Kehidupan Mahasiswa Kedokteran
Mahasiswa kedokteran perlu mengenal dunia nyata secara lebih dini. Apa yang dipelajari di ruang kuliah bukan tak mungkin tak sama dengan apa yang akan dialami di masyarakat.
Dua tahun yang lalu saya berhasil masuk fakultas kedokteran di sebuah perguruan tinggi negeri. Saya merasa amat bahagia. Ini merupakan awal dari langkah menuju cita-cita saya menjadi dokter.
Sejak kecil saya ingin menjadi dokter. Waktu di sekolah dasar, saya jadi dokter kecil dan saya merasa senang bermain menolong teman-teman saya.
Orangtua saya mendukung cita-cita saya dan hanya mengingatkan sebagai perempuan saya harus juga menyiapkan diri menjadi istri dan ibu yang baik, jangan larut dalam pekerjaan sebagai dokter. Saya bercita-cita menjadi dokter spesialis anak. Saya ingin ikut menjadikan anak Indonesia sehat, bahagia, dan mampu bersaing dengan anak-anak di negeri lain.
Dokter akan belajar banyak dari kebiasaan masyarakat setempat, masyarakat setempat juga belajar dari dokter.
Tahun pertama kuliah saya harus menyesuaikan diri dengan belajar di perguruan tinggi yang berbeda sekali dengan sewaktu di SMU. Kelas saya terdiri atas dua ratus orang. Dosen hampir tak mengenal kita.
Mahasiswa harus pandai membagi waktu untuk belajar dan ujian di fakultas kedokteran sering sekali. Saya hampir tak punya waktu untuk bermain dan melakukan kegiatan sosial.
Untunglah pada tahun kedua ini saya mulai mampu belajar secara efektif. Saya belajar dari senior dan juga dari media sosial bagaimana belajar secara efektif. Prestasi belajar saya mulai naik dan kepercayaan diri saya juga bertambah.
Saya mulai melihat dunia lain, selain kuliah kedokteran. Saya mulai ingin ikut kegiatan sosial, bahkan jika mungkin ikut meringankan beban orangtua dengan mempunyai penghasilan sendiri. Tentu tidak mudah, tetapi dengan adanya digitalisasi, hal-hal tersebut mungkin dapat dilakukan tanpa banyak keluar rumah dan membuang waktu banyak.
Sebagai dokter generasi lama, bagaimana kehidupan Dokter sewaktu mahasiswa? Apakah juga sama dengan kami sekarang, harus banyak membaca, menyiapkan diri untuk kuliah dan diskusi?
Senior saya sering mengingatkan menjadi dokter tak hanya harus pintar, teliti dan terampil, tetapi juga harus pandai berkomunikasi, mempunyai empati dan menghargai hak-hak pasien. Saya merasa pendidikan yang saya peroleh lebih banyak untuk pengetahuan dan keterampilan.
Baca juga:DPR Sepakat Bahas Revisi Undang-undang Pendidikan Kedokteran
Memang cukup banyak dosen yang memberi contoh membangun sikap yang profesional. Menurut pendapat saya, untuk menjadi dokter yang baik sesuai harapan masyarakat, mahasiswa kedokteran harus menyiapkan diri menjadi pribadi yang siap mengabdi, berhati mulia, dan siap menolong orang yang membutuhkan.
Saya ingin mendapat bimbingan dari Dokter, bagaimana saya dapat menggunakan waktu dengan baik sebagai mahasiswa kedokteran agar saya tidak terjebak hanya mengejar angka ujian saja. Saya baru saja membaca buku biografi Bung Hatta berjudul "Untuk Negeriku". Saya amat terinspirasi bagaimana Bung Hatta menyiapkan diri untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan, tidak hanya belajar agar lulus dari perguruan tinggi. Terima kasih atas bimbingan Dokter.
N di P
Wah, saya amat senang membaca cerita mengenai kehidupan Anda. Banyak remaja yang ingin menjadi dokter dan ingin turut bertugas untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Namun, seperti Anda ungkapkan, sering kali mereka terjebak ke kebiasaan belajar yang lebih mengutamakan pengetahuan dan keterampilan dan kurang memupuk sikap yang sesuai dengan tugas seorang dokter.
Masyarakat mengharapkan dokter dapat membantu mereka tanpa terlalu mempertimbangkan honorarium serta balas jasa lainnya. Di sisi lain, dokter adalah manusia biasa yang mempunyai kebutuhan untuk diri dan keluarganya. Pada masa pandemi Covid-19 ini terasa sekali bagaimana tenaga kesehatan harus mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan sendiri.
