Memahami Ekshibisionisme dan Ekshibisionistik dari Kasus Siskaeee
Perilaku ekshibisionis atau memamerkan bagian intim tubuh tidak selalu identik dengan gangguan seksual ekshibisionistik. Diagnosis perlu ditegakkan agar hukuman dan terapi yang diberikan tidak salah sasaran.
Video yang menunjukkan seorang perempuan tengah mempertontonkan organ intimnya di suatu tempat beredar di media sosial akhir November 2021. Dari penelusuran polisi, aksi itu dilakukan di parkiran mobil Bandara Internasional Yogyakarta. Sang pembuat video, FCN (23) sudah ditangkap dengan sangkaan melakukan pidana siber atas perilaku melanggar kesusilaan.
FCN atau yang populer di dunia maya dengan nama Siskaeee sudah mengunggah berbagai konten pornografi sejak 2017. Konten itu diunggah di tujuh akun media sosial dan situs berbayar miliknya hingga menyebar ke berbagai grup percakapan. Dampaknya, sosok Siskaeee cukup dikenal sebagian warganet, khususnya kaum Adam.
Dari penangkapan FCN, polisi menemukan 2.000 video dan 3.700 foto berukuran 150 Gigabyte (GB) dari telepon seluler tersangka serta foto dan video berukuran 600 GB dari hardisk-nya. Polisi juga menyita sejumlah alat untuk membuat konten, seperti telepon seluler, kamera, komputer jinjing, lampu bulat (ring light), tripod, dan alat bantu seks.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Derah Istimewa Yogyakarta Ajun Komisaris Besar Roberto Gomgom Manorang Pasaribu di Sleman, DIY, Selasa (8/12/2021) menyebut dari unggahan konten itu, FCN mendapat keuntungan Rp 15 juta-Rp 20 juta per bulan.
Sementara pendapatan kotor pelaku dari satu akun di situs tertentu antara 20 Maret 2020 sampai 6 Desember 2021 mencapai 154.013,73 dollar AS atau setara Rp 2,19 miliar. Dari jumlah itu, tersangka mendapat pendapatan bersih 123.205,30 dollar AS atau sekitar Rp 1,75 miliar.
Laki-laki heteroseksual akan cenderung bersikap positif saat melihat perilaku ekshibisionis perempuan.
Selain motif ekonomi, Roberto mengatakan, FCN memiliki kecenderungan bertindak tak senonoh dengan mempertontonkan alat kemaluannya kepada orang lain atau ekshibisionis. Tindakan itu dilakukan di berbagai tempat, mulai kamar kos, hotel, tempat gym, toilet pesawat, hingga tempat yang lebih terbuka, seperti mal, parkiran, supermarket, toko buku, hingga rest area jalan tol.
Meski demikian, pelaku ekshibisionis belum tentu memiliki gangguan seksual ekshibisionistik. Penegakan diagnosis perlu dilakukan karena bisa memengaruhi hukuman ataupun terapi yang tepat untuk pelaku.
Berbeda
Peneliti psikologi forensik dan dosen psikologi klinis Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga, Surabaya, Margaretha mengatakan perilaku ekshibisionis atau disebut ekshibisionisme berbeda dengan gangguan seksual ekshibisionistik. Meski sama-sama menampilkan bagian intim tubuh, keduanya memiliki tujuan dan motif yang berbeda.
”Perilaku ekshibisionis dengan menampilkan bagian tubuh pribadi seperti pantat, payudara, atau alat kelamin maupun orang yang telanjang di tempat umum bisa saja dilakukan untuk mendapat perhatian orang lain atau memprotes suatu hal,” katanya.
Baca Juga: Pembuat Video Porno di Bandara Yogyakarta Ditangkap, Pendapatan Miliaran Rupiah
Sedangkan pada penderita gangguan ekshibisionistik, perilaku ekshibisionis kepada orang yang tak dikenal di tempat umum dilakukan demi mendapat kepuasan seksual, bukan sekedar ingin ditonton atau dilihat orang lain. Tanpa melakukan hal itu, mereka sulit untuk mengembangkan fantasi seksual dan mencapai orgasme. Jika perilaku ekshibisionis itu tidak dilakukan, penderita akan mengalami distres karena kebutuhan seksualnya tak terpenuhi.
Gangguan ekshibisionistik termasuk salah satu bentuk parafilia atau penyimpangan seksual. Penderitanya cenderung menutup jati dirinya, bukan malah memamerkannya identitas atau sosoknya di tempat publik. Intensitas dorongan seksual yang muncul juga sama seperti masyarakat umum, tidak setiap hari, sepanjang tidak memiliki gangguan hiperseksual.
Kondisi itu berbeda dengan orang yang berlaku ekshibisionis demi mendapatkan uang atau menjadikannya sebagai pekerjaan. Mereka bisa melakukan tindakan itu tiap hari dan melengkapi diri dengan sejumlah alat kerja untuk merekam dan mengunggah foto atau videonya. Respons positif penonton adalah energi yang mendorong mereka untuk terus melakukannya.
Peneliti perilaku seksual dan dosen psikologi Universitas Gunadarma, Depok, Wahyu Rahardjo, menambahkan, gangguan ekshibisionistik umumnya ditemukan pada laki-laki karena penyimpangan itu terkait hormon testosteron. Kelainan itu membuat penderitanya kewalahan mengelola dan menyalurkan hasrat seksualnya secara sehat sesuai norma masyarakat.
