Cassette Reborn, Artefak Budaya Perekam Nyanyian Kehidupan
Maraknya produksi dan konsumsi masyarakat akan kaset mendorong makin populernya bintang lokal. Membanjirnya lagu-lagu Barat sejak awal Orde Baru 1968 diimbangi maraknya kaset lagu daerah dan lagu pop dalam negeri.
Dalam gulungan pita kaset tidak sekadar terekam sarana dengaran. Dalam kaset juga tersimpan dinamika zaman dan romantika kehidupan masyarakat. Terawat juga hiburan musik, lagu-lagu dari masa ke masa. Terdokumentasi pula bentuk ekspresi kesenian rakyat dari berbagai daerah. Kaset ibarat ”artefak kebudayaan”, pencatat napas peradaban.
Ratusan kaset terpajang di dinding dan terhampar di lantai Bentara Budaya Yogyakarta pada 15-22 Maret 2022 dalam Pameran Cassette Recorder: Cassette Reborn.
Jika disimak dari kaset ke kaset keluaran era 1970-an awal hingga 2000-an, terbacalah dinamika zaman. Kaset itu seperti ”artefak budaya” yang tidak hanya menyimpan sarana hiburan auditif, tetapi juga nyanyian kehidupan masyarakat.
Kaset itu seperti ’artefak budaya’ yang tidak hanya menyimpan sarana hiburan auditif, tetapi juga nyanyian kehidupan masyarakat.
Coba kita tengok masa akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Pada masa itu alat pemutar kaset (tape recorder portable) mulai banyak dimiliki masyarakat. Seiring dengan itu, penjualan kaset berisi lagu-lagu mulai marak.
Sebagian kaset yang beredar berisi lagu-lagu yang direkam oleh para ”perajin perekaman” yang mentransfer materi lagu dari piringan hitam ke dalam kaset. Dengan alat pemutar kaset dan kaset rekaman ”made in” para perekam itu, masyarakat mendapat hiburan yang relatif murah meriah. Setidaknya, jika dibanding dengan harga turn table atau mesin pemutar piringan hitam, plus piringan hitamnya.
Pada masa awal 1970-an itu ada semacam euforia kaset. Lahirlah gaya hidup menikmati musik pilihan sendiri. Maksudnya, musik atau lagu sesuai dengan selera pribadi, bukan musik yang disodorkan oleh radio.
Sebagai catatan, pada sekitaran 1968, radio swasta mulai bermunculan di berbagai kota. Itu artinya, masyarakat mendapat lebih banyak alternatif hiburan, dari yang sebelumnya hanya bersumber dari Radio Republik Indonesia (RRI).
Awal 1970-an adalah masa awal meriahnya kaset rekaman. Pada awalnya, kaset dijual oleh toko radio. Belum ada toko khusus kaset pada masa itu. Di Jakarta, malah ada kaset yang dititip jual pada penjual kupon Hwa Hwe, sejenis judi.
Di penjual kaset, kita bisa mendapatkan kaset, baik yang diproduksi perusahaan rekaman maupun bikinan para perekam atau pentransfer kaset dari piringan hitam. Orang bisa memilih kaset berisi musik instrumental dari Billy Vaughan, Paul Mauriant, atau lagu yang sedang ngetop dari Titiek Sandhora, Waldjinah, dan belakangan pada 1971 mulai populer Koes Plus.
Baca juga: Basiyo, dari Keraton Sampai Kaset
Kaset buatan para perekam tersebut pada awalnya dibuat dalam skala rumahan dan sangat sederhana. Kaset tidak bersampul, tanpa gambar artis dan judul album.
Jika ada sampul, itu hanyalah kertas merek perusahaan kaset yang digunakan, misalnya buatan parbrik Maxell atau TDK. Perekam kaset hanya menulis daftar lagu yang diketik pada selembar kertas, lalu diselipkan pada cangkang kaset.
Kemudian, seiring waktu, pembuat kaset membuat sampul sesuai artis dan judul album. Sampul disertai cetakan foto yang ditempel dengan perekat pada muka sampul. Daftar lagu juga sudah tercetak pada sampul bagian dalam.
Untuk menyempurnakan hiburan auditif itu, pemilik tape recorder melengkapinya dengan pelantang atau loud speaker. Ada yang menggunakan kotak kayu sebagai pelantang yang pada masa itu disebut sebagai salon. Ada pula yang menggunakan gentong atau tempayan yang lebih lazim digunakan. Caranya, dengan menelungkupkan moncong speaker ke dalam gentong.
