Bukan Cinta yang Melanggengkan Pernikahan
Langgengnya perkawinan hingga maut yang memisahkan adalah impian semua orang. Namun, banyak orang enggan memperjuangkan dan menginvestasikan waktu, tenaga, pikiran, dan kekayaan mereka demi awetnya perkawinan.
Hidup menua dengan pasangan hingga maut memisahkan adalah idaman semua orang. Namun, tak mudah mewujudkan impian itu. Komitmen harus dipegang, nyala cinta juga harus senantiasa dijaga. Kebutuhan masing-masing individu untuk berkembang pun perlu diperhatikan. Dan yang pasti, semua itu butuh investasi pikiran, tenaga, hingga biaya.
Kisah kakek Jo Byeong-man (98) dan istrinya, Kang Kye-yeol (89), dalam film dokumenter My Love, Don’t Cross That River (2013) ramai jadi pembicaraan hangat warganet pekan lalu. Film ini menggambarkan bagaimana pasangan usia senja itu menjalani hari-hari terakhirnya saat umur pernikahannya mencapai 75 tahun sampai akhirnya ajal menjemput sang kakek.
Hidup sendiri di pedesaan Korea Selatan saat fisik mulai ringkih, pendengaran berkurang, dan pandangan kabur tak membuat pasangan itu kehilangan romantika. Ke mana pun pergi, mereka senantiasa bersama dan memakai baju kembar. Mereka masih suka bermain bersama, membersihkan halaman rumah bareng, saling menyuapi, bahkan saling menggoda.
Sang kakek pun rela menyanyikan lagu saat menunggu nenek buang hajat, meniupi lututnya yang nyeri, mengantarkannya ke rumah sakit meski tubuhnya pun tidak fit, serta menggantikan memasak nasi saat nenek sakit. Sebaliknya saat kakek sakit, nenek dengan tulus menjaga dan merawat kakek. Tak lupa dia memandikan, menggosok tubuh, hingga mengelus wajah dan menggandeng tangan kakek saat tidur seperti yang biasa mereka lakukan.
Di sekitar kita pun akan mudah menemukan pasangan-pasangan yang menjalani pernikahan hingga usia senja, baik orangtua, kakek-nenek, maupun kakek buyut-nenek buyut kita. Memang, usia pernikahannya umumnya belum selama Kakek Jo dan Nenek Kang karena usia harapan hidup masyarakat Indonesia belum sepanjang masyarakat Korsel. Namun, banyak di antara mereka telah melampaui pernikahan emas atau 50 tahun.
Psikolog peneliti hubungan romantis yang juga dosen Fakultas Psikologi Universitas Bina Nusantara Jakarta, Pingkan CB Rumondor, di Kompas, 27 Februari 2021, menegaskan, ”Bukan cinta yang membuat perkawinan langgeng atau bertahan hingga puluhan tahun, tetapi komitmen.” Karena itu, jangan berharap cinta di masa lalu akan menjaga perkawinan selamanya.
Seiring waktu, cinta pasti akan menurun. Cinta itu buta, tetapi membangun relasi romantis itu rasional. Ketika jatuh cinta, bagian otak yang mengatur emosi akan aktif, sebaliknya otak yang mengatur logika justru tidak aktif.
Saat jatuh cinta orang akan merasa berbunga-bunga, deg-degan, nyaman, dan selalu memikirkan dia. Namun, masa yang penuh bahagia itu sampai terbangunnya keintiman emosional atau kedekatan fisik dan seksual paling hanya bertahan 2 tahun sampai 3 tahun. Setelah itu, rasa ketertarikan akan turun hingga cinta pun jadi hambar.
Bukan cinta yang membuat perkawinan langgeng atau bertahan hingga puluhan tahun, tetapi komitmen.
Terbatasnya waktu munculnya cinta itu juga dipengaruhi kerja neurotransmiter dopamin di otak, zat yang terkait dengan pencarian penghargaan atau kepuasan. Menurut Sebastian Ocklenburg, ahli biopsikologi di Institut Neurosains Kognitif, Universitas Ruhr, Jerman, dalam tulisannya di The Psychology Today, 19 Desember 2020, kerja dopamin ditentukan oleh besar kecilnya penghargaan tak terduga yang diberikan.
