Saat ini ada penyakit kulit pada sapi asal Afrika, yakni ”Lumpy Skin Disease” (LSD), mengancam Indonesia. Saatnya melakukan analisis risiko ancaman LSD. Meski tak menular ke manusia, tetapi menimbulkan kerugian ekonomi.
Oleh
SOEHARSONO
·4 menit baca
Setelah Demam Babi Afrika (African Swine Fever), penyakit babi asal Afrika, sampai Sumatera Utara (September 2019), Bali (Desember 2019), NTT, Jawa, dan lain-lain, kini ada penyakit kulit pada sapi asal Afrika, yakni lumpy skin disease” (LSD), mengancam Indonesia.
Menurut Badan Pangan Dunia (FAO), negara pertama Asia yang tertular adalah Bangladesh (Juli 2019), kemudian India dan China (Agustus 2019). Selanjutnya Taiwan (Juli 2020), Vietnam (Oktober 2020), Thailand (Mei 2021), dan Malaysia (Juni 2021).
Kini tinggal selangkah lagi LSD sampai ke Indonesia. Saatnya melakukan analisis risiko ancaman LSD. LSD tak menular ke manusia, tetapi menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar pada peternakan sapi.
Kerugian ekonomi, menurut Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), antara lain, penurunan berat badan, penurunan produksi susu, keguguran, sapi betina tidak mengalami masa berahi (anestrus) beberapa bulan, sapi jantan mengalami kemandulan sementara atau bahkan permanen. Kulit tidak bisa dimanfaatkan sebagai bahan tas atau sepatu.
Penyebab LSD adalah virus cacar, Famili Poxviridae, Genus Capripox, disebut juga virus Neethling.
Sejarah LSD
Penyebab LSD adalah virus cacar, Famili Poxviridae, Genus Capripox, disebut juga virus Neethling. LSD pertama kali dilaporkan di Zambia (1929). Antara 1943 dan 1945 ditemukan di Botswana, Zimbabwe, dan Republik Afrika Selatan.
Pada 1949 terjadi wabah LSD di Afrika Selatan, menyerang 8 juta sapi, menimbulkan kerugian ekonomi hebat. Dari Afrika Selatan penyakit menyebar ke Kenya, Sudan, Tanzania, Somalia, dan Kamerun.
Pada tahun 1989, LSD ditemukan di Israel. Ini merupakan penyebaran pertama di luar Afrika. Penyebaran ini diduga karena lalat Stomoxys calsitrans, penular utama LSD terbawa angin dari Mesir.
Menurut OIE, virus LSD pada keropeng kulit di luar tubuh sapi tahan hidup sampai 33 hari. Ketahanan hidup ini menyebabkan virus tetap hidup di moncong lalat sehingga mampu menularkan ke sapi lain dalam jarak jauh. Dari Israel LSD menyebar ke Eropa Selatan
Lalat Stomoxys berukuran besar; di Indonesia dikenal sebagai lalat kandang. Lalat ini bertindak sebagai vektor mekanis, artinya tidak terjadi perkembangbiakan virus dalam tubuh lalat. Selain lalat kandang, beberapa literatur menyebutkan bahwa penularan dapat juga dilakukan oleh caplak Rhipicephalus sp dan Amblioma sp, melalui cara makan terputus (interrupted feeding).
Penularan lewat jarum suntik (iatrogenic transmission) bisa terjadi ketika menggunakan jarum yang sama untuk vaksinasi massal. Melalui sedikit jaringan yang tertinggal di jarum, sudah bisa menularkan LSD.
Impor sapi hidup dari daerah tertular dapat menyebarkan LSD ke tempat yang lebih jauh. Beberapa dekade terakhir LSD secara perlahan-lahan menyebar ke Timur Tengah dan Turki. Tahun 2015 menyebar ke negara Balkan, Kaukasus dan Federasi Rusia. Penyebaran LSD ke daerah iklim dingin, seperti Rusia, diduga sebagai akibat pemanasan global.
Antisipasi Indonesia
Jajaran Kementerian Pertanian yang mengurusi kesehatan hewan telah mengingatkan dinas di daerah untuk mewaspadai munculnya LSD. Laboratorium kesehatan hewan (labkeswan) juga dipersiapkan untuk mampu melakukan peneguhan diagnosis LSD.
Labkeswan yang tersebar di Medan, Bukittingi, Tanjungkarang, Subang, Wates, Denpasar, Banjar Baru, dan Maros, telah mempunyai peralatan dan kemampuan teknis diagnosis PCR yang juga dipergunakan untuk konfirmasi LSD. Selain labkeswan di atas, ada pula Balai Besar Penelitian Veteriner di Bogor.
Petugas kesehatan garis depan (poskeswan) perlu mengenali ciri-ciri LSD untuk deteksi dini.
Sebenarnya, gambaran klinis LSD berupa benjolan pada kulit diameter 2-5 sentimeter sangat jelas. Namun, karena Indonesia masih bebas LSD, diperlukan peneguhan laboratorium sehingga diagnosis menjadi 100 persen benar. Petugas kesehatan garis depan (poskeswan) perlu mengenali ciri-ciri LSD untuk deteksi dini.
Menurut OIE, sebagai diagnosis banding LSD antara lain bovine herpes virus-2 (pseudo LSD) dan demodicosis sapi. Sebagai mantan penyidik penyakit hewan, penulis pernah menjumpai kasus demodicosis sapi di Bali dan Timor. Demodicosis sapi tidak bersifat wabah, jarang mematikan, hanya terjadi sporadik, mudah didiagnosis dengan mikroskop biasa.
Pencegahan/pengendalian
Ada beberapa cara untuk mencegah masuknya LSD ke daerah atau negara bebas. Pertama, melarang importasi sapi dari negara tertular. Bila terlanjur masuk namun segera diketahui, bisa dilakukan eliminasi (stamping out) semua hewan peka di wilayah tertular baru. Cara ini sulit dilaksanakan dalam kondisi Indonesia, karena mencakup biaya yang sangat besar dan adanya penolakan dari peternak.
Di daerah endemik, pengendalian melalui vaksinasi LSD merupakan pilihan terbaik. Ada vaksin berisi virus LSD hidup yang dilemahkan (live-attenuated vaccine), yang banyak dipergunakan di Afrika Selatan. Di samping itu ada vaksin yang menggunakan virus cacar kambing atau domba.
Untuk mencegah LSD, pemerintah sudah mempersiapkan kemungkinan impor vaksin secara darurat apabila LSD sampai di Indonesia.
Gigitan lalat bisa dihindari melalui penyemprotan atau memandikan (dipping) sapi dengan insektisida. Cara ini kurang efektif karena perlu diulang pada interval tertentu. Setelah disemprot atau dimandikan insektisida, sapi tak boleh dipotong untuk beberapa lama agar residu insektisida hilang.