Dokter adalah profesi yang mulia, memiliki etiket kedokteran, bertanggung jawab menjaga harkat profesi, dan mengutamakan kepentingan masyarakat.
Oleh
DR SAMSURIDJAL DJAUZI
·5 menit baca
Sebagai mantan wartawan, saya suka mengikuti berita kesehatan, terutama mengenai kedokteran. Saya merasa cukup banyak kemajuan dalam layanan kedokteran di negeri kita. Salah satunya adalah diberlakukannya asuransi nasional di bidang kesehatan (BPJS). Dahulu, biaya kesehatan merupakan hambatan masyarakat untuk mendapat layanan kesehatan, sekarang dengan dukungan BPJS, banyak masyarakat yang dapat menikmati layanan kedokteran yang diperlukan, termasuk layanan yang berbiaya mahal, seperti cuci darah, pemasangan ring pada penyakit jantung, dan operasi sendi. Kemajuan tersebut tentu tak lepas dari kebijakan pemerintah serta dukungan profesi kesehatan. Saya mencatat ada dua peristiwa yang menunjukkan bagaimana profesi kesehatan dapat melindungi masyarakat serta mengutamakan kepentingan masyarakat.
Pada waktu program imunisasi HPV (Human Papillomavirus) dijalankan di Jepang, media Jepang melaporkan ada siswa yang tangannya lumpuh setelah divaksin HPV. Seperti diketahui, vaksin HPV diberikan kepada siswi usia 9 tahun sampai 13 tahun untuk mencegah kanker serviks (leher rahim). Berita ini amat mengejutkan orangtua murid sehingga orangtua murid di Jepang meminta agar Kementerian Kesehatan Jepang segera menghentikan program imunisasi HPV pada siswi sekolah. Protes orangtua murid demikian kerasnya sehingga Menteri Kesehatan Jepang terpaksa menghentikan sementara pemberian vaksin HPV. Kalangan profesi kedokteran merasa prihatin dengan penghentian program tersebut dan kemudian mengirimkan tim untuk menyelidiki kebenaran berita kelumpuhan tersebut. Tim mendapatkan bahwa siswi yang disuntik memang mengalami nyeri pada lengan yang disuntik terutama jika digerakkan, tetapi lengan tersebut sama sekali bukan lumpuh seperti yang diberitakan. Nyeri hanya berlangsung selama dua hari dan setelah itu lengan siswi tersebut dapat berfungsi seperti biasa. Kalangan profesi kedokteran menyiarkan hasil temuannya dan sudah tentu temuan tersebut melegakan orangtua murid dan imunisasi HPV kemudian dilanjutkan. Pada peristiwa ini profesi kedokteran telah berhasil membangun kembali kepercayaan masyarakat untuk bersama mencegah kanker serviks.
Kasus kedua yang saya ingat di Indonesia. Seorang dokter di Jawa Barat diberitakan berhasil mengobati sejumlah penyakit kanker dengan obat temuannya. Para penderita kanker berdatangan untuk mencari kesembuhan. Bahkan, ada pejabat tinggi yang juga menggunakan obat tersebut. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) kemudian memanggil dokter yang bersangkutan untuk menjelaskan pengobatan yang dilakukannya. Ternyata dokter tersebut menggunakan obat steroid. Obat ini memang dapat mengurangi nyeri, menambah nafsu makan, tetapi obat steroid tidak dapat menyembuhkan penyakit kanker. Dokter tersebut mengobati pasien tanpa melakukan uji klinik terlebih dahulu. Kasus ini menjadi berita hangat di media massa, dan pengurus IDI pada waktu itu memberi sanksi kepada yang bersangkutan karena melakukan pengobatan tanpa melalui tahapan ilmiah yang harus dilalui. Pada waktu itu pengurus IDI mendapat banyak kritik karena dianggap tidak menghargai dokter Indonesia yang mempunyai penemuan yang amat berharga. Akan tetapi, hasil pengobatan yang dikatakan membaik, dengan pemeriksaan obyektif di Jepang didapatkan ternyata kanker hati yang diobati bertambah besar dan stadiumnya menjadi lanjut.
Kedua peristriwa ini masih saya ingat. Saya tidak tahu, apakah idealisme dokter sekarang ini masih mengutamakan kepentingan masyarakat. Apakah kewajiban melindungi masyarakat masih merupakan komitmen profesi kesehatan. Berita kesehatan di negeri kita semakin ramai dan juga semakin rumit. Tidak mudah bagi masyarakat untuk memilih berita yang beredar. Apakah IDI sudah mempunyai semacam clearing house tempat masyarakat menjernihkan isu-isu kesehatan yang beredar? Terima kasih atas penjelasan Dokter.