Dalam konteks pernikahan atau relasi berkomitmen jangka panjang, saat seseorang mengenal pasangannya luar dalam, baik tentang penampilan, perasaan, atau tindakan pasangannya, maka keterkejutan yang muncul menjadi sangat jarang. Akibatnya, dopamin yang dilepaskan otak pun sedikit hingga cinta pun menurun dari waktu ke waktu.
Baca juga : Lima Pilar Perkawinan
Inilah alarm bahaya pernikahan yang muncul ketika nyala cinta tidak dijaga agar senantiasa membara. Pudarnya cinta akan membuat kepuasan pasangan terhadap pernikahan rendah hingga membuat komitmen terhadap perkawinan pun turun. Akibatnya, risiko perselingkuhan atau perceraian meningkat.
”Cinta itu ibarat mesin mobil yang harus dipanaskan dan dirawat secara konsisten,” tambah Pingkan.
Menjaga komitmen
Saat seseorang menikah, maka sejatinya dia telah bertekad untuk berkomitmen membangun hubungan romantis dengan pasangannya. Dari komitmen itu, maka dia juga telah bersiap untuk terus-menerus menjaga, merawat, dan memperkuat komitmen itu.
Agar cinta tetap tumbuh dan pernikahan yang dijalani senantiasa memberi kebahagiaan, maka suami-istri bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Kakek Jo dan Nenek Kang. Tua bukanlah alasan untuk berhenti melakukan hal-hal baru yang menyenangkan atau menegangkan bersama. Tak perlu mewah, yang penting menghasilkan kesenangan atau penghargaan tak terduga hingga membuat pasangan terus berbunga-bunga seperti saat pertama bertemu.
Baca juga : "Swinger" dan Pudarnya Kesetiaan pada Pasangan
Kailee Hansen dan David Schramm dari Departemen Pembangunan Manusia dan Studi Keluarga Universitas Negeri Utah, Amerika Serikat, di situs universitas tersebut menyebut, hampir semua pasangan memulai pernikahan mereka dengan komitmen. Namun, banyak yang tidak menyadari bahwa komitmen membutuhkan waktu, energi, pemikiran, dan tindakan terus-menerus.
Mengutip pandangan profesor sosiologi di Universitas Negeri Pennsylvania, AS, Michael Johnson, terdapat tiga jenis komitmen dalam pernikahan, yaitu komitmen pribadi, moral, dan struktural. Komitmen pribadi atau disebut ”saya ingin” adalah komitmen yang didasari atas pikiran sendiri yang membuat Anda ingin mempertahankan pernikahan.
Sementara komitmen moral atau ”saya seharusnya” adalah komitmen yang muncul karena Anda meyakini kebenarannya, seperti karena Anda sudah berjanji di hadapan Tuhan atau ingin menepati komitmen itu. Adapun komitmen struktural atau ”saya harus” adalah komitmen yang Anda bangun untuk mempertahankan pernikahan, baik karena anak, tingginya biaya perceraian, atau khawatir dengan omongan masyarakat sekitar.
”Dari ketiga komitmen yang ada dalam pernikahan, maka komitmen pribadi adalah fondasi kokoh dalam sebuah pernikahan,” tulisnya.
Baca juga : Kapan Nikah... Kapan Nikah... Kapan Nikah...
Komitmen adalah proses yang berkelanjutan. Karena itu, untuk memperkuat komitmen pribadi, pasangan perlu membuat perencanaan dan mencoba menjalankan rencana komitmen tersebut. Komitmen adalah sebuah pilihan dan memilih untuk merencanakan komitmen dan menjalankannya akan membantu pasangan membangun hubungan yang berkomitmen.
Untuk mempermudah merencanakan komitmen, pasangan perlu memiliki tujuan bersama, seperti membangun rumah, memiliki tabungan atau asuransi pendidikan agar anak bisa berkuliah, liburan sekeluarga, serta membangun usaha bersama.
Namun, perencanaan komitmen saja tidak cukup, tetap diperlukan investasi pikiran dan tindakan untuk terus memperkuat komitmen, seperti menyediakan waktu untuk berkumpul dan berbincang dengan pasangan, mendengarkan keluh kesahnya, serta mendukung mimpi-mimpinya.