Dengan suara bas yang dominan, warga mendapat hiburan yang gandhem marem, alias mantap membahana. Di kampung dan desa-desa, orang yang punya hajat, kerap memasang pelantang pada pohon. Dengan demikian, warga sekitar akan ikut mendengar lagu-lagu yang bersumber dari si kaset.
Lagu lama era baru
Era awal maraknya jagat perkasetan ditandai dengan munculnya kembali lagu-lagu lawas dari bintang-bintang pop awal 1960-an. Lagu Koes Bersaudara masa 1962-1964 bisa disimak penikmat kaset yang belum mengalami masa awal munculnya Tony Koeswoyo dan adik-adiknya. Lagu seperti ”Bis Sekolah”, ”Telaga Sunyi”, atau ”Pagi yang Indah” bisa diputar di rumah pemilik alat pemutar kaset.
Selain itu, bisa dijumpai pula kaset yang berisi lagu-lagu kondang dari penyanyi awal 1960-an, seperti Lilies Suryani. Lagu terkenal awal 1960-an, seperti ”Gang Kelinci”, ”Hari Ulang Tahun”, sampai ”Tiga Malam” bisa diputar lewat kaset.
Begitu pula kaset lagu-lagu dari Tetty Kadi pada pertengahan 1960-an, seperti ”Pulau Seribu” dan ”Teringat Selalu”. Pada masa sebelumnya, lagu-lagu tersebut lebih banyak tersimpan pada piringan hitam. Bersama maraknya cassette recorder, Titik Sandhora sedang nge-top sebagai penyanyi solo dan pasangan duet Muchsin.
Munculnya kaset-kaset bikinan para perekam tersebut, di satu sisi memungkinkan masyarakat mendapat perangkat hiburan yang relatif terjangkau. Akan tetapi, di sisi lain, juga menimbulkan persoalan bagi pemilik perusahaan rekaman yang merasa dirugikan. Pemerintah kemudian melakukan razia penggarukan kaset-kaset buatan para perekam tersebut.
Bintang lokal
Maraknya produksi kaset dan konsumsi masyarakat akan kaset mendorong makin populernya bintang-bintang lokal. Boleh dikatakan, kaset mendinamisasi jagat hiburan auditif pada era 1970-an. Membanjirnya lagu-lagu Barat sejak awal Orde Baru 1968 mendapat perimbangan dari maraknya kaset lagu pop ataupun lagu-lagu daerah dari artis-artis dalam negeri.
Seperti diketahui, sebelum tahun 1967, lagu-lagu Barat kurang mendapat ruang putar di radio, seturut adanya pelarangan memutar lagu rock. Adapun radio pada masa itu hanya ada satu, RRI.
Radio swasta baru bermunculan pada 1967. Setelah larangan pemutaran lagu Barat dicabut, membanjirlah lagu dari Beatles, Rolling Stones, Bee Gees, The Cats, Shocking Blue, Jimi Hendrix, Lulu, Tom Jones, dan Englebert Humperdinck.
Baca juga: Sontoloyo Merayakan Hari Musik
Hadirnya kaset lagu-lagu artis Indonesia bisa dikatakan menjadi pengimbang atas membanjirnya lagu Barat. Ketika Bee Gees sedang terkenal dengan lagu ”Massachusetts”, atau Beatles dengan ”Hey Jude”, pada saat yang hampir bersamaan terkenal pula ”Walang Kekek” dan ”Jangkrik Genggong” dari Waljinah. Dia menjadi salah satu penyanyi yang semakin populer pada era awal tumbuhnya kaset.
Kaset dan juga radio menjadikan Waljinah semakin populer. Sebelumnya, Waljinah sudah cukup populer di Jawa Tengah, dengan julukan Ratu Kembang Kacang. Kaset semakin mengangkat nama Waljinah yang didukung Orkes Bintang Surakarta, plus pencipta lagu kreatif, seperti Anjar Ani.
Jauh sebelum negeri ini mengenal Madonna atau Selena Gomez, penikmat langgam jawa sudah kenal Mbakyu Waljinah sebagai Superstar. Pada akhir 1960-an, Waljinah ngetop dengan ”Walang Kekek” sampai ”Jangkrik Genggong”.
