Antisipasi Wabah “Lumpy Skin Disease” di Indonesia
”Lumpy skin disease”, wabah penyakit kulit pada sapi yang menyebar di dunia sepanjang 2019-2021, resmi terdeteksi di Indonesia. Meski tidak menginfeksi manusia, wabah ini tetap dapat berdampak terhadap perekonomian.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit kulit pada sapi asal Afrika, yakni lumpy skin diseaseatau LSD yang menyebar di dunia sepanjang 2019-2021 kini terdeteksi di Indonesia. Wabah ini membuat sapi mengalami kerusakan kulit hingga kematian. Sejumlah strategi pengendalian tengah dilakukan agar wabah ini tidak mengakibatkan gangguan pada usaha peternakan di Indonesia.
Koordinator Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Hewan Kementerian Pertanian Arief Wicaksono mengemukakan, LSD merupakan penyakit sapi lintas batas dan wajib dilaporkan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). LSD disebabkan oleh virus yang sangat stabil dan bertahan dengan baik di lingkungan sehingga sulit dieradikasi tanpa vaksinasi.
”Hanya 30 sampai 70 persen dari hewan terinfeksi yang sakit. Akan tetapi, yang dikhawatirkan adalah sapi menderita demam tinggi, penurunan tajam produksi susu, dan mastitis sekunder. Di samping itu, terjadinya kerusakan kulit yang permanen membuat nilai ekonomi sapi akan jatuh apabila diperjualbelikan,” ujarnya dalam seminar nasional tentang mitigasi wabah LSD di Jakarta, Jumat (1/4/2022).
Sapi yang terdeteksi terjangkit LSD juga akan mengalami periode kesembuhan yang lama dan tidak dapat kembali ke tingkat produksi yang sama. Pada akhirnya, wabah menimbulkan pembatasan sangat ketat terhadap perdagangan global sapi hidup dan produk-produknya.
Hanya 30 sampai 70 persen dari hewan terinfeksi yang sakit. Akan tetapi, yang dikhawatirkan adalah sapi menderita demam tinggi, penurunan tajam produksi susu, dan mastitis sekunder. Di samping itu, terjadinya kerusakan kulit yang permanen.
Dari investigasi yang dilakukan, lanjut Arief, telah ditemukan tanda klinis LSD pada sapi yang cukup signifikan di kabupaten atau kota di Riau. Sampai saat ini, tercatat situasi LSD di Riau terbanyak berada di Indragiri Hulu dengan 215 kasus, disusul Siak (78), Kota Dumai (51), Pelalawan (39), Indragiri Hilir (21), Bengkalis (21), dan Kampar (8).
Sementara tahun sepanjang 12 Januari-26 Maret 2022, sapi yang telah terjangkit LSD sebanyak 381 ekor. Dari jumlah tersebut, 3 ekor sapi terkonfirmasi mati dan 14 ekor dipotong paksa. Adapun total daerah yang mengalami wabah ini 8 kabupaten dan 86 desa.
Pemberantasan LSD di wilayah ini diakui Arief cukup sulit dilakukan bagi sapi yang dilepasliarkan. Sebab, beberapa sapi di Riau kerap dilepasliarkan di lahan sawit. Sementara upaya isolasi jauh lebih mudah dilakukan pada sapi ternak yang dikandangkan.
Menurut Arief, Indonesia sebenarnya sudah meningkatkan kewaspadaan ketika wabah LSD mulai memasuki China dan India pada Agustus 2019. Wabah ini kemudian mulai menyebar di wilayah Asia Tenggara seperti Myanmar, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia sepanjang 2020-2021 hingga terdeteksi masuk ke Indonesia pada Februari 2022.
”Kami mengadakan seminar mengenai kewaspadaan ini dan membuat buku kontinjensi kesiapsiagaan dalam menghadapi penyakit ini. Jadi, sebenarnya kita sudah mempunyai informasi dan petunjuk terkait apa yang harus dilakukan apabila penyakit ini menyebar,” tuturnya.
Selain itu, pemerintah merespons kejadian ini dengan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian Nomor 242 Tahun 2022 tentang Penetapan Daerah Wabah LSD di Riau. Melalui penerbitan SK ini, diharapkan kepala daerah dapat menutup wilayah tersebut. Namun, kepala daerah kurang merespons SK ini karena LSD dianggap bukan penyakit berbahaya dengan tingkat kematian yang rendah.
Arief menyatakan, strategi pengendalian LSD yang akan dilakukan adalah melakukan deteksi dini dengan penelusuran kasus pasif ataupun aktif. Seluruh balai veteriner yang terdapat di 9 wilayah saat ini juga sudah memiliki kemampuan di dalam mendiagnosis wabah ini.
Pemerintah juga akan melakukan pengendalian lalu lintas karena banyak pintu penyebaran yang tidak terjaga, khususnya di darat, melalui pasar hewan. Di sisi lain, dilakukan juga vaksinasi darurat dengan target wilayah yang sudah terkena wabah, pengendalian vektor, dan meningkatkan komunikasi, informasi, serta edukasi.
Karakteristik virus
Guru Besar Mikrobiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Widya Asmara menjelaskan, virus LSD yang menyebar ini masuk ke dalam famili Poxviridae dengan subfamili Chordopoxvirinae dan genus Capripoxvirus. Virus LSD sangat stabil untuk waktu yang lama pada suhu kamar, terutama pada keropeng kering. Dalam kondisi lingkungan gelap seperti kandang hewan yang terkontaminasi, virus ini dapat bertahan selama beberapa bulan.
Namun, virus LSD peka terhadap beberapa kondisi, seperti sinar matahari, derajat keasaman (pH) basa atau asam, dan detergen mengandung pelarut lipid. Virus ini dapat diinaktivasi pada suhu 55 derajat celsius selama dua jam dan 30 menit pada suhu 65 derajat celsius.
”Rute paling sering dalam penularan LSD adalah melalui gigitan serangga. Akan tetapi, ada rute lain, yaitu dari kontak langsung melalui luka kulit, saliva, leleran hidung, susu, atau semen. Bisa juga melalui kontak tidak langsung dari peralatan dan pekerja kandang atau peralatan medik veteriner, yaitu jarum suntik,” ungkapnya.
Gejala LSD pada sapi bervariasi, dari ringan sampai berat yang ditandai dengan demam mencapai 41,5 derajat celsius. Setelah itu, muncul juga nodul kulit yang menonjol dengan diamter 2-5 sentimeter dan tersebar di daerah leher, punggung, ekor, dan organ genital. Sapi juga menunjukkan kepincangan, kurus, dan penghentian produksi susu.
Meski tidak bersifat zoonosis atau menginfeksi manusia, wabah LSD tetap berdampak terhadap perekonomian. Sebab, wabah ini membuat hewan ternak mengalami kerusakan kulit, penurunan produksi susu, masalah fertilitas dan keguguran, hingga kematian.