JAKARTA, KOMPAS-Demensia sebagai penurunan fungsi kerja otak secara progresif kerap dipahami sebagai kondisi pikun. Padahal, orang dengan demensia memiliki gangguan lebih berat dibandingkan pikun. Apabila hal itu tak diantisipasi, kualitas hidup orang lanjut usia akan menurun.
Pada tahun 2017, Alzheimer’s Disease International (ADI) mencatat ada 1,2 juta orang dengan demensia (ODD). Jumlah itu diprediksi meningkat tahun 2050 mencapai 4 juta orang.
Dokter spesialis penyakit saraf dari Rumah Sakit Atma Jaya Yuda Turana menyatakan, tantangan dalam pengendalian demensia di Indonesia ialah lemahnya koordinasi lintas program dan sektor. Itu diperparah dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang gejala demensia.
“Banyak orang menganggap pikun itu wajar, apalagi pada orang lanjut usia (lansia). Padahal, pikun adalah tanda awal seseorang bisa kena alzheimer,” ujar Yuda pada seminar “Penguatan Strategi Nasional Demensia”, di Jakarta, Kamis (19/4/2018).
Alzheimer paling banyak dialami populasi berusia 60 tahun. “Belum ada obat alzheimer dan masih diteliti kenapa terjadi karena sebagian besar orang dengan demensia kena alzheimer,” kata Yuda yang juga dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik Atma Jaya.
Banyak orang menganggap pikun itu wajar, apalagi pada orang lanjut usia (lansia). Padahal, pikun adalah tanda awal seseorang bisa kena alzheimer.
Direktur Peneliti Yayasan Alzheimer’s Indonesia Tara Puspitarini Sani memaparkan, gejala demensia antara lain, gangguan daya ingat, kemampuan berbahasa, dan perubahan perilaku. Jika ada gejala itu, pasien dianjurkan berkonsultasi ke dokter berkala. Alzheimer bisa dideteksi dini melalui tes fungsi otak sebelum usia 60 tahun.
Direktur Centre of Ageing Studies (CAS) Universitas Indonesia Tri Budi W Rahardjo mengatakan, pembiayaan untuk ODD tahun 2015 di Indonesia mencapai 1,7 miliar dollar AS. Pembiayaan itu meliputi, biaya medis dan nonmedis, serta perkiraan biaya yang hilang untuk biaya perawatan ODD. Karena itu, upaya preventif dan promotif harus diperkuat.
“Negara harus punya strategi yang efektif untuk pengawasan demensia agar tidak meledak jumlahnya, terutama penguatan di sektor puskesmas,” ujarnya.
Selain itu, menurut Budi, hal terpenting bagi ODD adalah perawatan panjang yang harus dimulai dari keluarga. Keluarga sebagai orang terdekat dengan ODD harus mampu mengalokasikan waktu khusus untuk mendampingi kesehatannya. “Sebesar 65 persen dari lansia ini ingin sekali agar mereka dirawat dengan baik di rumahnya dan ditangani langsung oleh keluarga terdekat,” ucapnya.
Sayangnya, pelatihan bagi para perawat (care giver) di Indonesia untuk ODD belum menyeluruh. Perawatan ODD harus secara holistik, baik fisik dan mental, dan itu dilakukan dalam jangka waktu yang panjang (long term care/LTC). “Selama ini karena LTC belum dikenal, pelatihan-pelatihan untuk care giver itu belum maksimal. Jadi banyak dari mereka juga bingung untuk mendampingi para ODD,” kata Budi.
Direktur Regional Asia Pasifik untuk ADI DY Suharya mengatakan, ada dua pekerjaan rumah bagi Indonesia dalam menangani ODD, yakni diagnosis, pemeliharaan dan perawatan, riset, dan inovasi. “Indonesia harus punya strategi yang kuat untuk menangani isu ini karena demensia menyangkut penyakit-penyakit lainnya juga,” ucapnya.
Sonya (46) menuturkan, dirinya telah menjadi care giver atau perawat lansia bagi ibunya selama delapan tahun. Ibunya mengalami demensia sejak terkena stroke. Menurut dia, perlu ketelatenan dalam memberikan perhatian pada ODD.
“Pas terserang stroke pertama, semua kondisi tak bisa bicara. Kayak tidak kenal. Merawat orang yang demensia dilatih seperti anak kecil lagi, saya mengajari lagi untuk membaca. Kita harus telaten, kita harus rajin tanya, udah makan belum, dia juga lupa waktu dan lupa tempat,” ujarnya.