Proses Adaptasi Diaspora Bidang Kesehatan Akan Dimudahkan
Pemerintah akan memudahkan dan memperjelas proses adaptasi dokter ataupun tenaga kesehatan yang masuk dari luar negeri. Aturan yang menjadi mandat langsung dari presiden ini dalam waktu dekat akan ditandatangani.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki potensi besar meningkatkan kualitas kesehatan melalui diaspora dan jejaringnya yang berkarier di sejumlah negara. Melalui peraturan baru, pemerintah akan memudahkan dan memperjelas proses adaptasi para diaspora di bidang kesehatan yang akan berkarier di dalam negeri.
Hal tersebut mengemuka dalam pertemuan diaspora kesehatan Indonesia kawasan Amerika dan Eropa secara daring, Minggu (17/4/2022) malam. Selain diikuti Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan pejabat Kementerian Kesehatan (Kemenkes), pertemuan ini juga dihadiri lebih dari 300 diaspora dan sejumlah duta besar Indonesia untuk negara-negara sahabat.
Budi Gunadi menyampaikan, pada intinya pertemuan diaspora kesehatan bertujuan memberikan informasi terkait upaya pemerintah memudahkan dan memperjelas proses adaptasi dokter ataupun tenaga kesehatan yang masuk dari luar negeri. Aturan yang menjadi mandat langsung dari presiden ini dalam waktu dekat akan ditandatangani.
”Intinya adalah teman-teman (diaspora) kalau datang ke Indonesia, prosesnya akan kami pasang secara online (daring) agar bisa lebih transparan. Dalam waktu 14 hari harus sudah ada respons. Jadi, teman-teman bisa langsung beradaptasi satu tahun pertama di rumah sakit yang ditentukan Kementerian Kesehatan bersama organisasi profesi,” ujarnya.
Menurut Budi, tenaga kesehatan diaspora sudah bisa mendapatkan penghasilan sejak tahun pertama ditempatkan di rumah sakit. Setelah itu, pada tahun kedua, diaspora sudah diperbolehkan bekerja di tempat lain. Ia pun menjamin transparansi dalam setiap proses ini.
Kontribusi diaspora sangat penting dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan di Indonesia. Sebab, jika merujuk pada rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saat ini Indonesia masih kekurangan dokter. Kemenkes mencatat, Indonesia baru memiliki 101.476 dokter dan masih kekurangan 172.508 dokter untuk melayani total penduduk yang mencapai 273 juta jiwa.
”Kita harus mempercepat dalam mengejar kekurangan dokter ini. Kalau terlambat, kita akan melihat banyak orang meninggal. Jadi, ini merupakan tanggung jawab dan kewajiban kita untuk menyelesaikan masalah tersebut,” ucapnya.
Ketua I Ikatan Ahli dan Sarjana Indonesia (IASI) Jerman, yang juga berprofesi sebagai dokter bedah umum di Jerman Utara, Prasti Pomarius mengatakan, Divisi Kedokteran IASI sudah beberapa kali bekerja sama dengan Kemenkes untuk berbagi ilmu dan pengalaman di Jerman. Kerja sama juga dilakukan dengan sejumlah universitas dan rumah sakit di Indonesia untuk memberikan pengetahuan sebagai dosen tamu.
Besar sekali potensi dari para diaspora, baik para ahli maupun jejaringnya di Belanda, yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat Indonesia.
Menurut Prasti, anggota Divisi Kedokteran IASI terdiri dari dokter yang sedang menjalani spesialisasi di Jerman dan di antaranya tengah menjalani proses adaptasi untuk pulang ke Indonesia. Bahkan, sebagian dokter juga sudah pulang ke Indonesia, tetapi di tengah jalan mengundurkan diri dan kembali ke Jerman serta mendirikan klinik secara mandiri.
”Kami sekarang tinggal menindaklanjuti atau menunggu peraturan resmi dan transparansi yang akan diluncurkan. Kami juga berharap sebaiknya ada badan resmi yang benar-benar mengawasi jalannya pelaksanaan program adaptasi dan spesialisasi di seluruh Indonesia sehingga dalam prosesnya tidak ada biaya-biaya tak terduga,” katanya.
Selain itu, Prasti juga menyoroti tentang peraturan adaptasi untuk dokter spesialis yang menjalani pendidikan sarjana di luar negeri. Ia menyarankan agar program adaptasi disesuaikan dengan akreditasi, kredibiltas, dan sistem pendidikan yang sudah ditempuh di luar negeri tersebut. Hal ini untuk menghindari adanya adaptasi dengan program yang sama dengan mahasiswa koas atau dokter muda di Indonesia.
Program kerja sama
Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda Mayerfas menyatakan, banyak diaspora di Belanda dari berbagai bidang, termasuk kesehatan, yang ingin berkontribusi bagi Indonesia. Namun, banyak diaspora yang tidak mengetahui apa saja yang dibutuhkan Indonesia dan bagaimana cara berkontribusi untuk negara.
”Saat ini, terdapat 64 pelajar Indonesia yang mengikuti program pendidikan ataupun pertukaran di bidang kesehatan di Belanda. Besar sekali potensi dari para diaspora, baik para ahli maupun jejaringnya di Belanda, yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kesehatan rakyat Indonesia,” tuturnya.
Menurut Mayerfas, bidang kesehatan telah menjadi salah satu mandat prioritas yang diberikan presiden kepada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Den Haag, Belanda, untuk dilaksanakan dalam rangka kerja sama bilateral. Fokus kerja sama ini khususnya untuk membangun infrastruktur kesehatan di Indonesia.
Selama ini, kata Mayerfas, KBRI telah mengadakan sejumlah pertemuan dengan berbagai pihak, mulai dari penyedia infrastruktur kesehatan hingga pebisnis. Indonesia dan Belanda juga memiliki memorandum kerja sama kesehatan yang ditandatangani pada 2018. Adapun program yang dilakukan, antara lain, sister hospital dan kerja sama antar-universitas, termasuk di bidang farmasi hingga digitalisasi kesehatan.
”Kebutuhan perawat di Belanda sangat tinggi. Sebuah perusahaan di Belanda secara khusus merekrut dan melatih perawat dari Indonesia hingga memperoleh sertifikasi internasional. Setelah pendidikan nanti dan memperoleh pengalaman kerja, para perawat telah siap ditempatkan di negara mana pun atau kembali ke Indonesia,” ucapnya.