Peningkatan masalah kesehatan jiwa seiring dengan meningkatnya kasus Covid-19 harus diantisipasi dengan memperkuat sistem layanan kesehatan jiwa, terutama di fasilitas kesehatan primer.
Oleh
TIM KOMPAS
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah diharapkan memperkuat infrastruktur layanan kesehatan jiwa secara menyeluruh. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk mendekatkan akses masyarakat pada layanan adalah menyediakan layanan kesehatan jiwa di tingkat fasilitas kesehatan primer.
Akan tetapi, langkah itu menghadapi tantangan terbatasnya tenaga kesehatan jiwa yang ada saat ini.
Dalam keterangan tertulisnya pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, akhir pekan lalu, Direktur Organisasi Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (WHO SEARO) Poonam Khetrapal Singh mengajak negara-negara di wilayah kerja WHO SEARO untuk memperkuat layanan kesehatan jiwa.
”Mayoritas orang dengan masalah kesehatan mental di negara berpenghasilan rendah hingga menengah tidak mendapatkan layanan yang memadai,” kata Poonam.
Karena itu, ia mendorong negara-negara untuk menyediakan layanan kesehatan jiwa yang komprehensif terutama di fasilitas kesehatan primer.
Saat dihubungi Selasa (12/10/2021), Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan Celestinus Eigya Munthe menyampaikan, keterbatasan sumber daya manusia menjadi kendala sistem pelayanan kesehatan jiwa saat ini.
Saat ini, dari 10.500 puskesmas di Indonesia, baru ada 6.000 puskesmas yang memiliki layanan kesehatan jiwa. Selain itu, masih ada enam provinsi yang belum memiliki rumah sakit jiwa. ”Kita akan upayakan untuk bisa mengejar kekosongan layanan kesehatan yang ada saat ini. Ditargetkan pada 2023 seluruh puskesmas sudah memiliki layanan kesehatan jiwa,” katanya.
Untuk jangka pendek, ujar Celestinus, tenaga kesehatan di puskesmas telah dibina dan dilatih agar kompetensinya dalam menangani masalah kesehatan jiwa meningkat.
Mayoritas orang dengan masalah kesehatan mental di negara berpenghasilan rendah hingga menengah tidak mendapatkan layanan yang memadai.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Surakarta Siti Wahyuningsih menuturkan, pihaknya telah berupaya menyediakan layanan kesehatan jiwa di setiap puskesmas di kota tersebut. Kader-kader kesehatan jiwa yang bertugas melakukan deteksi dini gangguan jiwa di setiap kelurahan juga disiapkan. Kebijakan itu merupakan upaya untuk mendekatkan layanan kesehatan jiwa kepada masyarakat.
Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan, lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Selain itu, lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi.
Menurut psikolog klinis anggota Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Jaya, Edward Andriyanto, besarnya beban masalah kesehatan jiwa di masyarakat membuat penguatan infrastruktur layanan kesehatan mendesak dilakukan. Layanan telekonseling atau teleterapi yang banyak muncul saat pandemi Covid-19 hanya bisa diakses di wilayah yang sudah didukung oleh jaringan internet.
Transformasi
Psikiater di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor yang juga anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren, berpendapat, dalam jangka panjang fasilitas kesehatan primer juga perlu bertransformasi dengan menggencarkan kegiatan promotif dan preventif terkait kesehatan jiwa.
Selain itu, beberapa upaya yang juga perlu dilakukan adalah transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan jiwa, terutama terkait ketersediaan obat dan alat kesehatan, transformasi pembiayaan kesehatan jiwa agar masyarakat tidak terbebani, dan penguatan teknologi kesehatan.
Presiden Federation of Asian Oceanian Neuroscience Societies (FAONS) Adhi Wibowo Nurhidayat menuturkan, sarana dan prasarana layanan merupakan salah satu yang harus diperhatikan dalam penguatan layanan selain masyarakat sehat yang rentan dan masyarakat yang sudah mengalami masalah kesehatan jiwa. (TAN/NCA/SKA/ADH)