Pelaksanaan PPKM darurat Jawa-Bali harus dievaluasi efektivitasnya dalam menurunkan laju penularan Covid-19. Meski pemerintah mengklaim mobilitas penduduk menurun, kasus harian Covid-19 belum juga turun.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah masih mengevaluasi efektivitas pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat sebelum memutuskan untuk melakukan perpanjangan atau tidak. Walaupun diklaim terjadi penurunan mobilitas penduduk, hal ini dinilai belum diikuti penurunan laju penularan di hulu karena masih lemahnya tes dan lacak.
”Terjadi penurunan mobilitas dan aktivitas masyarakat, yang memberi harapan penularan bisa diturunkan. Namun, penurunan ini tidak serta-merta menurunkan penambahan kasus,” kata Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam konferensi pers secara daring, Sabtu (17/7/2021).
Menurut Luhut, dibutuhkan waktu 14-21 hari untuk bisa melihat penambahan kasus melandai.
PPKM darurat Jawa-Bali dimulai sejak 3 Juli 2021 dan seharusnya berakhir pada 20 Juli 2021. Tujuannya, untuk menurunkan laju penularan Covid-19 dengan membatasi mobilitas penduduk secara ketat.
Dalam kesempatan ini, Luhut juga meminta maaf kepada masyarakat jika pelaksanaan PPKM belum optimal. ”Kami akan bekerja keras agar penularan bisa diturunkan dan bantuan sosial ke masyarakat bisa disalurkan,” katanya.
Terjadi penurunan mobilitas dan aktivitas masyarakat, yang memberi harapan penularan bisa diturunkan. Namun, penurunan ini tidak serta-merta menurunkan penambahan kasus.
Menurut dia, saat ini pemerintah masih melakukan evaluasi terhadap apakah PPKM dengan jangka waktu dan apakah dibutuhkan perpanjangan lebih lanjut. ”Kami akan laporkan kepada Bapak Presiden. Saya kira dalam 2-3 hari ke depan kita akan umumkan secara resmi,” ucapnya.
Luhut menyebut ada dua indikator yang menjadi evaluasi PPKM darurat, yakni penambahan kasus dan tingkat keterisian tempat tidur (BOR) rumah sakit. Menurut dia, saat ini indikator penambahan kasus dan BOR mulai membaik.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono juga mengatakan, ”ada kabar baik, BOR rumah sakit mulai flat di Jakarta. Ini mungkin akibat penambahan dari tempat tidur yang cukup signifikan dan angka yang masuk rumah sakit mudah-mudahan ke depan tidak terlalu masif.”
Menurut dia, ada penambahan 1.000 tempat tidur isolasi Covid-19 di Wisma Haji Pondok Gede. Selain itu, akan ada tambahan 300 tempat tidur di RS Cipto Mangunkusmo dan 300-400 lagi di beberapa rumah sakit lain. ”Total ada 2.000 tambahan tempat tidur di seluruh Jakarta. Selain itu, kami bekerja sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membangun rumah sakit lapangan di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Barat,” katanya.
Selain itu, Dante juga menyinggung upaya mengatasi defisit oksigen. Jika sebelumnya kebutuhan oksigen harian 400 ton, kebutuhan saat ini di tengah lonjakan kasus Covid-19, meningkat menjadi lima kali lipat. Upaya antisipasinya, antara lain, mengonversi 90 persen pasokan oksigen untuk industri untuk medis. ”Tinggal 10 persen untuk industri. Tetapi, masih ada kekurangan,” katanya.
Untuk mencegah kehabisan oksigen, rumah sakit diharapkan mengisi kebutuhan dan proyeksi oksigennya secara digital sehingga bisa terpantau. ”Bukan ketika oksigennya habis, RS berteriak. Selain itu, kami juga akan menambah 20.000-30.000 oksigen konsentrator untuk menambah 600 ton produksi oksigen per hari,” katanya.
Dante menambahkan, pasokan obat di dalam negeri masih terkontrol. ”Namun, ada obat-obat impor yang ketat, antara lain Remdesivir, Actemra, dan Gammaraas. Remdesivir sedang nego ke India dan China untuk yang sejenis,” katanya.
Perkuat tes dan lacak
Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sekaligus mantan Direktur Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia Regional Asia Tenggara (WHO SEARO), mengatakan, pemerintah perlu hati-hati melihat data okupansi BOR yang mulai mendatar. ”Angka BOR bisa misleading,” katanya.
Menurut dia, penurunan BOR dengan menambah kapasitas tempat tidur tidak menandai penurunan kasus. ”Kalau rumah sakit dengan 200 bed misalnya, lalu 100 di antaranya dipakai Covid-19 dan penuh, lalu ada instruksi bahwa 100 sisanya dipakai untuk Covid-19, maka BOR yang tadinya 100 persen akan menjadi 50 persen,” katanya.
Tjandra menyarankan agar pemerintah tidak hanya fokus di hilir seperti menambah tempat tidur rumah sakit, obat-obatan, dan oksigen. ”Sangat penting juga memperbaiki sektor hulu dengan tes dan telusur yang baik,” katanya.
Menurut Tjandra, dalam tiga hari terakhir ini tidak hanya kasus baru lebih dari 50.000 yang jadi masalah kita, tetapi kenyataan bahwa 3 hari berturut-turut angka kepositivan (positivity rate) kita di atas 30 persen. ”Hal ini tidak hanya menunjukkan tingginya penularan di masyarakat, tetapi juga jauh lebih tinggi dari negara tetangga kita,” ujarnya.
Tjandra menambahkan, PPKM darurat yang sedang dijalani sekarang ini untuk melaksanakan pembatasan sosial sehingga diharapkan kontak antarmanusia menjadi lebih rendah dan penularan antarorang juga dapat ditekan. ”Tanpa ada tes dan telusur yang maksimal, maka keberhasilan PPKM darurat akan sulit dicapai,” katanya.
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) Iwan Ariawan mengatakan, pergerakan penduduk yang terpantau oleh Facebook Data for Good dan Tim Mahadata UI masih fluktuatif. Mobilitas penduduk yang turun pada 3 Juli kemudian meningkat lagi sehari setelahnya. Kemudian turun kembali di akhir pekan, tetapi meningkat di hari kerja.
Iwan mengatakan, berdasarkan data ini, mobilitas penduduk tertinggi terjadi di Jawa Tengah, diikuti Jawa Timur dan Jawa Barat, Banten, Yogyakarta, baru di Jakarta. Namun, mobilitas di seluruh Jawa cenderung meningkat kembali setelah 10 Juli.
Dengan masih tingginya mobilitas dan belum adanya tanda-tanda penurunan kasus yang signifikan, Iwan juga menyarankan agar PPKM darurat dilanjutkan dengan implementasi lebih ketat. Selain itu, tes dan lacak yang masih minim harus ditingkatkan.
Data Kementerian Kesehatan, kasus Covid-19 di Indonesia pada Sabtu bertambah 51.952 orang dalam sehari dan korban jiwa bertambah 1.092 orang. Sementara kasus aktif bertambah 22.957 sehingga menjadi 527.872 orang.
Jumlah kasus ini didapatkan dengan memeriksa 188.551 orang, di mana 105.565 di antaranya dengan polimerase rantai ganda (PCR). Tingkat kepositivan secara total sebesar 27,55 persen, tetapi kepositifan dengan PCR mencapai 40,32 persen.