Kemampuan mengoperasikan Rafale bersama alutsista udara di jajaran TNI AU secara aman, nirkecelakaan, dan rajin berpatroli untuk mengawal wilayah kedaulatan RI sudah memadai.
Oleh
NINOK LEKSONO
·5 menit baca
AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN
Foto tanggal 19 Mei 2019 ini memperlihatkan sebuah jet tempur Rafale berada di Pangkalan Angkatan Udara Blang Bintang, Provinsi Aceh.
”Penjualan senjata lebih jauh daripada sekadar peristiwa ekonomi, hubungan militer, atau juga tantangan bagi pengawasan senjata. Penjualan senjata bisa dikatakan, ya, politik luar negeri.” (Andrew J Pierre, The Global Politics of Arms Sales, Princeton University Press, Princeton, 1982)
Peruntungan Perancis di Indonesia tahun 2022 lebih baik dibandingkan tahun 1986. Hampir empat dekade silam, Perancis berniat jadi pemasok alat utama sistem persenjataan (alutsista) Indonesia, dan peluangnya tampak besar, terlebih saat pesawat jet Mirage 2000 menjadi "bintang" di arena Indonesia Airshow 1986. Tidak sedikit pihak, termasuk petinggi Dassault Aviation yang membuat jet, merasa optimistis Mirage 2000 akan jadi pilihan Indonesia.
Sayang, impian itu tak terwujud. Tak lama berselang Indonesia mengumumkan memilih 12 jet F-16A/B buatan (saat itu) General Dynamics. Dassault harus menunggu 36 tahun sebelum akhirnya bisa masuk ke pasar Indonesia. Sungguh ini membutuhkan kesabaran. Sebelum pilihan jatuh ke Rafale, Indonesia melirik atau ditawari oleh sejumlah pembuat jet tempur generasi 4+, mulai dari Sukhoi dengan Su-35, Saab dengan JAS 39 Gripen, Lockheed Martin dengan F-16 Viper, dan belum lama juga ada wacana untuk mengkaji Eurofighter Typhoon milik Austria. Rafale mungkin juga tak sendirian. Jika disetujui Kongres Amerika Serikat, Indonesia juga bisa membeli jet F-15 buatan Boeing yang akan diberi kode F-15ID.
Kembali ke kutipan Andrew Pierre, penjualan senjata lebih dari jual-beli. Meski dikenal istilah ”pembeli” dan ”penjual”, di dalamnya terkandung kedekatan relasi. Hal ini, antara lain, tecermin saat Presiden Joko Widodo bertemu dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron di sela-sela KTT G-20 di Italia akhir Oktober 2021.
AP/ISTANA KEPRESIDENAN INDONESIA
Presiden Perancis Emmanuel Macron berfoto bersama dengan Presiden RI Joko WIdodo saat bertemu di KTT G-20 di Roma, Italia, Sabtu (30/10). Presidensi Indonesia di Kelompok G-20 tahun 2022 menarik untuk dilihat, bersamaan dengan Keketuaan Perancis di Dewan Uni Eropa di tahun yang sama. (Indonesian Presidential Palace via AP)
Dalam perdagangan alutsista, ada pandangan setelah Perang Dingin reda dan dunia relatif lebih damai, hingga negara-negara bisa menurunkan anggaran belanja pertahanannya, pasar senjata bergeser dari seller’s market ke buyer’s market. Jika ini benar, pembeli lebih diuntungkan, baik dalam menentukan pilihan tipe alutsista maupun dalam harga, dan juga dalam persyaratan lain, seperti alih teknologi.
Dari sisi penjual, meski pasar bergeser ke pembeli, alutsista buatannya dipilih akan menaikkan pamor dan daya saing industri nasional. Dassault Aviation dikabarkan ikut merasakan hal ini. Mengutip Reuters, situs Zona Jakarta, Senin (14/2/2022), menyebut saham Dassault naik sekitar 4 persen menyusul munculnya berita tentang pembelian Rafale oleh Indonesia.
Baca juga:
Rafale dan Pertahanan RI
Sebagai pembeli di era buyer’s market, Indonesia punya berbagai peluang mendapatkan offset, seperti alih teknologi dan koproduksi komponen alutsista, tetapi ini membutuhkan kesiapan industri pertahanan dalam negeri.
Sebagaimana Perancis tahun 1986, pada tahun 2022 Rusia yang beberapa tahun terakhir memendam asa memenangi kontrak pengadaan Su-35 oleh Indonesia harus menelan kecewa. Wacana selama ini tak berbuah. Jika mengacu pada pernyataan Pierre, bahwa penjualan senjata pada dasarnya merupakan wujud politik luar negeri, kita bisa mencari tafsir tentang apa yang menjadi sebab Indonesia urung membeli Su-35.
