Gangguan Kejiwaan Pasca-Persalinan: Beratnya Menjadi Ibu
Gangguan kejiwaan pada ibu setelah melahirkan masih dianggap masalah sepele. Padahal, dampaknya bagi kesejahteraan ibu, anak, ataupun keluarga sangat besar.
Risiko yang dihadapi ibu hamil dan melahirkan bukan hanya kematian, seperti yang dialami Raden Ajeng Kartini, 118 tahun lalu. Perubahan biologis dan psikologis selama persalinan bisa memicu gangguan mental ibu, mulai dari baby blues, depresi pasca-persalinan, hingga psikosis pasca-persalinan. Namun, kepedulian tentang kesehatan jiwa ibu melahirkan masih rendah.
Masyarakat umumnya hanya mengenal baby blues sebagai gangguan jiwa akibat persalinan. Gangguan ini dialami 80 persen ibu melahirkan dengan gejala utama mudah sedih, mudah tersinggung, hingga menangis tanpa sebab yang jelas. Gejala itu umumnya muncul 2-3 hari sesudah bersalin dan bisa hilang sendiri setelah dua minggu.
”Baby blues murni dipicu oleh masalah fisiologis, yaitu anjloknya hormon estrogen sesudah melahirkan,” kata psikiater di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga dan Rumah Sakit Umum Daerah dr Soetomo Surabaya, Nalini Muhdi, Sabtu (9/4/2022).
Anjloknya estrogen membuat ibu jadi sensitif berlebihan, mudah cemas, dan mudah depresi. Kelelahan fisik dan mental, kurang tidur, hingga pola hidup yang tiba-tiba berubah karena harus merawat bayi membuat suasana hati cepat berganti, pusing, atau sulit membangun ikatan emosional dengan bayinya. Seiring bertambahnya estrogen dalam tubuh, baby blues akan sembuh tanpa perlu pengobatan.
Namun, 15-20 persen ibu melahirkan akan mengembangkan depresi pasca-persalinan. Gangguan ini membuat ibu mengalami perubahan suasana hati dan depresi yang lebih mendalam dan sebagian besar justru tidak mengalami baby blues. Gejala itu bisa muncul hingga satu tahun setelah persalinan meski umumnya muncul pada tiga bulan setelah melahirkan.
Masyarakat masih memegang mitos bahwa semua perempuan bisa menjadi ibu. Padahal, untuk menjadi ibu yang baik perlu belajar, berlatih, dan mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. (Nalini Muhdi)
”Dibandingkan dengan baby blues, kesedihan yang dialami ibu yang mengalami depresi pasca-persalinan lebih mendalam dan terus-menerus,” ujar peneliti psikologi kebidanan yang juga dosen Program Studi Kebidanan Sekolah Vokasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Rizka Adela Fatsena, Kamis (21/4/2022).
Jika baby blues dipicu perubahan fisiologis tubuh ibu, lanjut Nalini, penyebab depresi pasca-persalinan lebih kompleks, gabungan dari penyebab biologis, psikologis, sosial, dan juga lingkungan. Ibu yang memiliki riwayat depresi sebelumnya, ada anggota keluarga yang juga depresi, atau memiliki gangguan psikiatrik lain lebih rentan mengalami depresi pasca-persalinan.
Selain itu, ibu yang sedang memiliki masalah dengan perkawinannya, menghadapi impitan ekonomi atau keuangan, hidup terpisah dengan suami dan mengasuh bayi sendiri lebih berisiko mengalami depresi pasca-persalinan. Ibu dengan kepribadian tertutup, terisolasi secara sosial, dan tidak memiliki dukungan suami, teman, keluarga dekat, atau tetangga juga lebih rentan.
Stigma dan penghakiman masyarakat terhadap ibu melahirkan, khususnya ibu muda, juga masih kuat. Ibu muda yang mencurahkan isi hatinya tentang peran barunya sebagai ibu justru sering dianggap manja atau dibandingkan dengan nenek mereka yang lebih tangguh dalam melahirkan, merawat bayi, sekaligus membesarkan banyak anak.
