Pernikahan Lansia: Semua Berhak Bahagia
Pernikahan warga lanjut usia masih dipandang negatif. Padahal, mereka juga berhak memenuhi kebutuhan psikologisnya untuk memiliki, dimiliki, dan mengekspresikan kasih sayangnya. Namun, pernikahan lansia memang tak mudah.
Usia boleh tua. Namun, warga senior tetap butuh kasih sayang serta rasa memiliki dan dimiliki. Saat kebutuhan itu tidak bisa dipenuhi anak dan cucu, sebagian warga lanjut usia pun menikah lagi. Dari perkawinan baru itu, sebagian pasangan lansia berhasil membangun hubungan romantis baru nan bahagia, tetapi sebagian lainnya malah melahirkan konflik keluarga.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (65) menikahi adik kandung Presiden Joko Widodo, Idayati (56), di Solo, Jawa Tengah, Kamis (26/5/2022). Bagi mereka berdua, ini adalah pernikahan kedua setelah pasangan sebelumnya meninggal dunia.
Sebelumnya, pada 18 Mei 2022, Sondani (63) menikahi Fia Barlanti (19) di Cirebon, Jawa Barat. Pernikahan pasangan dengan beda usia 44 tahun itu sempat viral di media sosial karena nilai mahar yang fantastis. Situasi sebaliknya terjadi pada pernikahan Slamet (16) dan Rohaya (71) di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, pada 2017 dengan selisih umur mencapai 55 tahun.
Pernikahan warga senior, baik dengan sesama lansia maupun dengan pasangan yang lebih muda, sebenarnya mudah ditemukan di masyarakat. Status sosioekonomi lansia yang menikah lagi pun beragam, mulai dari lansia di panti wreda, mereka yang tergabung dalam kelompok keagamaan tertentu, pensiunan, pengusaha, hingga tokoh agama atau tokoh politik.
Baca juga : Bukan Cinta yang Melanggengkan Pernikahan
Hingga kini, respons masyarakat terhadap pernikahan lansia cenderung negatif, apalagi jika selisih umur di antara pasangan tersebut besar. Jangankan terhadap lansia yang menikah, pandangan awam terhadap lansia saja sudah negatif. Padahal, jumlah penduduk berumur lebih dari 60 tahun pada 2021 mencapai 29,3 juta jiwa atau 10,82 persen dari penduduk Indonesia.
Lansia masih dipandang sebagai individu tidak produktif, sakit-sakitan, dan usianya tidak panjang lagi. Karena itu, lansia dianggap tak lagi membutuhkan kehidupan duniawi, apalagi soal hubungan romantis. Padahal, tidak semua lansia menderita, masih banyak lansia yang produktif, mampu bekerja dan berkarya, hingga memiliki materi dan tabungan yang memadai.
Bagi lansia, ditinggal pasangan meninggal lebih dulu bisa menimbulkan guncangan jiwa akibat rasa kehilangan dan kesepian yang ditimbulkan. Situasi itu terjadi bersamaan dengan berkurangnya relasi sosial akibat datangnya masa pensiun.
Hubungan dengan teman pun renggang seiring menurunnya kemampuan fisik yang membuat sosialisasi menjadi tidak bisa intens. Untuk bepergian, sebagian lansia umumnya juga tergantung pada orang lain. Sementara hubungan dengan anak umumnya juga renggang karena anak mulai sibuk mengurus keluarga sendiri dan fokus bekerja.
Dalam keadaan seperti itu, dukungan anak cucu, keluarga besar, atau teman dekat sangat penting untuk memenuhi kebutuhan psikologis lansia. Umur mereka memang tua, tetapi mereka tetap ingin merasa memiliki, dimiliki, dan mendapat kasih sayang. Karena itu, sebagian lansia memilih untuk menikah lagi.
”Terkadang ada kebutuhan psikologis lansia yang memang tidak bisa dipenuhi anak atau hanya bisa dicukupi oleh pasangan,” kata peneliti psikologi lansia yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Lathifah Hanum, Sabtu (28/5/2022). Tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis lansia bisa menurunkan kebahagiaan dan kesehatan fisik mereka.
Motivasi lansia menikah memang beragam. Secara umum, sebagian besar lansia menikah karena ingin ada teman intim yang bisa diajak bercerita, bertukar pikiran, atau berbagi kisah sehari-hari. Namun, motivasi menikah antara lansia laki-laki dan perempuan berbeda.
Cynthia Ayu Oktariza dan Siti Rohmah Nurhayati dari Fakultas Psikologi Universitas Negeri Yogyakarta dalam studi mereka di jurnal Acta Psychologia Volume 2 Nomor 2, 2020 menulis, dalam perkawinan lagi, lansia laki-laki butuh sosok yang bisa merawat, melayani, menjadi teman bercerita, dan menjauhi rasa kesepian di hari tua. Namun, dalam kasus yang ditemui Lathifah, ada pula lansia laki-laki mencari istri baru untuk mengurusi bisnisnya.
Baca juga : Saat Perceraian Harus Terjadi di Usia Lanjut
Sementara lansia perempuan lebih ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk mencari pahala dengan mengabdi, merawat, dan melayani suaminya sehari-hari. Laki-laki masih dipandang sebagai imam, pemimpin, pelindung, dan pendamping yang dibutuhkan lansia perempuan guna memberinya rasa aman dan nyaman.
”Dalam masyarakat, status janda masih dipandang negatif,” tambah Lathifah.