”Mereka yang mengalami gangguan itu umumnya punya pengalaman tertekan di masa lalu atau pernah jadi korban pelecehan baik fisik maupun seksual. Akibatnya, mereka tumbuh menjadi individu yang rendah diri dan merasa kurang berarti," katanya. Ekshibisionistik juga bisa dipicu distorsi kognitif yang membuatnya tidak merasa bersalah saat organ intimnya dilihat orang lain.
Karena terkait hormon testosteron, ekshibisionistik pada perempuan jarang ditemukan. Literatur yang menjelaskannya juga terbatas.
Charles S Grob dalam publikasinya di The Journal of Nervous and Mental Disease, Mei 1985 yang mempelajari kasus tunggal menyebut ekshibisionistik pada perempuan bisa dipicu rasa tertolak dan ketidakmampuan mengembangkan hubungan empatik. Penderita cenderung menggantungkan harga dirinya pada kesuksesan profesinya. Saat kehilangan pekerjaan, dia berusaha mengompensasinya dengan berlaku ekshibisionis demi tetap mendapat pengakuan orang lain.
Namun, jika motif ekonomi dalam kasus ekshibisionisme perempuan lebih kuat, maka itu perlu disikapi hati-hati. "Jika dorongan ekonomi lebih mendominasi, maka apa yang dilakukan pelaku ekshibisionis perempuan itu tidak berbeda dengan yang dilakukan model-model di majalah atau film dewasa," kata Wahyu.
Dari informasi psikologis yang ada, Margaretha menilai FCN cenderung tidak memiliki gangguan ekshibisionistik, tetapi mempunyai gangguan kepribadian histrionik. Orang dengan gangguan histrionik suka dilihat atau ditonton orang. Emosinya tidak stabil atau bisa berubah dengan cepat.
Emosinya juga cukup intensif, yang berarti saat senang dia akan merasa senang berlebihan. Demikian pula sebaliknya saat sedih. Sosok ini suka menjadi 'drama queen' alias berlaku berlebihan saat merespons sesuatu.
Citra diri penderita histrionik juga tidak stabil. Dia menggantungkan harga dirinya pada validasi atau respons orang lain. Untuk mendapat perhatian itu, dia akan melakukan apapun secara berlebihan, termasuk menggunakan seksualitas tubuhnya, berperilaku provokatif, hingga seduktif atau menggoda orang lain.
"Penderita gangguan kepribadian histrionik paling tidak nyaman kalau tidak menjadi pusat perhatian," katanya.
Respons berbeda
Pengungkapan kasus ekshibisionisme FCN menimbulkan respons ramai dari warganet. Mereka yang merespons positif umumnya laki-laki karena menyayangkan penangkapan tersebut. Banyak laki-laki dewasa sudah lama mengenal perilaku Siskaeee dan menjadikannya sebagai hiburan.
Respons positif laki-laki itu tidak muncul saat pengungkapan kasus ekshibisionisme di Stasiun Sudirman, Jakarta pada Oktober 2021 yang pelakunya adalah laki-laki. Saat itu, respons terbesar justru ditunjukkan warganet perempuan yang merasa geram dengan tindakan pelaku, berbagi dukungan, hingga saling memberi tips agar tidak menjadi korban tindakan ekshibisionis.
Menurut Wahyu, respons berbeda warganet terhadap kasus ekshibisionisme laki-laki dan ekshibisionisme perempuan itu terjadi karena laki-laki mudah terangsang secara visual, sedangkan perempuan peka terhadap rangsangan bau. Karena itu, laki-laki heteroseksual akan cenderung bersikap positif saat melihat perilaku ekshibisionis perempuan.
Sementara terhadap pelaku ekshibisionis laki-laki, maka laki-laki heteroseksual akan cenderung jijik dan bisa jadi marah karena merasa dilecehkan. Mereka juga cenderung membela perempuan yang jadi korban.
Baca juga: Pelaku Ekshibisionis di Kawasan Stasiun Sudirman Terancam 5 Tahun Penjara
"Persoalan budaya turut memengaruhi. Hegemoni maskulinitas membuat laki-laki merasa lebih superior dan menjadi penikmat, sedangkan perempuan di posisi yang submisif dan melayani," tambahnya.
Margaretha menambahkan, beda respons laki-laki dan perempuan terhadap kasus ekshibisionisme laki-laki dan perempuan itu merupakan konsekuensi dari obyektivikasi seksual perempuan dalam masyarakat. Perempuan masih dianggap sebagai obyek untuk pemenuhan kebutuhan atau tindakan seksual. Obyektivikasi itu membuat perempuan yang menunjukkan organ intimnya, misal payudara, lebih bisa diterima daripada laki-laki yang menunjukkan kemaluannya.
Disisi lain, di masyarakat juga terjadi seksisme ambivalen. Dalam pandangan ini, perempuan di tempatkan dalam dua sisi yang saling bertolak belakang, positif tetapi juga negatif. Di satu sisi, perempuan dituntut menjadi pribadi yang baik, perhatian, dan sosok yang lemah sehingga harus dilindungi seperti ibu. Namun disisi lain, laki-laki juga menginginkan perempuan bisa bersikap seperti pelacur yang genit dan kasar.
"Pada masyarakat dengan seksisme ambivalen tinggi, maka obyektivikasi perempuan akan semakin kuat pula," katanya.