Di rumah-rumah, lagu ini sering didengar pemilik cassette recorder. Di radio-radio, lagu ini sering diputar. Bahkan menjadi lagu pengawal pengumuman hasil undian Nalo, alias National Lottery, lotre nasional yang diundi setiap akhir pekan.
Nalo dan lagu-lagu sama-sama menjadi hiburan rakyat. Lagu seperti ”Walang Kekek” adalah hiburan auditif, sedangkan Nalo adalah tempat warga menanti harapan untuk menang lotre. Waljinah pada era kejayaan kaset itu melahirkan lagu-lagu yang dikenal luas, seperti ”Enthit”, ”Tanjung Perak”, ”Ayo Ngguyu”, ”Ojo Lamis”, ”Paman Guyang Jaran”, ”Pakne Thole”, ”Sarinah”, dan banyak lagi.
Penjaga seni tradisi
Kaset berjasa sebagai dokumen auditif dari berbagai bentuk kesenian daerah. Sebut saja wayang kulit, wayang orang, ludruk, tayub, uyon-uyon atau gending-gending karawitan, lawak termasuk Dagelan Mataram, sampai laras madya yang merupakan sebuah bentuk kesenian akulturatif bermuatan syiar agama.
Menarik mencermati ”transformasi” seni pertunjukan yang kemudian menggunakan media kaset. Dalam kaset, seni tradisi telah mempunyai bentuk baru sebagai hiburan auditif. Seniman komedi Basiyo menjadi terkenal setelah merekam Dagelan Mataram dalam puluhan kaset sepanjang era 1970-an. Lawakan dari panggung beralih ke radio, dan kemudian mapan dalam kaset.
Demikian pula dengan wayang kulit. Pergelaran yang berlangsung sekitar 14-15 jam itu dikemas dalam 7 kaset. Di pameran Cassette Recorder, Bentara Budaya Yogyakarta, misalnya, tampak kaset wayang kulit lakon Gatotkaca Krama dari Ki Timbul Hadiprayitno keluaran Dahlia Record. Juga lakon Ismaya Murca juga dari Ki Timbul produksi Gong Record.
Dalang Nartosabdo, Anom Suroto, Hadi Sugito, dan lainnya banyak terdokumentasikan dalam kaset. Hal ini bisa dikatakan sebagai ”anugerah kebudayaan” mengingat banyak dari era sebelum mereka yang belum sempat terdokumentasi dalam rekaman audio.
Selain itu, secara lebih praktis dan murah, masyarakat mendapat hiburan wayang kulit lewat kaset. Radio juga menggunakan kaset wayang kulit sebagai materi siaran semalam suntuk. Lewat kaset, kesenian wayang kulit menjadi lebih luas dikenal, bahkan bagi orang yang belum pernah menyaksikan pergelaran secara langsung.
Begitu pula jenis ekspresi kebudayaan berupa ludruk, ketoprak, juga kesenian rakyat, seperti tayub, dapat terdokumentasi dan tersebar luas lewat medium kaset. Perlu dicatat jasa para perekam kesenian daerah. Dalam bahasa klise sering digembar-gemborkan sebagai jargon ”ikut melestarikan budaya bangsa”. Merekalah perekam kesenian tradisi yang merupakan pelaku nyata dari upaya merawat kebudayaan tersebut.
Jika tidak ada rekaman ratusan kaset pada masa lalu, entah kepada siapa kita akan meminjam catatan suara kebudayaan kita…
Musik tayub pengiring kesenian rakyat bernama tayub, termasuk yang digarap para perekam tersebut. Salah satunya kaset Gending Tayub berjudul Saing-saingan. Kaset ini menampilkan Karawitan Setia Laras pimpinan Suwignyo dengan tahun izin produksi 1985.
Lahan usaha kaset jenis tayub bukan pasar besar bisnis rekaman, terlebih jika dibandingkan dengan usaha perusahaan rekaman besar di Jakarta. Kesenian tayub hidup di ”pedalaman”, seperti Purwodadi, Blora, Sragen, Ngawi, Madiun, Cepu, dan Tuban. Tidak ada label besar yang menyentuh tayub. Para perekam daerah itulah yang merawat kesenian tayub lewat bisnis kaset.
Kini, dengan adanya teknologi digital, rekaman audio dan juga video sudah jauh lebih maju dari zaman kaset. Akan tetapi, jangan lupakan jasa kaset. Jika tidak ada rekaman ratusan kaset pada masa lalu, entah kepada siapa kita akan meminjam catatan suara kebudayaan kita....