Pandangan negatif terhadap pernikahan lansia itu akan bertambah buruk jika beda usia pasangan tersebut sangat besar. Pandangan ini muncul karena sering dikaitkan dengan kemampuan seksual lansia yang memang menurun atau motif lain terkait materi atau warisan yang biasanya ditujukan pada pasangan lansia dengan umur jauh lebih muda.
Peneliti relasi dalam perkawinan dan keluarga yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Langgersari Elsari Novianti, Jumat (27/5/2022), mengatakan, setiap lansia yang menikah lagi memiliki alasan berbeda. Motivasi itu sangat bergantung pada kebutuhan dasar psikologis yang coba mereka penuhi melalui pernikahan.
”Kebutuhan seksual tidak lagi menjadi prioritas bagi lansia yang menikah lagi,” katanya.
Lansia tetap memiliki minat dan dorongan seksual, sama seperti orang muda. Minat seksual itu tidak berubah meski tergempur kultur masyarakat yang menganggap urusan seksual tak penting lagi buat lansia. Namun, secara alami kemampuan seksual untuk berhubungan badan tentu jauh menurun dibandingkan saat masih muda.
Karena itu, pemenuhan hasrat seksual lansia umumnya dilakukan dengan tindakan lain, seperti bergandengan tangan, saling membelai, atau berpelukan. Dengan pengalaman hidup yang dimiliki, lansia juga pandai mengalihkan minat seksual pada kegiatan yang bisa diterima secara kultur, seperti ibadah, menjalani hobi, bermain dengan cucu, atau hal lain yang membuat mereka bisa mengekspresikan kasih sayang.
Kebutuhan seksual tidak lagi menjadi prioritas bagi lansia yang menikah lagi.
Untuk pernikahan lansia dengan pasangan yang umurnya jauh lebih muda, masing-masing perlu saling menyesuaikan diri meski itu tidak mudah. Pasangan seperti ini harus memiliki fleksibilitas tinggi dan mampu saling memahami karena pasangannya tentu memiliki kebutuhan yang berbeda, termasuk untuk urusan seksual.
Penahapan
Pernikahan lansia sejatinya memiliki proses yang sama dengan pernikahan di usia dewasa muda. Mereka perlu saling mengenal, mencari kecocokan, memahami sifat masing-masing, hingga memperkenalkan calon pasangan barunya itu kepada anak dan keluarga besar. Anak dan keluarga pun perlu diberi waktu mengenal dan menyesuaikan dengan calon anggota baru keluarga tersebut.
”Namun, karena pasangan lansia merasa sudah pernah menikah dan memiliki posisi tertinggi dalam keluarga, tahapan pengenalan kepada anak dan keluarga sering diabaikan,” kata Lathifah.
Kurangnya pengenalan membuat sebagian lansia baru mengetahui perangai buruk pasangannya saat sudah menikah sehingga melahirkan pernikahan yang penuh stres. Ada pula pasangan lansia yang tidak berhasil membangun hubungan dengan anak dan keluarga barunya hingga akhirnya lansia tersebut pulang ke rumah atau keluarga asalnya tanpa kejelasan status atau akhir dari perkawinan mereka.
Bagi pasangan lansia, mengenalkan calon pasangan baru kepada anak-anak jauh lebih menantang dibandingkan pasangan muda yang mengenalkan pasangannya kepada orangtua. Meski berstatus anak, mereka adalah pribadi yang sudah dewasa dan mampu berpikir kritis. Anak juga memiliki memori kuat dengan salah satu dari orangtua mereka yang sudah meninggal sehingga terkadang menolak masuknya orangtua baru bagi mereka.
Karena itu, ”Dalam pengambilan keputusan untuk menikah lagi, lansia perlu melibatkan anak-menantu mereka,” tambah Langgersari. Pelibatan anak sejak awal dalam mengenali calon pasangan baru orangtuanya itu membuat baik anak maupun pasangan lansia bisa sama-sama mengenal, belajar memahami, dan menyesuaikan diri dengan calon anggota baru keluarga mereka.
Di luar masalah keluarga, pasangan lansia juga perlu membangun rencana pernikahan barunya, sama seperti pernikahan sebelumnya saat masih muda. Pasangan lansia perlu menata biduk rumah tangga mereka, mulai dari membangun keintiman dengan saling menemani atau membantu, mengaturan keuangan, termasuk harta lama mereka, hingga membangun rutinitas harian berdua yang menyenangkan.
Harus diingat, pasangan lansia yang ditinggal mati pasangan sebelumnya sudah memiliki pengalaman dengan pernikahan terdahulu. Karena itu, mereka memiliki pengetahuan yang cukup dan cara efektif untuk menjalankan peran dalam pernikahan baru mereka, penyelesaian konflik, serta cara-cara berelasi yang nyaman antara suami dan istri.
”Pengetahuan dan pengalaman ini seharusnya jadi fondasi yang kuat untuk pernikahan baru yang mereka jalani,” kata Langgersari.
Nyatanya, pernikahan lansia tidaklah mudah. Tantangannya pun jauh lebih besar, baik dari keluarga sendiri maupun masyarakat sekitar. Karena itu, seiring akan makin meningkatnya jumlah lansia Indonesia di masa mendatang, lansia yang produktif dan lebih mampu secara ekonomi, tantangan pernikahan lansia akan makin banyak dihadapi keluarga Indonesia.
”Pernikahan lansia seharusnya tidak membawa bencana dan sumber masalah baru dalam keluarga,” kata Lathifah. Untuk itu, semua tahapan pernikahan tetap harus dijalani tanpa harus mengorbankan kepentingan lansia ataupun anak. Pada akhirnya, lansia yang akan menikah lagi ataupun anak yang akan mendapat orangtua baru, semuanya berhak bahagia, lahir dan batin.