Pemberian air susu ibu secara eksklusif menentukan pemenuhan gizi dan mendukung proses tumbuh kembang anak. Jika pemberian ASI tidak optimal, risiko tengkes dan masalah kesehatan lain pada anak pun meningkat.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian air susu ibu kepada anak yang tak optimal bisa menghambat pertumbuhan fisik anak, termasuk meningkatkan risiko tengkes atau stunting. Karena itu, orangtua perlu memastikan proses menyusui dilakukan secara optimal dengan memperhatikan posisi dan perekatan agar kebutuhan gizi anak tercukupi.
Dokter spesialis anak Meta Hanindita mengemukakan, memberikan air susu ibu (ASI) secara eksklusif merupakan salah satu rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang praktik pemberian makan bayi dan anak terbaik untuk mencegah malanutrisi. Sebab, ASI memiliki banyak sekali manfaat, termasuk meningkatkan daya tahan tubuh.
”Kolostrum atau ASI yang pertama keluar banyak mengandung faktor pertumbuhan, lemak, laktosa, mineral, vitamin A, nitrogen, dan zat antibodi. Praktik menyusui bagi ibu juga bisa menurunkan risiko rematoid artritis (radang sendi), obesitas, penyakit jantung, dan diabetes tipe 2,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Pencegahan Stunting melalui Persiapan Calon Pengantin dan Pentingnya Menyusui”, di Jakarta, Sabtu (13/11/2021).
Sementara untuk anak, hasil riset menunjukkan, menyusui menurunkan risiko terkena asma, infeksi saluran telinga, kanker darah, gastroenteritis, diabetes tipe 1 dan 2, serta berbagai manfaat lain. Di sisi lain, praktik menyusui juga memberikan dampak lingkungan dan sosial, di antaranya meminimalkan sampah, polusi, dan biaya pengobatan.
Kolostrum atau ASI yang pertama keluar banyak mengandung faktor pertumbuhan, lemak, laktosa, mineral, vitamin A, nitrogen, dan zat antibodi.
Selain itu, beberapa kajian menyatakan, anak yang tidak disusui akan lebih mudah mengalami tengkes sebesar 27,5 persen. Adapun risiko tengkes pada anak yang disusui hanya 12 persen. Dengan kata lain, menyusui merupakan salah satu faktor protektif terhadap tengkes pada anak. Tengkes merupakan gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Menurut Meta, tengkes bersifat ireversibel atau tidak dapat diperbaiki sepenuhnya. Hasil kajian tentang tengkes di 54 negara pada 2010 menunjukkan, malanutrisi anak, termasuk tengkes, selalui diawali dengan perlambatan pertumbuhan (faltering growth). Kondisi ini sering terjadi pada anak berusia 3 hingga 18-24 bulan atau 1.000 hari pertama kehidupan. Bahkan, negara berpenghasilan menengah ke bawah terjadi lebih awal.
Perlambatan pertumbuhan secara umum dapat terjadi karena kelebihan dan kekurangan kalori ataupun gangguan pada penyerapan anak. Kondisi kekurangan kalori mayoritas terjadi karena permasalahan menyusui, terutama pada anak yang masih dalam tahap pemberian ASI eksklusif.
Meta mengatakan, masalah menyusui paling sering terjadi yaitu posisi dan perekatan kurang tepat. Hal ini mengakibatkan produksi ASI dan proses menyusui tidak efektif sehingga kebutuhan gizi bayi tak tercukupi. Di sisi lain, koordinasi neuromotoral oral, seperti kondisi anak yang tidak mengisap ASI dengan baik, juga merupakan permasalahan menyusui lainnya.
Manajemen laktasi
Untuk mencegah anak gagal tumbuh, Meta menyarankan agar semua pihak, khususnya orangtua, mencari tahu kecukupan ASI anak dengan menerapkan manajemen laktasi yang baik. Upaya yang dilakukan di antaranya mulai memperbaiki posisi dan perekatan saat menyusui serta dievaluasi kembali selama satu sampai dua minggu.
”Setelah satu hingga dua minggu kemudian, bayi bisa ditimbang kembali. Apabila kenaikan berat badan bayi sudah sesuai dengan target, berarti ASI eksklusif bisa diteruskan, tetapi dengan terus memantau kenaikan berat badan,” katanya.
Meta menegaskan, pemberian ASI masih bisa dilanjutkan jika berat badan bayi tidak sesuai target. Namun, untuk menjamin tumbuh kembang anak, orangtua dapat menambah dengan ASI perah sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi bayi berusia di bawah empat bulan atau memberikan susu formula yang aman dan sudah berlabel Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta standar khusus dari WHO.
Sementara jika bayi berusia di atas empat sampai enam bulan, dokter anak biasanya mulai merekomendasikan untuk mulai mendapat makanan pendamping ASI atau MPASI dengan mempertimbangkan kesiapan makan bayi tersebut. ”Namun, hal ini harus dengan anjuran dokter. Demikian juga dengan pemberian susu jenis apa pun di bawah dua tahun harus dikonsultasikan dengan dokter,” ucapnya.
Ketua Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia Nia Umar tidak memungkiri bahwa banyak sekali tantangan yang dihadapi para ibu saat menyusui anaknya, salah satunya kekurangan ASI. Ibu kerap merasa ASI yang dikeluarkan sangat sedikit dan mayoritas tidak tahu tanda-tanda ataupun cara mengatasi hal ini. Padahal, seharusnya tenaga kesehatan memberikan informasi kepada ibu untuk mengatasi segala persoalan tentang ASI.
”Menurut beberapa dokter, manajemen laktasi di beberapa ilmu kedokteran sayangnya belum terlalu komprehensif. Namun, sekarang semakin banyak pelatihan yang disediakan sehingga tenaga kesehatan bisa meningkatkan kompetensinya untuk membantu ibu menyusui. Ini pentingnya pemerintah melakukan pemerataan informasi tersebut,” katanya.