Vaksinasi HPV Jadi Kunci Turunkan Kasus Kanker Serviks
Deteksi dini kanker serviks di Indonesia masih amat rendah sehingga angka kematian akibat penyakit ini tergolong tinggi. Penapisan dan vaksinasi HPV menjadi salah satu cara untuk menekan prevalensi jenis kanker ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kanker serviks atau mulut rahim berada di peringkat pertama kanker ginekologi di Indonesia. Namun, cakupan penapisan untuk deteksi dini kanker ini di Indonesia amat rendah. Sejumlah upaya untuk menurunkan kasus ini, termasuk menggencarkan vaksinasi human papilomavirus atau HPV sebelum menikah.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dalam webinar bertajuk ”Vaksinasi HPV Sebelum Menikah: Protected Together”, Rabu (10/3/2021), menyampaikan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus kanker serviks tertinggi di Asia. Di Indonesia, kanker serviks berada di peringkat pertama kanker ginekologi atau reproduksi wanita.
Sementara berdasarkan data Globocan 2020, kanker serviks termasuk kanker perempuan terbanyak kedua setelah kanker payudara di Indonesia dengan jumlah kasus 36.633 atau 17,2 persen. Kanker ini bahkan tercatat membunuh 57 perempuan Indonesia setiap hari.
Meski demikian, cakupan penapisan untuk mengetahui dan mendeteksi dini kanker serviks di Indonesia masih rendah, yakni 9,4 persen. Idealnya, untuk dapat mendeteksi dini kanker serviks perlu upaya penapisan minimal hingga 80 persen. Itu turut mengakibatkan prevalensi kanker ini masih tinggi di Indonesia, bahkan meningkat setiap tahun.
Menurut Hasto, kunci menurunkan kasus kanker serviks dapat dilakukan dengan tiga pendekatan, yakni menghilangkan budaya seks bebas, menjaga kesehatan atau kebersihan organ genitalia, serta deteksi dini melalui penapisan dan vaksinasi. Namun, dari ketiga upaya tersebut, vaksinasi dinilai menjadi cara paling efektif dan efisien.
Deteksi dini
”Cara untuk menghindari kanker ini, di antaranya, dengan vaksinasi dan deteksi dini. Ini merupakan salah satu cara yang harus dilakukan dan diakui bisa menekan prevalensi kanker mulut rahim,” ujar Hasto.
Cakupan penapisan untuk mendeteksi dini kanker serviks di Indonesia masih rendah, yakni 9,4 persen. Idealnya, perlu upaya penapisan minimal hingga 80 persen.
Hasto mengatakan, saat ini BKKBN telah berkomunikasi dengan Kementerian Agama untuk menjalankan program penapisan kesehatan calon istri tiga bulan sebelum menikah untuk mengetahui kadar hemoglobin hingga status nutrisi atau kesehatan, termasuk menerima vaksin HPV. Nantinya akan ada platform untuk mendata semua pasangan yang akan menikah.
”Sekarang merupakan saat tepat untuk berinvestasi jangka panjang agar bebas kanker serviks karena besarnya populasi saat ini. Jika tidak dicegah sekarang, 20-30 tahun lagi prevalensi dan insidensi akan tinggi seiring perilaku seks mereka yang juga kian maju sehingga lebih berisiko,” ujarnya.
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan Brawijaya Hospital Antasari, Diana Mauria Ratna, mengatakan, upaya mencegah dan menurunkan kasus kanker serviks di Indonesia perlu segera dilakukan karena ada kecenderungan peningkatan kasus dari tahun ke tahun yang signifikan.
”Data dari Global Cancer pada 2002, angka kanker serviks yang didiagnostik per hari di Indonesia sekitar 40 orang. Pada 2020 atau 18 tahun berselang, angkanya menjadi 100 orang per hari. Dari angka itu, per tahunnya pada 2002 terdapat 7.500 orang dan sekarang sudah 21.000 atau hampir tiga kali lipat,” katanya.
Selain hemoglobin, pemeriksaan bagi pasangan sebelum menikah dapat mencakup kelainan genetik, seperti talasemia (kelainan darah), hepatitis B, hingga HIV. Ia menekankan, vaksinasi HPV amat penting dilakukan bagi pasangan sebelum menikah karena dapat menjaga kekebalan tubuh saat terjadi kehamilan.