Pemeriksaan Rutin Bisa Mendeteksi Kanker Hati sejak Dini
Seseorang kerap tidak menyadari bahwa mereka menderita kanker hati karena tidak adanya gejala yang muncul sampai stadium lanjut. Salah satu upaya mencegahnya ialah deteksi dini dengan pemeriksaan rutin.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kanker hati dianggap sebagai pembunuh senyap karena penderita kerap tidak memiliki gejala dan sudah dalam kondisi lanjut saat terdeteksi hingga akhirnya terlambat ditangani. Oleh karena itu, setiap orang perlu melakukan deteksi dini dengan pemeriksaan rutin sehingga penanganan dan pengobatan dapat dilakukan lebih cepat apabila nantinya terdiagnosis menderita kanker hati.
Dokter spesialis gastroentero-hepatologi MRCCC Siloam Hospitals Rinaldi Lesmana mengemukakan, hati merupakan organ dalam terbesar manusia sehingga memiliki pekerjaan terberat untuk menopang berbagai macam fungsi tubuh. Segala macam zat kimia, racun, infeksi, hingga pencernaan akan melewati hati.
”Gangguan hingga terjadinya penyakit hati yang bersifat kronis pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan bahkan memicu kanker atau tumor ganas. Banyak orang datang dalam kondisi kanker hati sudah lanjut dan mereka berharap bisa sembuh dalam waktu singkat,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Peran Pemeriksaan Rutin untuk Deteksi Dini Kanker Hati”, Sabtu (4/12/2021).
Menurut Rinaldi, kanker hati yang sudah dalam kondisi lanjut akan sangat sulit ditangani. Bahkan, pengobatan dengan biaya yang sangat mahal pun tidak menjamin akan menyembuhkan dan membuat hati kembali ke kondisi semula. Hal ini bukan disebabkan aspek pengobatan yang tidak maju, melainkan karena penderita sudah terlambat untuk menjalani segala proses perawatan.
Di sisi lain, seseorang juga kerap tidak menyadari bahwa mereka menderita kanker hati karena tidak adanya gejala yang muncul sampai stadium lanjut. Beberapa orang hanya mengalami nyeri pada perut, mudah memar, perut membuncit, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, hingga mata menguning. Gejala tersebut biasanya hanya dianggap gangguan kesehatan ringan oleh mayoritas orang.
Gangguan hingga terjadinya penyakit hati yang bersifat kronis pada akhirnya akan menimbulkan kerusakan bahkan memicu kanker atau tumor ganas. Banyak orang datang dalam kondisi kanker hati sudah lanjut dan mereka berharap bisa sembuh dalam waktu singkat
Sikap abai seseorang terhadap kanker hati membuat penyakit ini dianggap sebagai pembunuh senyap dengan tingkat prevalensi yang cukup tinggi. Berdasarkan data Global Cancer Observatory (Globocan) 2020, kanker hati merupakan salah satu dari empat penyebab kematian akibat kanker terbesar di Indonesia dengan jumlah kasus 21.392 orang meninggal.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, insiden karsinoma sel hati atau kanker yang berkembang dari jaringan penyusun dinding organ di Indonesia mencapai 13,4 per 100.000 penduduk. Karsinoma sel hati yang berkaitan dengan infeksi hepatitis B tercatat sebanyak 60 persen dan 20 persen terkait hepatitis C. Adapun jumlah penderita hepatitis B di Indonesia sebanyak 17,5 juta penduduk dengan 20-30 persen diperkirakan akan mengalami progresivitas menjadi sirosis atau kerusakan sel-sel hati.
Guna mencegah terjadinya pemburukan kanker hati, Rinaldi menekankan bahwa upaya pencegahan dini melalui pemeriksaan rutin wajib dilakukan. Untuk orang-orang yang tampak sehat, pemeriksaan fokus dilakukan untuk mengetahui potensi penyakit hepatitis.
Saat ini upaya deteksi dini yang paling sering dilakukan yaitu melalui ultrasonografi medis (USG) hati dan pengukuran alfa feto protein (AFP) setiap enam bulan sekali. Dari kajian yang telah dilakukan, upaya deteksi dini ini dapat mengurangi 37 persen kematian akibat kanker hati dan membuat beban keuangan untuk pengobatan menjadi lebih rendah.
Selain itu, penanda kanker hati terbaru bernama PIVKA-II juga dianggap lebih baik untuk mendeteksi dini dibandingkan dengan USG dan AFP. Pemeriksaan PIVAKA-II dapat dilakukan secara rutin pada populasi berisiko tinggi dan berkolerasi dengan keganasan tumor. Dalam interpretasi hasil PIVKA-II, pemeriksaan lainnya juga tetap perlu dilakukan seperti pemindaian tomografi terkomputasi (CT-scan) dan pemindaian radiologi (MRI).
Faktor risiko
Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia Aru Wisaksono Sudoyo mengatakan, risiko kanker hati memang umumnya terjadi pada orang yang menderita hepatitis B dan C. Namun, faktor risiko lainnya juga dapat terjadi pada orang dengan obesitas, gemar mengonsumsi makanan berlemak dan minum alkohol, serta kontaminasi makanan yang mengandung jamur karsinogenik.
Selain deteksi dini, pengobatan yang dilakukan secara optimal pada pasien yang sudah terdiagnosis menderita kanker hati juga penting untuk meningkatkan harapan hidup. Berbagai macam modalitas terapi untuk kanker hati stadium dini dan stadium lanjut saat ini sudah banyak tersedia di sejumlah fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia.
”Pengobatan ini termasuk yang paling inovatif, yaitu imunoterapi untuk kanker hati. Pengobatan ini bekerja dengan cara membangkitkan sistem imun di dalam tubuh pasien sendiri untuk melawan sel kanker,” katanya.
Direktur MRCCC Siloam Hospitals Adityawati Ganggaiswari menambahkan, Siloam Hospitals telah menyediakan pusat pelayanan khusus untuk penyakit hati, termasuk pelayanan pemeriksaan USG, AFP, dan PIVKA II untuk membantu deteksi dini dan diagnosis kanker hati. Siloam juga menyediakan program bantuan dan akses untuk pengobatan kanker yang bekerja sama dengan Roche Indonesia.