Jika perencanaan dan penguatan komitmen sudah dilakukan, penting untuk memperhatikan dan menghargai komitmen pasangan. Perkawinan adalah menyatukan dua kepala berbeda. Karena itu, selalu ingatlah hal yang Anda sukai dan syukuri dari pasangan, bukan terus- menerus mengeluhkan kekurangannya. Pasangan kita pun sudah berinvestasi untuk memperkuat pernikahan, termasuk menghargai kita. Karena itu, hargai pula usahanya.
Selain memiliki tujuan dan komitmen bersama, Ismatul Izzah, dosen Psikologi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam Jurnal Psikologi Integratif, Nomor 1 Tahun 2019, menyebut kunci kebahagiaan pasangan suami-istri yang menikah lebih dari 50 tahun adalah adanya komunikasi yang saling memahami dan memaafkan, terjaganya romantisisme dengan memberi perhatian dan memperlakukan pasangan dengan baik dan hormat, serta pemanfaatan waktu bersama.
Sementara itu, dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius, nilai agama berperan penting dalam memperkuat pernikahan. Kebahagiaan dan kelanggengan perkawinan itu dianggap tidak lepas dari campur tangan atau perlindungan Tuhan. Pandangan ini menimbulkan rasa syukur dan ikhlas atas semua yang dilalui selama menikah, serta berpikir positif dalam menjalani kehidupan berumah tangga.
”Keyakinan bahwa hidup manusia butuh perlindungan dan campur tangan Tuhan memicu keinginan untuk makin mendekatkan diri pada Tuhan,” tulisnya.
Aktualisasi diri
Meski demikian, di negara-negara Barat saat ini, komitmen saja sepertinya tidak cukup untuk menjaga awetnya perkawinan. Selama tiga dekade terakhir, seperti dikutip dari Kompas, 12 Mei 2021, perceraian pada pasangan berusia lebih dari 50 tahun atau disebut perceraian abu-abu (gray divorce) di AS justru naik dua kali lipat. Sementara perceraian pada pasangan berumur lebih dari 65 tahun pada periode sama meningkat tiga kali lipat.
Makin umumnya fenomena perceraian abu-abu itu, dikutip dari majalah Time, 4 Mei 2021, juga dipengaruhi kondisi demografi masyarakat, yaitu meningkatnya usia harapan hidup. Umur yang panjang membuka kesempatan lebih luas bagi setiap individu untuk mengembangkan diri. Besarnya kesempatan yang dimiliki membuat mereka jadi lebih pemilih dalam menentukan kebahagiaan yang mereka inginkan.
Baca juga : Saat Perceraian Harus Terjadi di Usia Lanjut
Selain itu, pasangan lanjut usia yang bercerai umumnya juga memiliki kemapanan finansial yang membuat mereka memiliki pilihan lebih banyak. Mereka pun cenderung mengalami sindrom sarang burung kosong (empty nest syndrome) seiring selesainya tahapan membesarkan anak. Akibatnya, mereka mulai memikirkan eksistensi diri tentang apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Semua itu membuat keputusan bercerai lebih mudah diambil. Salah satu kasus perceraian abu-abu yang menjadi perhatian tahun lalu adalah bercerainya miliarder Bill Gates (66) dan Melinda Gates (57) yang waktu itu memasuki usia perkawinan 27 tahun. Kebutuhan untuk bisa berkembang dan mengaktulisasikan diri itu membuat mereka memilih berpisah.
”Masyarakat Barat saat ini memandang tujuan pernikahan sebagai sarana untuk aktualisasi diri,” kata Pingkan. Berdasar sejarah perkembangan keluarga dan pernikahan, cepat atau lambat pergeseran tujuan pernikahan itu juga akan terjadi di Asia, termasuk Indonesia.
Hal yang pasti, kebahagiaan dan kelanggengan pernikahan haruslah senantiasa diperjuangkan sampai maut yang akhirnya memisahkan. Ikhtiar itu tetap dilakukan Nenek Kang yang tak berhenti berharap atas umur yang lebih panjang bagi Kakek Jo. Meski kematian pasangan sangat menyakitkan bak hilangnya separuh jiwa, tetaplah tersenyum karena telah memperjuangkan cinta dan komitmen demi langgengnya pernikahan.