Pemimpin perusahaan perlu mengembangkan pola pikir keingintahuan di kalangan karyawan dengan menjadi pemimpin yang merangkul perubahan dan risiko demi kemajuan perusahaan. Mereka sesungguhnya petualang.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·5 menit baca
Saluran televisi CBS News membuat film dokumenter tentang kisah para pengadopsi awal teknologi dunia meta (metaverse). Mereka mengeksplorasi kehidupan beberapa pengadopsi awal dunia meta dan langkah mereka untuk membangun kekayaan. Jurnalis dan penulis Crypto, Laura Shin, bergabung dalam acara itu dan mengatakan bahwa lebih banyak peluang di dunia virtual tersebut. Sebuah kebalikan dibandingkan kisah orang-orang yang kaya mendadak di Indonesia yang suka dengan sebutan ”crazy rich” atau ”sultan”.
Kita membutuhkan pengadopsi awal di perusahaan atau organisasi pada saat berbagai jenis inovasi teknologi digital bermunculan. Mereka tentu bukan sekadar yang suka gonta-ganti gawai atau memiliki akun media sosial setiap kali ada platform baru. Mereka adalah yang bisa melihat perkembangan teknologi terbaru, mampu melihat peluang bagi perusahaan atau organisasi, dan berani bertindak meski ada risiko gagal sangat besar.
Umat manusia memiliki sejarah panjang tentang kisah mereka yang berani mengambil risiko ketika informasi terbatas dan teknologi belum sempurna. Christophorus Columbus pada abad ke-15 memilih berlayar untuk menemukan tanah yang sekarang disebut Benua Amerika sekalipun risiko sangat besar. Pada abad ke-16, Ferdinand Magelhaens memimpin armada dengan delapan kapal mengelilingi Bumi mencari Kepulauan Rempah melalui jalur barat. Risikonya dia sendiri terbunuh dan hanya satu kapal yang kembali ke Spanyol.
Kita juga tahu persis ketika di Tanah Air bermunculan pabrik gula, kereta api, mesin ketik, mesin cetak, mobil, dan lain-lain. Perubahan demi perubahan terjadi. Mereka yang berhasil menjadi pengadopsi awal tidak sedikit yang menjadi tokoh nasional. Saat komputer dan internet masuk ke Indonesia, para pengadopsi awal berhasil memanfaatkannya untuk kepentingan bisnis dan pengembangan usaha mereka. Meski, semuanya juga dilingkupi ketidakpastian akan keberhasilan ketika mengadopsi teknologi tersebut.
Fenomena seperti ini di dalam perusahaan pernah diriset oleh sejumlah peneliti. Peneliti Henrich R Greve dan Marc-David L Seidel di dalam sebuah wawancara yang termuat di Harvard Business Review dengan judul ”Being Early Beats Being Better” mengatakan, di dalam perusahaan sering terjadi pro dan kontra sebelum mereka mengadopsi suatu teknologi. Perdebatan terjadi karena pada kenyataannya, informasi saat itu sering kali terbatas dan nilai atau manfaat dari teknologi yang ada di depan mata tidak bisa dipastikan.
Perusahaan saling mencari petunjuk dan informasi tentang teknologi baru itu. Setidaknya kita perlu berpikir, jika pesaing kita mengadopsi suatu teknologi, hal itu harus menjadi tanda bahwa teknologi sebagai sesuatu yang berharga. Oleh karena itu, kita dapat menganggap ada tekanan baru dari kompetitor di pasar yang selama ini kita jalani. Pengabaian terhadap teknologi baru memberi sinyal negatif tentang nilai baru sebuah produk. Pengabaian juga membuat kemungkinan adopsi awal lebih kecil dilakukan.
Setidaknya kita perlu berpikir, jika pesaing kita mengadopsi suatu teknologi, hal itu harus menjadi tanda bahwa teknologi sebagai sesuatu yang berharga.
Meski demikian, menjadi pengadopsi awal memiliki beberapa risiko. Sebuah tulisan di laman Worth memperingatkan sejumlah risiko yang akan dihadapi oleh pengadopsi awal. Tulisan ini menyarankan, sangat mungkin kita perlu mengambil langkah mundur dan mempertimbangkan risiko ketika kita menjadi pengadopsi awal. Beberapa risiko itu adalah kita akan berurusan dengan gangguan yang mudah sekali muncul di dalam produk baru atau produk yang sedang berkembang atau sebenarnya tengah dalam pengembangan.
Kita diajak untuk mengatasi ketidaknyamanan yang akan muncul setiap saat. Kita juga akan memiliki konsekuensi terkait implikasi privasi. Pada awal pengenalan teknologi biasanya masalah ini terabaikan sehingga privasi kita bisa lolos atau terbuka ke publik. Risiko lainnya, kita akan menjadi korban siklus keusangan teknologi. Temuan awal akan disusul dengan temuan baru sehingga teknologi lama akan tertinggal. Biaya atau investasi sudah telanjur dikeluarkan, sementara teknologi atau produk baru hadir.
Akan tetapi, risiko itu tak perlu menghalangi mereka yang ingin melakukan inovasi teknologi. Seorang penulis bernama Kelly Richards di laman Entrepreneur menyebutkan, berada di garis depan tren yang muncul akan membuat bisnis kita lebih dicari berbagai pihak sebagai yang memiliki otoritas dalam sektor industri yang sedang dijalankan. Perusahaan akan dipandang mampu berbicara dengan cerdas tentang dampak perkembangan terbaru pada sebuah pasar atau di sektor di mana perusahaan beroperasi.
Kelly menambahkan, menjadi pengadopsi awal tidak datang secara alami ke setiap bisnis dan juga tidak dapat dicapai dalam semalam. Menciptakan budaya adopsi awal dan menjaga bisnis kita tetap terdepan membutuhkan perubahan pola pikir di kalangan pemimpin bisnis. Untuk menumbuhkan bisnis agar selalu berkembang dan sesuai dengan teknologi yang terbaru, para pemimpin perlu mengambil beberapa langkah.
Berada di garis depan tren yang muncul akan membuat bisnis kita lebih dicari berbagai pihak sebagai yang memiliki otoritas dalam sektor industri yang sedang dijalankan.
Perusahaan harus sering memperkenalkan dan mendekatkan karyawan dengan teknologi terbaru. Berbagai tim di dalam perusahaan juga harus masuk dan bercengkerama dengan teknologi baru. Perusahaan perlu memberi insentif kepada mereka yang mau mengadopsi teknologi dan mengembangkannya untuk kemajuan perusahaan. Pemimpin perusahaan perlu mengembangkan pola pikir keingintahuan di kalangan karyawan dengan menjadi pemimpin yang merangkul perubahan dan risiko demi kemajuan perusahaan. Mereka sesungguhnya petualang.
CEO Starbucks Howard Schultz mengungkapkan rasa laparnya akan inovasi ketika dia menginvestasikan 25 juta dollar AS di Square, sebuah usaha rintisan yang hanya diketahui oleh sedikit orang pada saat itu. Sesuatu yang tampak adalah langkah berisiko dan orang mempertanyakan keuntungan yang didapat dari investasi sebesar itu. Melalui kolaborasi dengan Square, Starbucks kini menerima pembayaran dengan telepon seluler secara global dan kini langkah itu membuka jalan bagi perusahaan lain yang ingin menerapkan sistem pembayaran melalui telepon seluler dalam operasionalisasi mereka.