Kepikunan bisa terjadi saat lanjut usia. Namun, gejala yang muncul bisa dikurangi melalui upaya pencegahan yang maksimal sejak awal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pikun seharusnya tidak menjadi hal yang lumrah di usia lanjut apabila dicegah sejak dini. Mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat, seperti menjaga asupan nutrisi, melakukan aktivitas fisik, serta mencegah depresi, dapat mencegah risiko pikun.
Kepala Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Unika Atma Jaya Octavianus Darmawan, di Jakarta, Senin (20/9/2021), mengatakan, risiko seseorang mengalami demensia semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Upaya pencegahan demensia pun semakin diperlukan karena usia harapan hidup masyarakat terus meningkat.
”Usia harapan hidup di Indonesia mengalami peningkatkan. Bahkan, diperkirakan pada 2100 rata-rata usia harapan hidup masyarakat sampai 84 tahun. Hal ini baik karena menunjukkan ada keberhasilan pembangunan nasional, tetapi itu sekaligus jadi tantangan,” katanya.
Octavianus menyampaikan, angka harapan hidup yang semakin meningkat menjadi tantangan apabila sebagian besar lansia mengalami demensia. Saat ini diperkirakan 5,3 persen orang usia 65-74 tahun mengalami demensia Alzheimer. Jumlah itu semakin meningkat di usia yang lebih tua, yakni 13,8 persen pada usia 75-84 tahun dan 34,6 persen pada orang usia lebih dari 85 tahun.
Demensia merupakan gejala yang muncul akibat gangguan kognitif dan perilaku yang mengganggu fungsi sosial dan aktivitas seseorang. Biasanya, gangguan yang muncul, antara lain, ialah gangguan daya ingat, sulit fokus, disorientasi, gangguan berkomunikasi, sering menaruh barang tidak pada tempatnya, serta menarik diri dari pergaulan. Sementara demensia Alzheimer merupakan bagian dari kondisi demensia yang paling umum ditemukan pada masyarakat.
Berdasarkan data dari Asosiasi Alzheimer, kasus kematian akibat Alzheimer pada 2019 meningkat 145 persen dari 2000. Pada masa pandemi, angka kematian akibat demensia dan Alzheimer pun diperkirakan meningkat sampai 16 persen.
Octavianus menyampaikan, kesadaran masyarakat untuk mencegah risiko terjadi demensia perlu ditingkatkan. Risiko demensia bisa dicegah dengan mengubah gaya hidup menjadi lebih sehat.
Pencegahan demensia bisa dikerjakan. Demensia memang bisa terjadi seiring dengan bertambahnya usia kita. Namun, dengan upaya pencegahan yang sudah dilakukan, diharapkan gejala demensia tidak muncul sampai kita berpulang (meninggal).
Selain itu, pada jurnal The Lancet edisi 30 Juli 2020, Gili Livingston dan rekan menyebutkan, demensia bisa dicegah dengan menghindari faktor risiko. Adapun faktor risiko tersebut, antara lain, ialah tingkat pendidikan yang rendah, terjadi gangguan pendengaran, mengalami cedera kepala, hipertensi, obesitas, konsumsi alkohol berlebih, merokok, dan depresi.
Faktor risiko lainnya, antara lain, kurang aktivitas fisik, diabetes, tingginya paparan polusi udara, serta kurang kontak sosial. Lansia yang sering merasa kesepian dapat meningkatkan risiko terjadi demensia. Orang yang kurang kontak sosial akan berisiko mengalami demensia 1,6 kali lebih tinggi daripada yang melakukan cukup kontak sosial.
”Pencegahan demensia bisa dikerjakan. Demensia memang bisa terjadi seiring dengan bertambahnya usia kita. Namun, dengan upaya pencegahan yang sudah dilakukan, diharapkan gejala demensia tidak muncul sampai kita berpulang (meninggal),” kata Octavianus.
Gangguan menelan
Selain demensia, masalah terkait dengan kesehatan otak yang juga harus diperhatikan ialah stroke. Dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi RS Atma Jaya, Nelson Sudiyono, menyampaikan, orang yang pernah mengalami stroke biasanya mengalami gangguan untuk menelan. Gangguan menelan ini terjadi lebih dari 50 persen pasien dengan stroke. Biasanya, gangguan ini akan membaik setelah tujuh hari. Namun, pada 11-13 persen kasus, gangguan menelan akan menetap lebih dari enam bulan.
Menurut dia, gangguan menelan pada orang dengan stroke bisa menyebabkan seringnya tersedak ketika makan, mengalami malnutrisi, dan dehidrasi. Keluarga atau orang terdekat yang merawat orang dengan stroke perlu segera menyadari adanya gangguan menelan pada orang dengan stroke apabila muncul tanda-tanda, seperti berbicara pelo (tidak jelas), lama ketika mengunyah, batuk setelah makan ataupun minum, serta terjadi perubahan suara setelah makan ataupun minum.
”Strategi penanganan, jika terjadi gangguan menelan, bisa dilakukan dengan mengatur pemberian makan, mengubah konsistensi makanan menjadi lebih lunak, mengatur posisi saat pemberian makan, serta melatih cara menelan. Penanganan ini perlu dilakukan dengan konsultasi dokter,” ujar Nelson.