Asia Tenggara Perkuat Kerja Sama Tangani Kanker Payudara
Deteksi dini menjadi prinsip dasar penanganan kanker payudara didukung oleh sistem pengobatan yang terintegrasi. Hal itu menjadi perhatian negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angka kasus kanker payudara dan kematian akibat penyakit tersebut cenderung tinggi di Asia Tenggara. Karena itu, kerja sama antarnegara pun diperkuat untuk meningkatkan kesadaran publik terkait kanker payudara hingga memperkuat upaya deteksi dini.
Hal itu mengemuka dalam Southeast Asia Breast Cancer Symposium (SEABCS) 2021 atau Simposium Kanker Payudara Asia Tenggara yang berlangsung secara virtual. Indonesia menjadi tuan rumah SEABCS yang digelar 31 Juli dan 1 Agustus 2021. SEABCS berikutnya akan digelar Filipina pada September 2022.
Ketua Yayasan Kanker Payudara Indonesia (YKPI) Linda Agum Gumelar pada Minggu (1/8/2021) mengatakan, kanker payudara menjadi tantangan global. Untuk itu, semua negara perlu bekerja sama mengambil tindakan preventif terhadap kanker payudara.
Berdasarkan data Global Cancer Observatory (Globocan) 2020, angka kasus baru kanker payudara secara global mencapai lebih dari 2,2 juta kasus dengan 684.996 kematian. Adapun jumlah kasus baru kanker payudara di Asia Tenggara 158.939 kasus dengan 58.616 kematian.
Sementara jumlah kasus baru kanker payudara hampir 66.000 kasus dengan tingkat kematian 22.430 kasus. Kanker payudara menjadi penyakit yang paling banyak dialami di Indonesia dibanding jenis kanker lain. Kanker payudara juga peringkat satu jenis kanker paling banyak diderita di Asia Tenggara.
”Semua pemangku kepentingan didorong bersuara tentang pentingnya kebijakan yang mengupayakan pencegahan kanker, terutama kanker payudara di Asia Tenggara. Upaya menurunkan (kasus) kanker payudara dari kebijakan, implementasi di fasilitas kesehatan primer hingga tersier, juga (dukungan) tenaga kesehatan,” kata Linda.
Hasil dialog di SEABCS 2021 rencananya akan disusun menjadi rekomendasi bagi para pembuat kebijakan di Asia Tenggara. Adapun SEABCS diikuti para profesional, tenaga kesehatan, organisasi, komunitas, penyintas, kanker, hingga akademisi.
Pendiri dan Ketua Yayasan ICanServe di Filipina, Kara Magsanoc Alikpala, mengatakan, SEABCS menjadi wadah berbagi pengalaman dan pengetahuan. Target SEABCS di 2022 adalah memperkuat kolaborasi antarnegara dan aktif menyuarakan isu kanker payudara di Asia Tenggara.
”Di era karantina dan kuntara, ini waktu tepat untuk rethink, recharge, dan reboot cara kami melayani komunitas kanker payudara,” tutur Kara.
Deteksi dini
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menegaskan, komitmen semua pemangku kepentingan penting untuk memastikan pencegahan dan pengendalian kanker payudara. Hal itu bisa dilakukan melalui promosi kesehatan, penapisan, deteksi dini penyakit, dan pengobatan terstandar.
Namun, sejauh ini upaya deteksi dini belum berjalan lancar. Sebanyak 60-70 persen pasien kanker payudara baru memeriksakan diri saat sudah mengalami kanker stadium lanjut, yakni stadium III dan IV. Padahal, semakin cepat kanker dideteksi, semakin besar juga tingkat harapan hidup pasien. Pasien kanker stadium lanjut juga butuh terapi dan pengobatan yang mahal.
Keberhasilan mencegah dan mengendalikan kanker payudara bergantung pada partisipasi masyarakat. ”Saya yakin dengan kerja sama, alokasi sumber daya yang cukup, dan membangun kekuatan bersama, kita bisa mencapai hasil yang lebih baik untuk pengendalian kanker payudara di Asia Tenggara dan global,” ujar Budi.
Presiden Direktur RS Kanker Dharmais R Soeko Werdi Nindito Daroekosoemo memaparkan, penanganan kanker payudara mesti disertai dengan layanan kesehatan komprehensif. Artinya, ada layanan lengkap, mulai dari pencegahan, promosi kesehatan, deteksi dini penyakit, diagnosis, pengobatan, pengawasan, perawatan paliatif, riset, rehabilitasi, hingga dukungan psikologis dan fisik.
Dengan membangun kekuatan bersama, kita bisa mencapai hasil yang lebih baik untuk pengendalian kanker payudara di Asia Tenggara dan global.
Di sisi lain, sistem deteksi dini belum menyeluruh. Sebab, mammografi atau pemeriksaan payudara dengan sinar X hanya tersedia di rumah sakit tipe A.
Soeko menyarankan agar lebih banyak pusat kanker nasional dibangun di Indonesia. Di sejumlah negara, setidaknya ada lebih dari satu pusat kanker nasional. Saat ini, RS Kanker Dharmais menjadi satu-satunya pusat kanker nasional di Indonesia.
”Setidaknya dibutuhkan tiga pusat kanker nasional, yaitu di barat, tengah, dan timur Indonesia. Dengan itu diharapkan layanan kanker yang komprehensif dapat terlaksana dan lebih baik karena tersebar di Indonesia,” ucap Soeko.