(RUSSIAN DEFENSE MINISTRY PRESS SERVICE VIA AP)
Pesawat tempur Su-35 melintas di langit Russia, Minggu (28/11/2021).
Kekuatan udara
Sejak Perang Teluk 1991, bahkan sebelumnya di Falklands tahun 1982, kekuatan udara naik pamor. Dassault, pembuat Rafale, mencatat, dalam konflik modern beberapa dekade terakhir, kekuatan udara selalu menjadi kekuatan militer yang tampil lebih dahulu. Hal itu juga terjadi di konflik Bosnia dan Kosovo, di Afghanistan, dan juga di Libya.
Penerbangan militer tak diragukan lagi menjadi persenjataan strategis kini, baik dari sisi keefektifan tempur maupun teknologi yang digunakan. Dalam perang modern, dari hari pertama harus ada penguasaan udara sehingga operasi udara ke darat dan udara ke laut bisa dilaksanakan dengan aman dan efisien, tulis Dassault pada lamannya. Negara yang ingin memelihara peran utama di panggung dunia kini terus mengembangkan strategi pertahanan yang menempatkan komponen udara dalam menghadapi perang modern, mengingat kedudukan yang penting.
Contohnya Amerika Serikat (AS), negara adidaya yang kini sudah memiliki jet tempur generasi kelima, seperti F-22 Raptor yang mengunggulkan teknologi siluman/tak kasat-radar (stealth) dan F-35 Lightning II. Dengan jet itu, lawan yang mengajaknya duel udara (dogfight) mungkin akan rontok lebih dulu sebelum ia sempat mengetahui di mana posisi Sang Raptor.
Keunggulan ini sangat dirahasiakan, terutama untuk F-22, sehingga AS tidak meluluskan keinginan sekutu dekatnya, seperti Israel, Jepang, dan Australia, yang mengidamkan bisa memiliki jet ini. AS khawatir, jika ia melepasnya, teknologi unggulannya akan jatuh ke tangan lawan potensialnya. Namun, meski sudah jauh lebih unggul, AS tak berhenti sampai di F-22 Raptor. Kini AS hangat diberitakan sedang mengembangkan jet tempur generasi keenam sebagai penerus Raptor guna menjamin keunggulan udaranya.
KOMPAS/DIMAS TRI ADIYANTO
infografik Pesawat Tempur F-16, F-15EX dan Rafale Gunawan
Melalui proyek yang diberi nama NGAD (Next Generation Air Dominance), AS ingin terus menjadi negara yang paling unggul di udara mengingat Rusia dan China juga mengembangkan kemampuan dalam kekuatan udara. Sejauh ini China punya jet Chengdu J-20 dan Rusia dengan Sukhoi Su-57 Felon, yang oleh pembuatnya disebut lebih unggul daripada F-22 dan F-35.
Alexei Leonkov, pakar militer Rusia, kepada kantor berita TASS, Kamis (21/10/2021), menyatakan, Su-57 mengungguli F-22 dalam sistem senjata, robotika, radar, dan perlengkapan perang elektronik. Dalam konteks ini NGAD dipacu. AS sudah menerbangkan NGAD dalam dunia nyata, selain di dunia virtual, ujar Dr Will Roper, mantan Wakil Menteri Angkatan Udara AS Bidang Akuisisi, Teknologi, dan Logistik (US Air Force, Air Power Year Book, 2022). Lomba pembuatan jet tempur supercanggih terus berlangsung di dunia ini.
AS ingin terus menjadi negara yang paling unggul di udara mengingat Rusia dan China juga mengembangkan kemampuan dalam kekuatan udara.
Pertahanan udara RI
Kita tentu tak berpretensi ikut dalam lomba jet tempur. Dari sisi jumlah yang kita beli, Rafale yang adalah jet tempur serba guna: keunggulan udara, serang darat dan laut; 6 atau 42 unit belum memadai untuk menjadi kekuatan deterens. Peran lebih besar dari kehadiran Rafale ada pada eksistensinya untuk memperkenalkan pilot TNI AU pada teknologi jet tempur generasi 4,5.
Kemampuan mengoperasikan Rafale bersama alutsista udara di jajaran TNI AU secara aman, nirkecelakaan, dan rajin berpatroli untuk mengawal wilayah kedaulatan RI sudah memadai. Kita tentu waspada, kawasan Laut China Selatan sedang berkembang dinamis dengan kemampuan di atas kita.