Baca juga: Antisipasi Kelelahan Tenaga Kesehatan dalam Darurat Covid-19
Saya juga merasa senang karena Anda telah pandai mencari sumber-sumber belajar baru, bahkan Anda sudah mulai menemukan cara belajar yang efisien. Cara belajar efektif amat penting karena dapat membantu kita memanfaatkan waktu belajar dengan baik dan meningkatkan keberhasilan belajar. Jadi, setiap orang hendaknya mampu belajar secara efektif.
Bagaimana kehidupan mahasiswa kedokteran pada generasi saya? Wah, saya sudah lama sekali menjadi mahasiswa kedokteran, yaitu dari tahun 1963 sampai 1969. Saya menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Waktu itu saya amat bersyukur diterima menjadi mahasiswa kedokteran. Sama seperti Anda, saya bercita-cita menjadi dokter.
Waktu itu biaya kuliah murah, bahkan mahasiswa kedokteran mendapat beasiswa. Namun, kami harus siap ditempatkan di mana saja jika lulus menjadi dokter. Buku-buku juga dipinjamkan.
Cukup banyak di antara kami yang mempunyai kegiatan selain kuliah. Ada teman saya yang menjadi guru SMU, guru privat Kimia, aktif di Pramuka, bahkan juga ada yang menjadi pebisnis kecil-kecilan. Jadi, memang setiap mahasiswa mencoba menyesuaikan diri agar berhasil dalam kuliah, tetapi juga punya kegiatan di masyarakat.
Mahasiswa perlu mengenal dunia nyata secara lebih dini. Apa yang dipelajari di ruang kuliah bukan tak mungkin tak sama dengan apa yang akan dialami di masyarakat.
Sebagian kami ditempatkan di daerah terpencil. Banyak teman yang berhasil dengan masyarakat setempat sehingga dianggap sebagai bagian dari keluarga besar di daerah tersebut. Ketika masa tugasnya selesai dan dokter tersebut akan kembali ke kota besar, masyarakat merasa kehilangan.
Baca juga: Mereka yang Ingin Menjadi Dokter di Tempat Terpencil
Secara tak sadar dokter juga telah merekat kesatuan kita. Dokter sering bertugas di daerah terpencil, hidup bersama-sama saudaranya berlainan suku. Dokter akan belajar banyak dari kebiasaan masyarakat setempat, masyarakat setempat juga belajar dari dokter. Ikatan ini akan mempererat tali persaudaraan dan meningkatkan kemampuan kita untuk hidup berdampingan meski berasal dari suku, agama, atau budaya yang berbeda.
Dulu saya pernah mengenal seorang mahasiswa kedokteran yang meluangkan dua jam waktunya setiap hari Minggu untuk membacakan cerita bagi anak-anak tunanetra. Kebiasaan tersebut dijalankannya dengan teratur sekitar dua tahun.
Anak-anak menanti mahasiswa tersebut dengan harapan akan mendengarkan cerita yang menarik yang dibacakan oleh kakak, sang mahasiswa. Meski yang dilakukan mahasiswa tersebut tak membutuhkan banyak dana, dia berhasil memberi kebahagiaan pada anak-anak tunanetra tersebut.
Anda, baik sendiri maupun dengan kawan-kawan, dapat melakukan kegiatan membantu dan menolong kelompok yang memerlukan, baik secara tatap muka maupun melalui daring. Anda, misalnya, dapat membuat kanal di Youtube mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan di rumah.
Ibu-ibu sering menghadapi anaknya terkena air panas atau luka dan sering tak tahu bagaimana cara memberikan pertolongan yang benar. Nah, dengan informasi dan contoh yang benar, akan banyak menolong ibu-ibu muda tersebut.
Baca juga: Waktu dan Biaya untuk Menghasilkan Seorang Dokter di Indonesia
Anda juga dapat mempunyai penghasilan melalui pemasaran digital. Banyak produk yang mencari agen untuk dijualkan. Sebagai mahasiswa kedokteran mungkin Anda tertarik memilihkan vitamin atau alat kedokteran sederhana, seperti timbangan berat badan, tensimeter, oksimeter, dan lain-lain. Pilihlah yang baik dan carikan harga yang terjangkau untuk masyarakat.
Wah, Anda baru baca biografi Bung Hatta yang tebal itu. Semoga bacaan tersebut meningkatan rasa cinta Tanah Airmu. Dulu, para pemimpin kita rela masuk penjara bahkan mengorbankan nyawa untuk kemerdekaan. Marilah kita isi kemerdekaan ini agar cita-cita kemerdekaan dapat terwujud.
Mahasiswa kedokteran dapat mempunyai peran dan ikut serta membangun negeri ini. Semoga Anda menjadi dokter yang baik, berhati mulia, dan mencintai Tanah Airmu.
Baca juga: Kesadaran Berbangsa Bermula dari Pendidikan Dokter