”Kapasitas mental setiap orang berbeda. Ibu pada generasi saat ini juga memiliki tantangan dan gaya hidup yang berbeda dengan ibu pada beberapa generasi yang lalu. Setiap ibu juga memiliki cara sendiri dalam menyikapi kehamilan dan persalinannya,” kata Rizka.
Mencurahkan isi hati atau menceritakan unek-uneknya sebagai ibu baru sebenarnya menjadi mekanisme yang baik untuk melepaskan beban yang ditanggung. Saat bercerita, mereka umumnya juga tak mengharap solusi atau bantuan. Namun, kuatnya stigma dan rendahnya kepedulian sekitar membuat banyak ibu memilih memendam sendiri beban persalinan yang dirasakan.
Depresi pasca-persalinan juga bisa dialami ayah. Menurut Nalini, kondisi itu terjadi karena ayah terdampak dari depresi yang dialami ibu. Ayah umumnya mengkhawatirkan peran barunya sebagai ayah, bingung merawat bayi, atau takut tidak bisa jadi ayah yang baik untuk bayinya. Situasi makin runyam jika komunikasi suami-istri tidak berjalan baik hingga saling menyalahkan.
Baca juga: Kehamilan Perlu Direncanakan
Selain baby blues dan depresi pasca-persalinan, sebagian ibu akan mengalami gangguan lebih berat, yaitu psikosis pasca-persalinan. Gejala gangguan ini umumnya muncul setelah enam bulan persalinan. Namun, gejala itu bisa timbul akibat persalinan yang memicu ketidakseimbangan aneka hormon atau sang ibu memang memiliki risiko gangguan jiwa berat sejak sebelum menjadi ibu, baik berupa psikosis, bipolar, maupun skizofrenia.
Prevalensi psikosis pasca-persalinan memang kecil, rata-rata kurang dari 1 persen. Namun, dampaknya nyata bagi kehidupan ibu, bayi, anak yang lain, suami, hingga keluarga.
Menurut Rizka, ibu yang mengalami psikosis pasca-persalinan umumnya mengalami depresi lebih berat, disorientasi ruang dan waktu, hingga kehilangan kesadaran akan realitas serta mengalami halusinasi dan delusi. Tak jarang, muncul pikiran serta tindakan untuk bunuh diri atau menyakiti diri dan orang lain.
Karena itu, dalam kasus ibu membunuh anaknya, seperti kasus KU (40) yang mencoba membunuh ketiga anaknya di Brebes, Jawa Tengah, pertengahan Maret 2022, Nalini mengingatkan pentingnya menegakkan diagnosis, apakah itu psikosis pasca-persalinan atau depresi pasca-persalinan dengan gejala psikosis. Terlebih jika kasusnya terjadi saat anak sudah berumur lebih dari satu tahun.
Baca juga: Pelajaran dari Kealpaan Mendeteksi Gangguan Jiwa di Brebes
Depresi pasca-persalinan yang ringan mungkin akan mudah disembuhkan. Tetapi, jika ditangani tidak tepat atau dibiarkan, depresi itu bisa berkembang menjadi berat dan menjadi pencetus munculnya gangguan jiwa berat saat mereka sedang berada dalam titik terendah kehidupannya.
Kepedulian
Meski persoalan kesehatan mental ibu pasca-melahirkan adalah nyata dan berdampak besar, kepedulian masyarakat masih rendah. Perubahan psikologis ibu pasca-persalinan sering diabaikan dan tidak diindahkan. Tantangan menjadi ibu sering kali dianggap hal sepele yang bisa dihadapi semua perempuan.
”Masyarakat masih memegang mitos bahwa semua perempuan bisa menjadi ibu. Padahal, untuk menjadi ibu yang baik perlu belajar, berlatih, dan mendapat dukungan dari lingkungan sekitar,” kata Nalini.
Kasus KU hanyalah puncak gunung es masalah kesehatan mental ibu. Tindakan KU menyebabkan satu anak umur 7 tahun tewas dan dua anak lain, usia 5 tahun dan 10 tahun, luka berat. Pemeriksaan polisi dan psikiater menunjukkan KU memiliki daya tahan stres rendah karena tingkat kecerdasannya di rentang paling bawah dari kondisi normal. KU juga punya trauma masa kanak-kanak hingga tak mau anaknya merasakan penderitaan seperti yang dialaminya.
