisional ramai. Warga secara khusus memburu daging, rempah-rempah, hingga sayuran agar bisa menyediakan makan bersama yang enak. Pada saat itu transaksi jual beli meningkat dan perputaran uang lebih tinggi. Meugang memberi efek ganda terhadap pasar. ”Meugang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi warga akar rumput,” ujar Hafas. Peternak, agen sapi, pedagang daging, penjual bumbu, hingga tukang sayur memperoleh pendapatan dari tradisi itu.
Kepala Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Peternakan Dinas Peternakan Aceh Teuku Taufan Maulana Pribadi mengatakan, diperkirakan perputaran uang selama meugang mencapai Rp 10 miliar. Perputaran uang di kalangan warga mendorong peningkatan perekonomian.
Tahun ini jumlah hewan ternak yang tersedia untuk disembelih diperkirakan mencapai 53.326 ekor. Sebanyak 20.223 ekor di antaranya sapi, sisanya kerbau, kambing, dan domba. Daging sapi paling banyak dikonsumsi saat perayaan meugang. Hewan ternak itu tersebar di 23 kabupaten/kota di Aceh. ”Stoknya cukup. Paling banyak sapi lokal. Warga Aceh lebih suka dengan sapi lokal,” kata Taufan.
Adapun harga jual daging melonjak dari biasanya Rp 140.000 per kg kini naik menjadi Rp 160.000-Rp 170.000 per kg. Meski harga melonjak, warga tetap antusias membeli daging.
Seorang pedagang daging, Munazir (37), menuturkan, daging ia jual Rp 160.000 per kilogram sesuai dengan modal yang dia keluarkan. Untuk meugang kali ini, dia membeli seekor sapi lokal dengan berat timbang daging 200 kilogram.
Dengan berat daging 200 kilogram, artinya pendapatan impas untuk modal. Dia berharap untung dari penjualan tulang dan isi perut sapi. ”Ada potensi untung Rp 2 juta atau Rp 3 juta. Tetapi kalau tiba-tiba harga turun, bisa rugi,” kata Munazir.