M di J
Terima kasih atas kepedulian Anda pada masalah kesehatan serta profesi kesehatan, khususnya profesi dokter. Saya menjadi anggota IDI sejak 1970 dan beberapa kali pernah menjadi pengurus di cabang IDI dan di pengurus besar. Saya mengikuti perjalanan organisasi IDI. Jumlah dokter sekarang sudah mencapai sekitar 140.000 orang. Saya masih ingat bagaimana senior saya yang saya hormati menanyakan ketika saya lulus dokter, apakah saya sudah menjadi anggota IDI. Ketika saya jawab sudah, dia memberi selamat dan menasihati saya agar menjaga harkat profesi kedokteran. Pada waktu itu, saya menganggap menjadi anggota IDI adalah otomatis saja, lulus menjadi dokter, ya, menjadi anggota IDI. Sekarang, saya lebih memahami nasihat senior saya tersebut. Menjadi anggota IDI adalah suatu kehormatan. Kita diterima dalam kelompok profesi yang mempunyai cita-cita mulia, mematuhi etika kedokteran, serta bertanggung jawab menjaga harkat profesi kedokteran.
Lebih dari 50 tahun saya menjadi anggota IDI. Saya belajar dari para senior dan sekarang mungkin saya sudah menjadi anggota angkatan tua. Banyak anggota IDI yang muda-muda dan pengurus yang bersemangat. Namun, angkatan sekarang juga menghadapi permasalahan yang lebih kompleks. Saya merasa bersyukur hubungan IDI dengan Kementerian Kesehatan sekarang ini berjalan amat baik. IDI diikutsertakan dalam berbagai proses pengambilan keputusan, termasuk dalam upaya menanggulangi Covid-19 ini. IDI juga secara aktif mengajukan berbagai usul dan rekomendasi kepada pemerintah dalam bidang kesehatan. Mungkin tidak semua usul dan rekomendasi IDI diketahui oleh masyarakat. Hubungan IDI dengan media massa setahu saya juga amat baik. Teman-teman wartawan cukup rajin ke Jl Samratulangi untuk meliput berbagai kegiatan IDI. Secara teratur IDI memberi penghargaan kepada anggota yang berprestasi dalam bidang pelayanan kesehatan, penelitian, ataupun pengabdian masyarakat. Bahkan, IDI juga memberi penghargaan kepada anggota masyarakat yang bukan dokter. Seingat saya Jenderal M Jusuf dan Ibu Umar Wirahadikusumah pernah pendapat penghargaan IDI.
Menjadi angggota IDI adalah suatu kehormatan. Kita diterima dalam kelompok profesi yang mempunyai cita-cita mulia, mematuhi etik kedokteran, serta bertanggung jawab menjaga harkat profesi kedokteran.
Saya setuju dengan pendapat Anda bahwa masyarakat perlu mendapat berita kesehatan yang benar sehingga dapat bersikap benar pula dalam memelihara kesehatan. Dalam era media sosial sekarang ini berbagai berita sampai ke masyarakat. Masyarakat tentu tertarik pada berita yang menarik, tetapi mungkin saja berita yang menarik tersebut tidak sepenuhnya benar. Masyarakat juga akan tertarik pada pendapat orang-orang terkenal atau berpengaruh meski pendapat tokoh-tokoh tersebut belum tentu benar dari segi kedokteran. Kita sekarang berada dalam era kedokteran berbasis bukti. Obat dan cara pengobatan yang akan digunakan oleh dokter hendaknya melalui penelitian atau uji klinik. Prosedur tersebut disyaratkan untuk menjamin keamanan dan manfaat obat atau cara pengobatan tersebut. Kaidah ini berlaku di dunia kedokteran secara global. Teman sejawat saya, Prof dr Zubairi Djoerban, Sp.PD, K-HOM, cukup rajin menyebarkan informasi baik di Facebook ataupun di media massa cetak dan elektronik. Informasi tersebut tentu bermanfaat untuk menjernihkan isu-isu kedokteran yang timbul. Saya setuju dengan usulan Anda agar IDI mempunyai semacam clearing house mengenai informasi kesehatan yang beredar. Masyarakat dapat melakukan klarifikasi berbagai isu kesehatan yang beredar di masyarakat. Semoga ketua IDI yang baru, dr Mohammad Adib Khumaidi, Sp.OT, dapat mempertimbangkan usul Anda. Terima kasih atas perhatian Anda pada profesi kesehatan. Salam sehat selalu.