Atasi Tengkes Jangan Sekadar Seremoni Bagi-bagi Makanan Tambahan
Presiden Joko Widodo memberikan target, angka tengkes tidak boleh melebihi 14 persen pada 2024. Saat ini, angka tengkes di Indonesia masih 24,4 persen. Adapun pada 2013, angka tengkes mencapai 37,2 persen.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Angka kekerdilan akibat kurang gizi kronis atau tengkes ditargetkan turun 3 persen setiap tahun. Oleh karena itu, semua program dan intervensi yang dilakukan harus fokus dan tepat sasaran.
Pesan supaya program intervensi tidak hanya seremoni bagi-bagi makanan tambahan, tetapi fokus dan tepat sasaran ini dipesankan Presiden Joko Widodo saat memimpin rapat terbatas mengenai strategi percepatan penurunan stunting (tengkes) yang diselenggarakan secara daring, Selasa (11/1/2022), dari Istana Merdeka Jakarta.
Rapat terbatas juga dihadiri Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
Selain meminta supaya semua intervensi terarah dan tepat sasaran, menurut Budi, Presiden juga memberikan target yang sangat jelas. Pada 2024, angka tengkes tak boleh melebihi 14 persen. Saat ini, angka tengkes Indonesia masih 24,4 persen. Pada 2013, angka tengkes Indonesia mencapai 37,2 persen.
Untuk mencapai target 14 persen tersebut, rata-rata penurunan per tahun 2,7 persen perlu dicapai. Namun, kata Budi, Presiden Joko Widodo meminta penurunan angka tengkes per tahun 3 persen.
Secara umum, dua intervensi dilakukan untuk mengatasi tengkes, yakni intervensi sensitif dan intervensi spesifik. Intervensi spesifik adalah penanganan yang bersifat langsung dan kuratif. Intervensi spesifik berkontribusi 30 persen pada penanganan tengkes.
Adapun intervensi sensitif yang bersifat tidak langsung berkontribusi 70 persen dalam mengatasi tengkes. Intervensi sensitif terdiri atas penyediaan lingkungan yang bersih, air bersih, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, dan lainnya.
”BKKBN ditunjuk sebagai pelaksana dan kami akan mengawal supaya intervensi tepat sasaran baik intervensi spesifik dan intervensi sensitif,” kata Hasto.
Untuk intervensi spesifik yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan, kata Budi, disiapkan langkah-langkah saat ibu dalam masa kehamilan maupun saat bayi berusia 6-23 bulan.
Masa kehamilan dinilai penting karena banyak perempuan mengalami anemia dan perkembangan bayi dalam kandungan perlu dipantau.
Adapun saat usia bayi 6-23 bulan, saat makanan pendamping ASI diperkenalkan, bayi memerlukan protein hewani, bukan sekadar karbohidrat. Masalahnya, banyak orangtua yang tidak memberikan asupan protein hewani yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan ini. Karena itu, banyak anak balita mengalami tengkes di periode usia ini.
”Dua titik lemah ini yang difokuskan dalam intervensi spesifik. Satu sebelum (bayi) lahir dan setelah lahir pada usia 6-23 bulan,” tambah Budi.
Untuk ibu hamil, pemberian suplemen penambah darah diganti menjadi konsumsi suplemen penambah darah. Ibu hamil bukan hanya diberi, melainkan harus dipantau untuk mengonsumsi suplemen penambah daerah. Harapannya, ibu hamil tidak mengalami anemia.
Selain itu, konsultasi ibu hamil di puskesmas ditingkatkan dari empat kali menjadi enam kali. Konsultasi juga dilakukan dengan dokter supaya kemungkinan perkembangan kurang baik bisa diketahui sejak awal dan bisa diintervensi.
Sebelum bayi lahir, pemantauan dengan USG di seluruh puskesmas akan bisa dilakukan. Sebab, Kementerian Kesehatan akan melengkapi semua puskesmas dengan alat USG. Saat ini baru 2.000 puskesmas yang memilikinya.
Setelah bayi lahir, promosi dan edukasi pemberian ASI akan tetap dilanjutkan. Saat bayi berusia 6-23 bulan, supaya bayi mendapatkan protein hewani, tambahan asupan sebutir telur perhari juga diberikan. Selain itu, juga diberikan susu UHT.
Pemberian makanan tambahan berupa telur dan susu akan dialokasikan dari dana desa atau dana alokasi khusus.
Intervensi lain adalah pengukuran tinggi dan berat badan per bulan melalui posyandu. Karena itu, semua desa akan mendapatkan alat ukur berat badan dan tinggi badan. Kalau diketahui berat badan anak balita kurang dari standar, posyandu bisa merujuk ke puskesmas. Apabila tinggi badan kurang dari semestinya, anak balita perlu dirujuk ke rumah sakit.
Proses rujukan ke rumah sakit ini, menurut Budi, akan diperbaiki. Pasalnya selama ini, BPJS tidak menanggung penanganan tengkes. Namun, ke depan, tata laksana intervensi gizi untuk bayi/balita tengkes akan masuk dalam paket BPJS.
Langkah lainnya adalah memperkuat imunisasi anak balita. Imunisasi dasar akan ditambah untuk mencegah pneumonia dan diare. Sistemnya juga akan diintegrasikan dengan sistem vaksinasi Covid-19. Harapannya, angka cakupan vaksinasi berbasis teknologi dan terintegrasi.
Imunisasi dinilai penting. Sebab, kata Budi, jika bayi sakit, gizi yang masuk akan digunakan untuk mengatasi penyakit, bukan untuk pertumbuhan. Karena itu, pencegahan bayi sakit melalui imunisasi sangat penting.
Untuk mendorong tidak ada bayi yang lahir dalam kondisi tengkes, tambah Hasto, disiapkan pula program pendampingan keluarga yang terdiri atas bidan, PKK, dan penyuluh KB. Pendampingan ini dilakukan tiga bulan sebelum pernikahan.
Calon pengantin juga bisa memeriksakan kesehatan sebelum menikah. ”Pemeriksaannya juga sangat sederhana, mudah, dan murah. Hanya mengukur (kadar hemoglobin) Hb, lingkar lengan atas, tinggi badan, dan berat badan,” kata Hasto.
Moeldoko menambahkan, program percepatan penurunan tengkes akan dilakukan secara terpadu, yakni di bawah tanggung jawab Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BKKBN, dengan anggaran belanja Rp 50 triliun. Hal ini dilakukan karena percepatan penurunan tengkes melibatkan 19 kementerian/lembaga.
Selain itu, tambah Moeldoko, percepatan penurunan tengkes harus memanfaatkan program Satu Data Indonesia. Dengan demikian, intervensi pada daerah-daerah yang memiliki prevalensi tengkes tinggi bisa tepat sasaran.
KSP juga mengusulkan perlunya dukungan pemerintah pusat berupa pendampingan teknis, barang, dan dana. Hal ini setidaknya diberlakukan untuk tiga provinsi dengan angka tengkes tertinggi, yakni Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Aceh.