Tugas Kompas (dan juga media lainnya) di sini adalah untuk terus melihat kondisi di Papua sembari berharap bahwa liputan ini memberi dampak pada perhatian yang lebih besar pada pendekatan non keamanan.
Oleh
IGNATIUS HARYANTO
·4 menit baca
Ekspedisi Tanah Papua yang dilakukan oleh Kompas dan terpublikasikan lebih dari 80 artikel pemberitaan sejak awal tahun ini, memberikan gambaran yang cukup lengkap kepada para pembaca tentang apa yang terjadi di Papua. Bukan semata dari sisi keindahan pemandangan alam, tetapi juga masalah yang dihadapi masyarakat Papua. Permasalahan yang digambarkan dari ekspedisi ini mulai dari soal deforestasi, kondisi dan problem lingkungan hidup yang lain, pertambangan, pendidikan, layanan kesehatan, konservasi, serta budaya masyarakat di sejumlah wilayah Papua.
Keluhan masyarakat banyak terekam mulai dari masalah hilangnya wilayah perburuan karena ada perusahaan yang beroperasi tak jauh dari wilayah masyarakat adat, konflik lahan, masyarakat tak mendapatkan ikan karena sungai tercemar tailing hingga harus pergi ke laut untuk mencari ikan. Masyarakat yang biasa berburu pun kehilangan hewan buruannya. Konflik masyarakat adat versus perusahaan banyak terekam dari tulisan serial ini.
Pola makan masyarakat Papua pun banyak yang berubah. Dari pemakan sagu dan ubi, sekarang sebagian besar menjadi pemakan nasi dan mie instan. Ini juga gambaran bagaimana kebijakan ‘ketahanan pangan’ bias dengan pengiriman beras ketimbang memberdayakan pangan lokal yang dekat dengan masyarakat. Pem-beras-an ini membuat sejumlah anggota masyarakat berusaha untuk membuat sawah di daerah tempat tinggalnya namun tanah di Papua berbeda dengan tanah di Jawa, sehingga jarang sukses.
Keberadaan jalan yang membelah hutan di Papua (Trans Papua) dilihat sebagai suatu yang dilematis. Di satu sisi memudahkan mobilisasi masyarakat ke kota-kota lain, tetapi di sisi lain tingkat kerusakan hutan pun menjadi-jadi karena jalan Trans Papua memfasilitasi hal ini. Akibatnya beberapa kota dilanda banjir karena hutan yang biasanya menahan dan menyerap air kini tak lagi ada. Bencana air yang tak pernah ada sekarang mulai jadi suatu kebiasaan.
Ketika liputan ini menggambarkan banyak lokasi wisata, di sana pun tak dapat disembunyikan kisah sedih lain. Tempat wisata seperti Teluk Youtefa di Jayapura penuh dengan sampah plastik. Namun begitu laporan ini juga memperkenalkan banyak tempat wisata baru yang cukup menjanjikan.
Lima belas tahun lalu Kompas (2007) pernah melaksanakan ekspedisi yang sama, namun jika laporan kedua ekspedisi ini diperbandingkan, tak ada perbaikan signifikan atas kesejahteraan masyarakat juga terkait dengan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Memang tulisan dari ekspedisi ini juga memberikan harapan (asa) kepada kita, namun terkadang dalam hati ingin berkata juga, sampai kapan asa ini bisa terpelihara.
Masalah Papua memang sangat kompleks, banyak yang tertinggal dari wilayah ini, dan ada kesan penyelesaian masalah ini dilakukan setengah hati. Kebijakan otonomi khusus dianggap obat mujarab dengan menggelontorkan uang ke Papua. Masalah keamanan juga menambah rumit masalah di Papua. Tanpa suatu perencanaan yang baik dan hasil akhirnya pun melenceng kemana-mana. Korupsi sudah pasti, tapi tak ada yang beraksi. Belum lagi dengan momen dimana saat ini ada rencana untuk pemekaran wilayah lagi di Papua, yang lagi-lagi dianggap obat mujarab penyelesaian masalah.
Dalam forum Ombudsman Kompas, kompleksitas Papua ini terdiskusikan. Tersadari, jika kerap kali melihat Papua, berikut segenap persoalannya, cara pandang sentralitas dominan. Dalam beberapa hal tecermin pula pada subtansi dan penyajian liputan. Padahal di balik itu, Papua punya pergulatan yang tidak mungkin tersamakan. Itulah mengapa, berbagai bingkai perspektif anthropologi dalam memahami pola kekerabatan, kepemimpinan, ingatan penderitaan (memoria passionis, JB Metz) hingga post-colony (Achilles Mbembe) relevan dalam pemaknaan Papua.
Salah satu inti masalah di Papua menurut saya karena masyarakat tidak banyak tersertakan dalam membicarakan masa depan mereka dan masa depan wilayah dimana mereka tinggal. Ada seloroh yang menempel di kepala saya yang pernah saya dengar dari orang asli Papua: “Orang sayang dengan tanah Papua, tapi tidak sayang dengan manusia Papua”. Getir sekali mendengar seloroh ini, tetapi sayangnya itulah kenyataannya. Tanah Papua diincar hutannya, kayunya, kekayaan alamnya, tambangnya, tetapi manusia yang menghuni tanah tersebut tak diperhitungkan.
Dalam masalah pemekaran wilayah sudah ada banyak studi yang membicarakan masalah otonomi daerah dan pemekaran wilayah. Sejumlah studi menyebutkan bahwa pemekaran wilayah hanya menguntungkan elit lokal, lalu beban membuat birokrasi baru anggarannya nanti lebih besar daripada anggaran untuk pembangunan. Janji soal kesejahteraan masyarakat makin jauh dari terpenuhi.
Tugas Kompas (dan juga media lainnya) di sini adalah untuk terus melihat kondisi di Papua sembari berharap bahwa liputan ini memberi dampak pada perhatian yang lebih besar pada pendekatan non keamanan. Saat rencana pemekaran di Papua akan dibicarakan oleh para pembuat kebijakan, harus dipastikan masyarakat di Papua juga terwakili suaranya. Tanpa dialog dengan masyarakat Papua, kita khawatir masa depan Papua akan begini-begini saja, atau mungkin malah semakin buruk.