Gairah dan Ketegangan Tinggi Hasilkan Keputusan Buruk
Otak merupakan pusat menilai dan mengambil keputusan. Para peneliti mempelajari kaitan pengambilan keputusan dengan kegairahan. Ilmuwan juga mengidentifikasi sel saraf yang membantu memprediksi pikiran orang lain.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Gairah ataupun ketegangan yang berlebihan bisa menghasilkan keputusan yang buruk. Demikian hasil penelitian Atsushi Fujimoto dan kolega dari Sekolah Kedokteran Mount Sinai, New York, Amerika Serikat, yang dilaporkan di Proceedings of the National Academy of Sciences (PNAS), 27 Agustus 2021.
Para peneliti menganalisis data dari penelitian sebelumnya pada primata, yakni monyet rhesus, di laboratorium. Mereka menemukan bahwa dua dari pusat pengambilan keputusan di otak mengandung neuron (sel saraf) yang secara eksklusif memantau dinamika internal tubuh.
”Hasil analisis kami menunjukkan, sirkuit pengambilan keputusan di otak terhubung untuk terus memantau dan mengintegrasikan apa yang terjadi di dalam tubuh. Perubahan tingkat gairah dapat mengubah cara sirkuit tersebut bekerja,” kata penulis senior laporan tersebut, Peter Rudebeck, Guru Besar Departemen Ilmu Saraf dan Institut Otak Friedman, Mount Sinai, seperti dikutip Science Daily, 30 Agustus 2021.
Peningkatan gairah ditandai dengan jantung berdebar-debar, tekanan darah meningkat, napas memburu, pendek-pendek dan cepat. Hubungan kegairahan dan kinerja pembuatan keputusan digambarkan para ilmuwan sebagai kurva berbentuk U. Gairah yang tepat menghasilkan keputusan yang baik. Sementara kurang gairah atau sebaliknya, gairah berlebihan, sama-sama mengganggu proses pembuatan keputusan di otak.
Hasil analisis data dari serangkaian eksperimen sebelumnya, menguji kemampuan tiga monyet rhesus untuk memutuskan pilihan: jus enak yang banyak atau sedikit. Tentu saja, para monyet memilih jus enak yang banyak. Fakta pentingnya, keputusan dibuat lebih cepat saat detak jantung monyet meningkat. Ini mendukung gagasan bahwa kondisi bergairah mendorong kinerja lebih baik.
Para peneliti menganalisis aktivitas listrik yang direkam dari neuron di dua pusat pembuat keputusan di otak, yakni korteks orbitofrontal dan korteks singulatus anterior dorsal. Didapatkan, aktivitas sebagian neuron di kedua area berkaitan dengan fluktuasi detak jantung. Jika detak jantung berubah, aktivitas sel-sel juga berubah, menjadi cepat atau melambat.
Untuk melihat pengaruh dari kegairahan ataupun ketegangan, para penelitian menganalisis data yang didapat ketika fungsi amigdala, yakni bagian otak yang berkaitan dengan proses emosi, perilaku dan ingatan, ”ditidurkan” lewat operasi. Tindakan ini meningkatkan detak jantung hingga 15 detak per menit. Ternyata, semakin cepat jantung hewan berdetak, semakin lambat mereka membuat keputusan dalam memilih hadiah. Ini menunjukkan, meningkatnya kegairahan ataupun ketegangan, justru menghambat proses pengambilan keputusan.
Di korteks singulatus anterior dorsal, jumlah neuron yang melacak kondisi internal tubuh sedikit meningkat. Ini mengubah keseimbangan informasi di area tersebut, seolah-olah sinyal saraf untuk pengambilan keputusan ”dibajak” oleh gairah atau ketegangan.
Di dua area otak (korteks orbitofrontal dan korteks singulatus anterior dorsal), para peneliti melihat penurunan jumlah neuron yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Di korteks singulatus anterior dorsal, jumlah neuron yang melacak kondisi internal tubuh sedikit meningkat. Ini mengubah keseimbangan informasi di area tersebut, seolah-olah sinyal saraf untuk pengambilan keputusan ”dibajak” oleh gairah atau ketegangan.
Karena itu, keputusan perlu diambil dalam kondisi tenang walau bersemangat. Keputusan yang dibuat saat mengalami gairah berlebihan, misalnya pada orang yang sedang terganggu jiwanya atau minum obat psikotropika, serta orang yang sangat tegang karena mengalami kecemasan bisa disesali di kemudian hari.
Memprediksi pikiran teman
Amigdala, kumpulan sel saraf yang terletak di bagian tengah otak yang berfungsi sebagai pusat emosi, perilaku dan ingatan, ternyata juga menjadi tempat untuk merekonstruksi proses pengambilan keputusan orang lain dan memprediksi apa yang akan mereka lakukan.
Wilayah itu diidentifikasi Fabian Grabenhorst dan kolega dari Universitas Cambridge, Inggris, dengan merekam aktivitas sel saraf amigdala monyet rhesus. Penelitian yang dipublikasi di jurnal Cell, 11 April 2019, mendapatkan sejumlah neuron simulasi di amigdala secara aktif dan spontan memperhitungkan proses keputusan pihak lain saat dua makhluk sosial berinteraksi. Simulasi adalah mekanisme dua makhluk sosial untuk memahami pikiran satu sama lain.
”Kami mencari neuron yang terlibat dalam pembelajaran sosial. Ternyata sel saraf amigdala tidak hanya mempelajari obyek lewat pengamatan sosial, tetapi juga menggunakan informasi tersebut untuk menyimulasikan keputusan mitra sosial,” kata Grabenhorst, di Science Daily pada hari yang sama.
Para peneliti menyimpulkan, neuron simulasi yang tidak berfungsi dengan baik akan mengganggu hubungan sosial. Jika jenis neuron itu kurang atau sama sekali tidak ada, menyebabkan hilangnya kemampuan sosial seperti pada penyandang autisme. Sebaliknya, neuron yang terlalu aktif, menghasilkan simulasi berlebihan dari yang mungkin dipikirkan orang lain sehingga menimbulkan gangguan kecemasan sosial pada orang bersangkutan.