Demensia merupakan penyebab kematian, kecacatan, dan ketergantungan. Jumlah kasus demensia bertambah seiring peningkatan populasi lanjut usia. Mengidentifikasi faktor risiko dan memodifikasi merupakan strategi penting.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Detak jantung saat istirahat yang relatif lebih cepat dari normal tidak hanya menunjukkan risiko gangguan jantung dan pembuluh darah, tapi juga meningkatkan risiko demensia.
Demensia, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah suatu sindrom saat terjadi penurunan fungsi kognitif di luar konsekuensi biasa dari penuaan biologis. Penurunan fungsi kognitif biasanya disertai perubahan suasana hati, kontrol emosi, perilaku, atau motivasi.
Hal itu terjadi akibat berbagai penyakit dan cedera yang memengaruhi otak. Penyebab terbesar adalah penyakit alzheimer.
Data WHO, saat ini ada lebih dari 55 juta orang dengan demensia di seluruh dunia dengan pertambahan hampir 10 juta kasus per tahun. Lebih dari 60 persen tinggal di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Mengingat proporsi orang tua dalam populasi meningkat di hampir setiap negara, jumlah kasus demensia diperkirakan akan menjadi 78 juta pada 2030 dan 139 juta pada tahun 2050.
Demensia merupakan penyebab kematian ketujuh dan salah satu penyebab utama kecacatan serta ketergantungan secara global. Sindrom ini berdampak secara fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi tidak hanya bagi orang yang hidup dengan demensia, tetapi juga bagi yang merawat, keluarga, serta masyarakat luas.
Tahun 2019, total biaya sosial global untuk demensia diperkirakan 1,3 triliun dollar AS. Biaya ini diperkirakan akan lebih dari 2,8 triliun dollar AS pada 2030 karena jumlah orang dengan demensia dan biaya perawatan meningkat.
Gejala awal demensia sering terabaikan karena terjadi bertahap, antara lain menjadi pelupa, lupa waktu, tersesat di tempat yang sudah dikenal, mulai kesulitan dalam berkomunikasi, mengalami perubahan perilaku, serta mengulang-ulang pertanyaan.
Di tahap akhir, penderita demensia akan menjadi tidak sadar akan waktu dan tempat, mengalami kesulitan mengenali kerabat dan teman, kesulitan berjalan, perlu bantuan untuk kegiatan sehari-hari, serta bisa mengalami perubahan perilaku, termasuk menjadi agresif. Risiko perempuan mengalami demensia 60 persen lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.
Faktor risiko dan pencegahan
Meski usia merupakan faktor risiko untuk demensia, demensia bisa dicegah. Penelitian menunjukkan, risiko penurunan kognitif dan demensia dapat dicegah dengan aktif secara fisik, pola makan sehat, tidak merokok, menghindari alkohol, mengendalikan berat badan, menjaga tekanan darah, kolesterol, dan kadar gula darah dalam kondisi normal. Faktor risiko lain adalah depresi, isolasi sosial, pendidikan rendah, kurang aktivitas kognitif, dan polusi udara.
Saat ini belum ada pengobatan efektif untuk demensia. Kemanjuran obat anti-demensia serta terapi yang dikembangkan masih terbatas dan terutama untuk penyakit alzheimer. Karena itu, mengidentifikasi faktor risiko terkait gaya hidup dan memodifikasinya merupakan strategi penting untuk mengurangi risiko demensia.
Penelitian Yume Imahori dan kolega dari Karolinska Institut di Swedia yang diterbitkan dalam jurnal Alzheimer’s & Dementia: The Journal of the Alzheimer’s Association, 3 Desember 2021, menunjukkan, detak jantung istirahat yang meningkat di usia tua merupakan faktor risiko demensia.
Penelitian ini melibatkan 2.147 orang berusia 60 tahun atau lebih yang tinggal di Stockholm, Swedia. Detak jantung mereka saat istirahat diukur dan diikuti dari 2001-2004 hingga 2013-2016.
Individu dengan detak jantung istirahat 80 denyut per menit atau lebih tinggi rata-rata memiliki risiko 55 persen lebih tinggi untuk mengalami demensia ketimbang individu dengan detak jantung 60-69 denyut per menit.
Didapatkan, individu dengan detak jantung istirahat 80 denyut per menit atau lebih tinggi rata-rata memiliki risiko 55 persen lebih tinggi untuk mengalami demensia ketimbang individu dengan detak jantung 60-69 denyut per menit. Hubungan itu tetap signifikan setelah disesuaikan dengan potensi pembaur, seperti berbagai penyakit kardiovaskular.
Penelitian tersebut tidak bisa menunjukkan penyebab demensia. Menurut para peneliti, hasil itu mungkin dipengaruhi oleh kejadian kardiovaskular yang tidak terdeteksi, arteri yang kaku, serta ketidakseimbangan aktivitas saraf simpatik dan parasimpatik.
Tidak hanya detak jantung, sejumlah faktor lain, seperti status perkawinan, indeks massa tubuh (BMI), dan jumlah tidur bisa memengaruhi risiko demensia. Jinlei Li dan kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas Boston, Amerika Serikat (AS), menganalisis data Framingham Heart Study (FHS) untuk mengidentifikasi kombinasi baru faktor risiko terkait peningkatan risiko demensia.
Mereka memeriksa data demografi dan gaya hidup yang dikumpulkan dari tahun 1979 hingga 1983. Kemudian, melihat siapa individu yang kemudian didiagnosis dengan demensia.
Dalam laporan di Journal of Alzheimer’s Disease, 8 Mei 2018, disebutkan, usia tua, individu yang kehilangan pasangan, BMI lebih rendah, dan kurang tidur di usia paruh baya berisiko lebih tinggi mengalami demensia. Hal-hal tersebut merupakan tanda dan gejala yang mudah dilihat dan bisa segera dimodifikasi untuk menghindari demensia.
Para peneliti menyarankan gaya hidup aktif dan pola makan sehat sejak muda, mengelola stres, tetap melakukan aktivitas kognitif di usia lanjut, serta memelihara hubungan sosial, perlu diterapkan untuk menjaga kesehatan otak dan mencegah demensia.