Dalam dua dekade terakhir, kasus serupa pernah terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat (2006). An (31) yang merupakan lulusan perguruan tinggi teknik ternama di Bandung dan dikenal rajin beribadah membunuh tiga anaknya berumur 7 bulan, 3 tahun, dan 5,5 tahun. Kasus An ini menunjukkan gangguan mental pasca-persalinan bisa dialami siapa pun dengan latar belakang pendidikan apa pun.
Sementara di seputaran Jakarta, arsip Kompas menunjukkan, kasus ibu membunuh anak lebih mudah ditemukan, seperti pada kasus RP (39) di Jakarta Timur (2013) atau F (30) di Bekasi (2016). Namun, dari banyak kasus itu umumnya tidak terdiagnosis dengan lengkap. Kasus gangguan mental pasca-persalinan yang tidak terungkap atau tidak dilaporkan diyakini jauh lebih banyak.
Baca juga: Ibu Lempar Bayi dari Lantai 3 Mal, Dibawa ke RSJ
Jika jumlah persalinan di Indonesia berkisar 4,5 juta-5 juta per tahun, maka diperkirakan ada 675.000-1 juta ibu yang mengalami depresi pasca-persalinan. Karena itu, kesadaran dan kepedulian masyarakat, termasuk ibu hamil dan tenaga kesehatan, tentang kesehatan jiwa pasca-persalinan perlu terus diperkuat.
Selain mengedukasi masyarakat untuk memupus stigma ibu melahirkan, Rizka menilai tabu mencari pertolongan kepada tenaga kesehatan jiwa juga harus dipupus. Sampai kini, mencari bantuan psikolog, psikiater, atau pergi ke rumah sakit jiwa sering dianggap sebagai orang gila. Akibatnya, banyak ibu dengan gangguan kejiwaan enggan mencari pertolongan.
Sebagian bidan sebenarnya sudah dilatih untuk bisa mendeteksi gangguan kejiwaan ibu setelah melahirkan dan merujuknya kepada tenaga kesehatan jiwa. Namun, upaya itu masih sulit mengingat perhatian bidan dan masyarakat masih terfokus pada kehamilan, persalinan, hingga selesainya masa nifas.
Selain itu, perhatian setelah persalinan umumnya tertuju pada tumbuh kembang bayi. Akibatnya, pantauan kesehatan jiwa ibu yang gejalanya bisa muncul hingga satu tahun setelah persalinan jadi kurang terpantau.
Menurut Nalini, posyandu dengan kadernya sebenarnya bisa bisa diberdayakan untuk mendeteksi gangguan jiwa pada ibu. Mereka hanya perlu dilatih untuk mengenali gejala-gejala stres dan depresi pasca-persalinan serta disiapkan menjadi teman cerita atau pendengar yang baik bagi ibu-ibu yang baru melahirkan. ”Ini modal besar Indonesia. Tinggal bagaimana memberdayakan dan mengorganisasikannya,” ucapnya.
Baca juga: Awasi Depresi Pasca-Melahirkan
Untuk lebih mengenalkan depresi pasca-persalinan, tim dari Program Studi Kebidanan UNS sedang menginisiasi program Klepon Gurih (Kelompok Online Cegah Ibu Depresi Paska Lahir). Rizka berharap forum daring berbasis desa atau keluarahan itu bisa dijadikan tempat bagi ibu-ibu setelah persalinan untuk bercerita apa pun dan kapan pun dengan rekan mereka.
Upaya pembangunan kesadaran akan kesehatan mental ibu pasca-persalinan harus terus didorong. Jika tidak segera dimulai, risiko dan dampaknya akan semakin besar, mengingat masyarakat makin mengota dan tantangan hidup semakin berat. Terlebih, kesehatan dan kesejahteraan ibu lahir dan batin adalah kunci tumbuh kembang anak serta ketangguhan keluarga.