Penurunan Harga Tes PCR Belum Dorong Pemeriksaan
Penurunan harga tes PCR belum diikuti dengan peningkatan pemeriksaan dan pelacakan kasus Covid-19. Padahal, keduanya kunci untuk memutus rantai penularan.
JAKARTA, KOMPAS—Penurunan harga pemeriksaan dengan metode reaksi berantai polimerase atau PCR tak otomatis memutus rantai penularan Covid-19. Pemerintah masih harus memperbanyak tes gratis dan mempercepat prosesnya untuk meningkatkan pelacakan kasus.
”Kami menerima banyak keluhan warga terkait tes PCR. Tes mandiri masih terlalu mahal, sedangkan tes gratis oleh puskesmas terbatas dan pelaksanaannya lama. Hasilnya juga lama keluar,” kata Amanda Tan dari LaporCovid-19, di Jakarta, dalam diskusi daring, Jumat (20/8/2021).
Banyak warga yang memiliki kontak erat, bahkan bergejala Covid-19, meminta tes PCR melalui puskesmas tetapi tak mendapat respons. Hal ini dilaporkan warga Sukabumi dan Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 19 Juni 2021. Pengalaman serupa dialami warga di Jakarta, seperti dilaporkan pada 7 Juli 2021.
Kami menerima banyak keluhan warga terkait tes PCR. Tes mandiri masih terlalu mahal, sedangkan tes gratis oleh puskesmas terbatas dan pelaksanaannya lama. Hasilnya juga lama keluar.
”Ini hari ketujuh saya isoman (isolasi mandiri) dan belum dihubungi satgas (satuan tugas) untuk jadwal tes PCR,” sebut salah satu pelapor, sebagaimana dipaparkan Amanda. Si pelapor menjalani tes antigen mandiri dengan hasil reaktif. Hasil tes, identitas, dan nomor kontaknya telah disampaikan ke puskesmas terdekat.
Baca juga Harga Tes PCR Turun, tetapi Tes dan Lacak Tidak Membaik
Laporan yang diterima LaporCovid-19 dari warga Kota Surabaya, Jawa Timur, 15 Juli 2021, menyebutkan hasil tes PCR dari puskesmas belum keluar setelah seminggu dites. Ia telah menjalani isolasi mandiri dan memerlukan hasilnya untuk pelacakan riwayat kontak di keluarganya. ”Saya memiliki bayi dan mengkhawatirkan kondisinya,” tulis pelapor.
Lamanya hasil tes PCR keluar, kata Amanda, mempersulit upaya memutus rantai penularan dan membahayakan pasien. Seorang pelapor di Kota Bekasi, misalnya, tak bisa pergi ke rumah sakit padahal sesak napas karena menanti hasil tes yang lima hari belum keluar.
”Penurunan harga tes PCR mandiri tak otomatis meningkatkan tes untuk kepentingan pelacakan kasus. Pemerintah harus meningkatkan kapasitas pemeriksaan gratis bagi warga. Itu untuk mencapai target pemerintah melakukan tes 400.000 per hari,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah menurunkan tarif tes PCR tertinggi dari Rp 900.000 menjadi Rp 495.000 untuk Pulau Jawa dan Bali serta Rp 525.000 di luar Pulau Jawa dan Bali sesuai Surat Edaran Kementerian Kesehatan pada 16 Agustus 2021.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, jumlah kasus Covid-19 di Indonesia bertambah 20.004 kasus pada Jumat. Jumlah kasus aktif turun 7.466 kasus sehingga total 327.286 kasus. Namun, angka kematian harian masih tinggi, bertambah 1.348 jiwa, sehingga total 123.981.
Penambahan kasus harian ini dari hasil pemeriksaan pada 113.847 orang dan hanya 38.095 orang di antaranya diperiksa dengan PCR dan tes cepat molekuler (TCM). Dengan jumlah tes ini, tingkat kepositifan 35,69 persen. Bahkan, per 19 Agustus 2021, di sejumlah provinsi, seperti Aceh dan Lampung, hampir setengah dari populasi yang dites positif Covid-19.
Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, mengutarakan, rendahnya kasus harian tetapi angka kematian tinggi menunjukkan ada masalah pendataan. Hal ini sinyal banyaknya kasus tak ditemukan karena tes dan lacak terbatas. Kondisi ini juga tecermin dari tingginya tingkat kepositifan.
Situasi mencemaskan karena kini wabah menyebar ke daerah luar Jawa yang kapasitas tes dan lacaknya makin terbatas. Maka, pemeriksaan dan pelacakan mesti lebih agresif.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menyampaikan, pemerintah menargetkan pemeriksaan dilakukan pada delapan kontak erat dari satu kasus positif. Pada daerah dengan tingkat kasus positif tinggi, jumlah tes Covid-19 harus lebih banyak.
”Kita terus mengingatkan pemerintah daerah untuk meningkatkan jumlah pemeriksaan dan pelacakan. Kita juga minta dukungan TNI dan Polri. Saat ini banyak kasus pelacakan tak berlanjut sampai ke tes,” katanya.
Dari 34 provinsi, hanya tiga yang memiliki rasio pelacakan terhadap kasus konfirmasi positif per minggu 1:8. Ketiganya ialah Nusa Tenggara Barat, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Rasio terendah di Kalimantan Utara, Kepulauan Bangka Belitung, dan Papua Barat.
Situasi di Jawa Timur
Presiden Joko Widodo menyebut angka kematian di Jawa Timur masih tinggi, yakni 7,1 persen. Beberapa kemungkinan penyebabnya ialah mereka yang menjalani isolasi mandiri tak segera dibawa ke isolasi terpusat. Selain itu, mereka yang bergejala berat terlambat dibawa ke rumah sakit.
Baca juga Presiden Soroti Angka Kematian Covid-19 di Jatim yang Masih Tinggi
”Saturasinya turun baru dibawa ke rumah sakit, terlambat. Kedua, komorbid. Dua ini menurut saya (penyebab) kenapa (angka kematian) tinggi,” ujar Presiden saat memberi pengarahan kepada Forkopimda se-Provinsi Jawa Timur di Kabupaten Madiun, Kamis (19/8).
Presiden Jokowi menyampaikan tiga arahan. Pertama, pindahkan yang melakukan isolasi mandiri ke isolasi terpusat di semua kabupaten dan kota. Kedua, vaksinasi dipercepat. Ketiga, distribusi obat tak terlambat. Begitu masuk isolasi terpusat, obat harus diberikan.
Dokter meninggal
Menurut data Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur, dalam tiga pekan Agustus 2021, sebanyak 12 dokter dan 2 dokter sekaligus guru besar meninggal.
Kematian terbanyak dalam sehari terjadi pada Rabu (18/8) saat empat dokter berpulang akibat Covid-19, yakni Profesor Triyono Karmawan dari IDI Surabaya, Yudia Supradini dari IDI Blitar, Arief Suseno dari IDI Jember, dan Moelyanto.
Guru besar lainnya yang meninggal ialah Profesor Suhatno dari IDI Surabaya pada Minggu (8/8).
Ketua IDI Jatim Sutrisno mengatakan, pihaknya kembali terpukul karena kehilangan dokter, sahabat, dan sejawat dalam masa pandemi.
Baca juga Jawa Timur Terus Kehilangan Dokter
Di tengah tingginya kasus dan kematian tenaga kesehatan, 28 kabupaten atau kota belum mengalokasikan anggaran insentif tenaga kesehatan daerah yang menangani Covid-19. Sebanyak 18 daerah di antaranya berstatus penularan level 3 dan level 4, antara lain Kabupaten Aceh Tengah, Kota Pematang Siantar, Kabupaten Bekasi, Kota Makassar, dan Sorong.
”Kami berharap daerah-daerah ini segera mengalokasikan anggaran insentif tenaga kesehatan dan membayarkan kewajiban itu,” kata Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto.
(AMBROSIUS HARTO/RUNIK SRI ASTUTI/MAWAR KUSUMA/AHMAD ARIF/DEONISIA ARLINTA)