Kehilangan kemampuan menghidu yang berlanjut pasca-Covid-19 dialami sejumlah orang. Ada cara mudah untuk mengatasi tanpa obat.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Covid-19 memicu anosmia pada sebagian orang. Anosmia sering kali tak hilang seiring kesembuhan. Bahkan, ada yang berlanjut mengalami parosmia.
Anosmia adalah kondisi kehilangan sensasi penciuman atau kemampuan menghidu. Adapun parosmia adalah distorsi bau atau persepsi pengalaman penciuman yang tidak menyenangkan. Saat menghidu, bukan bau yang biasa dikenal yang tercium, melainkan bau menyimpang tak tertahankan. Misalnya, aroma lemon tercium sebagai kubis busuk atau cokelat berbau seperti bensin.
Tanpa indera penciuman, kenikmatan makan akan terasa berbeda. Indera pengecap kita hanya dapat mendeteksi beberapa rasa. Hal ini dapat memengaruhi kualitas hidup, bahkan menyebabkan depresi.
Selain itu, kehilangan kemampuan penciuman menempatkan seseorang dalam situasi bahaya. Misalnya, karena kehilangan kemampuan mendeteksi bau, orang tidak bisa menghidu kebocoran gas, asap dari api, ataupun makanan basi.
Proses menghidu dimulai dari lepasnya molekul suatu zat yang merangsang nervus olfaktorius atau sel saraf sensorik di bagian pangkal hidung yang berperan menyampaikan impuls saraf ke otak. Selanjutnya, otak menginterpretasikan dan mengidentifikasi rangsangan atau sensasi bau terkait.
Apa pun yang mengganggu proses ini, demikian artikel di WebMD, 5 Juni 2021, seperti hidung tersumbat, atau kerusakan sel saraf, dapat menyebabkan hilangnya kemampuan membaui.
Penyebab lain anosmia adalah polip hidung, cedera hidung atau saraf penciuman, paparan bahan kimia beracun, obat-obatan seperti antibiotik, antidepresan, obat antiradang, obat jantung, penyalahgunaan kokain, serta pengobatan radiasi kanker di kepala dan leher. Kondisi lain seperti usia lanjut, penyakit parkinson, alzheimer, multiple sclerosis, kurang gizi, kondisi bawaan, dan gangguan hormonal.
Pilihan terapi
Pilihan terapi kortikosteroid untuk anosmia ataupun parosmia akibat Covid-19 tidak disarankan meski obat itu biasa digunakan untuk mengatasi radang. Caroline Huart dari Departemen Otorhinolaringologi, Klinik Universitas Saint-Luc, Brussels, Belgia, dan kolega peneliti dari Inggris, Turki, Denmark, Kanada, Swiss, AS, Yunani, Italia, Austria, Ceko, Jerman, dalam International Forum of Allergies & Rhinology, 16 Maret 2021, menyerukan kehati-hatian dalam menggunakan kortikosteroid pada disfungsi penciuman terkait Covid-19.
Hal itu karena bukti yang mendukung manfaatnya lemah; tingkat pemulihan spontan dari disfungsi penciuman terkait Covid-19 tinggi; dan kortikosteroid memiliki potensi efek samping berbahaya.
Salah satu peneliti, Carl Philpott, Guru Besar Fakultas Kedokteran, Universitas East Anglia, Inggris, kepada Science Daily, 26 April 2021, menyatakan, efek samping potensial kortikosteroid, antara lain, retensi (penumpukan) cairan dalam tubuh, memicu tekanan darah tinggi, serta perubahan suasana hati dan perilaku. Hanya ada sedikit bukti bahwa kortikosteroid membantu mengembalikan indera penciuman.
Sebagai ganti, direkomendasikan pelatihan penciuman, yakni proses yang melibatkan kegiatan menghidu minimal empat aroma berbeda masing-masing setidaknya 15 detik dua kali sehari selama beberapa bulan. Pilihan aroma, antara lain, kayu putih, lemon, mawar, kayu manis, cokelat, kopi, lavender, madu, stroberi, dan thyme.
Penelitian terkait latihan menghidu dipublikasikan di jurnal Laryngoscope, 30 November 2020. David T Liu dari Departemen Otorhinolaringologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Teknik (TU) Dresden, Jerman, dan kolega dari Austria, Inggris, dan Polandia, melakukan penelitian antara tahun 2008-2018 melibatkan 153 penderita disfungsi penciuman pascainfeksi (PIOD), anosmia maupun parosmia, yang dirawat pada beberapa klinik THT di Jerman.
Penelitian menunjukkan, 90 persen penderita pulih indera penciumannya setelah enam bulan.
Meski dilakukan sebelum Covid-19, penelitian ini kontekstual saat pandemi melanda dunia. Riset menunjukkan, 90 persen penderita pulih indera penciumannya setelah enam bulan.
”Latihan ini bertujuan untuk membantu pemulihan berdasarkan neuroplastisitas, yakni kemampuan otak untuk mengatur ulang untuk mengompensasi perubahan atau cedera. Pelatihan ini dapat membantu jalur penciuman untuk beregenerasi dan pulih,” kata Philpott dikutip Science Daily, 30 November 2020. Peningkatan terbesar terjadi pada mereka yang kehilangan fungsi penciuman paling besar di awal.
Hal sama disebutkan Katherine L Whitcroft dan Thomas Hummel dari Departemen Otorhinolaringologi, TU Dresden, Jerman, dalam kajian di JAMA, Juni 2020. Menurut mereka, jika disfungsi olfaktori terkait Covid-19 membaik secara spontan, pengobatan khusus tidak diperlukan.
Akan tetapi, jika anosmia atau parosmia berlangsung lebih dari dua minggu pasca Covid-19, perlu dipertimbangkan terapi latihan penciuman. Set wewangian umumnya lemon, mawar, cengkeh, dan kayu putih masing-masing dihidu 20 detik dua kali sehari selama tiga bulan atau lebih. Terapi ini berbiaya rendah dan tanpa efek samping.
Kortikosteroid oral (minum) dan intranasal (semprot hidung) yang digunakan untuk mengatasi inflamasi pada pasien dengan disfungsi olfaktori pascainfeksi tidak direkomendasikan karena bukti manfaatnya kurang dan ada potensi risiko bahaya. Namun, untuk pasien yang menggunakan steroid intranasal sebelum menderita Covid-19, misalnya, untuk rinitis alergi, pengobatan tersebut harus dilanjutkan.
Obat lain yang menjanjikan pada disfungsi olfaktori pascainfeksi, seperti vitamin A intranasal dan omega-3 sistemik, dapat digunakan sebagai terapi tambahan dalam latihan penciuman. Namun, belum ada bukti bahwa terapi tersebut efektif pada pasien disfungsi olfaktori terkait Covid-19.
Jadi, bagi yang anosmianya membandel atau mengalami parosmia pasca-Covid-19 tak perlu minum obat. Cukup melatih indera penciuman dengan koleksi parfum, kopi, cokelat, bumbu dapur, dan minyak kayu putih yang ada di rumah.