Saat Keluarga Terpapar Korona
Gelombang kedua Covid-19 di Indonesia memunculkan banyak kluster keluarga. Tak mudah bagi keluarga untuk menghadapi situasi yang menekan ini. Namun, dengan sikap positif dan optimistis, banyak keluarga mampu melewatinya.
Gelombang kedua Covid-19 di Indonesia memunculkan banyak kluster keluarga. Tak mudah bagi keluarga untuk menghadapi situasi yang menekan ini. Apalagi, nyawa jadi taruhannya. Namun, dengan sikap positif dan optimistis, nyatanya banyak keluarga mampu melewati badai ini.
Hancur hati Ika Rahayuningsih, ibu rumah tangga warga Depok, Jawa Barat saat mengetahui dirinya positif Covid-19 awal Juni 2021. Kabar duka dari tetangga maupun informasi dari grup percakapan makin membuatnya tersiksa. Belum lagi pertanyaan bertubi-tubi, ”Kok bisa kena?” atau ”Kena darimana?” meski ia dan keluarga sudah ketat menjalankan protokol kesehatan.
Lelah meratapi nasib akhirnya membuat Ika mampu menerima keadaan. Candaan dan semangat dari teman-temannya bisa mengurangi beban dan ketakutan atas kematian yang dialaminya. Terlebih, dua anaknya, Shanan (11) dan Najiha (8), masih membutuhkan dirinya.
Ika pun legawa menjalani isolasi di rumah yang memisahkannya dengan anak dan suaminya yang hasil tes usapnya menunjukkan mereka negatif korona. Namun, tugasnya sebagai ibu membuatnya harus terus memantau kondisi kedua anaknya yang mulai menunjukkan gejala korona lewat bantuan suaminya.
Anak yang terpapar umumnya mengalami penurunan imunitas tubuh, seperti anak yang harus menjalani kemoterapi.
”Saat Najiha sedih karena tak bisa lagi memeluk bundanya, saya hanya berusaha menguatkan agar anak-anak tidak sedih,” kata Ika, Jumat (9/7/2021). Ia pun mencoba menjelaskan situasi yang terjadi agar mereka memahami sembari mendorong mereka untuk tetap makan dengan baik, rutin minum obat, atau berjemur saat pagi.
Ketika hasil uji reaksi berantai polimerase (PCR) kedua anak dan suaminya pun dinyatakan positif korona, Ika juga tetap tegar meski hatinya kembali hancur. Ia pun mengingatkan buah hatinya untuk bisa menerima kondisi tersebut. Sikap positif itulah yang membuat kedua anaknya bisa menjalani 14 hari isolasi mandiri dengan ceria.
”Tidak ada yang namanya sedih. Mereka tetap bisa bercanda, menjalani hobi, atau berlarian ke sana kemari meski hanya di rumah,” tambahnya.
Sikap positif itu adalah buah dari upaya Ika dan suaminya yang membatasi informasi korona yang diterima anak. Selain tidak menonton televisi, Ika dan suami juga membatasi penggunaan media sosial. Mereka juga aktif mendampingi dan menjelaskan setiap informasi korona yang diperoleh anak.
Kecemasan serupa juga dialami Maria (43), ibu rumah tangga asal Bandung, Jabar. Saat merasakan gejala Covid-19 pada awal April 2021, ia langsung mengisolasi diri dari kedua anaknya, Yaya (12) dan Lula (7). Ketika tubuhnya demam tinggi, mimpi aneh dan berbagai pikiran negatif muncul. Rasa khawatir akan nasib anak-anak di masa depan pun datang.
Beruntung, Lula sudah bisa memahami apa yang dialami ibunya. Informasi soal korona yang dia dapat dari televisi, media sosial, ataupun yang diajarkan orangtua membuat dia bisa menerima saat harus hidup terpisah dengan ibu walau tinggal satu rumah. Alhasil, saat rindu melanda, mendengar suara ribut anak atau saling menatap dari jendela kaca kamar jadi pelepas kangen.
Setelah uji PCR dinyatakan positif, Maria melanjutkan isolasinya. Di saat itulah sang suami mengambil kendali untuk mengurus rumah dan anak yang semuanya negatif korona. Meski demikian, tidak hadirnya sosok ibu tetap membuat keluarga menjadi pincang. Karena itu, Maria tetap menjalankan sebagian urusan rumah sembari menunggu selesainya masa isolasi, seperti mencuci dan menjemur pakaian yang dilakukan di pagi buta demi menghindari bertemu anak-anak secara langsung.
Baca juga: Anak Butuh Perlindungan Maksimal dari Covid-19
”Jangan panik, jangan takut berlebihan karena akan menguras energi. Siapa saja bisa terpapar korona, terlebih saat daya tahan tubuh turun. Karena itu, selain ketat menjalankan protokol kesehatan, imunitas tubuh harus senantiasa dijaga,” katanya.
Anak dengan Covid-19
Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Covid-19 Ikatan Psikolog Klinis Indonesia yang juga psikolog klinis di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta, Annelia Sari Sani mengatakan kasus anak dengan Covid-19 sudah ada sejak awal pandemi. Saat itu, anak yang terpapar umumnya mengalami penurunan imunitas tubuh, seperti anak yang harus menjalani kemoterapi.
Kini, jumlah anak yang terpapar Covid-19 makin besar dan terentang dari bayi hingga remaja. Data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per 7 Juli 2021 menunjukkan ada 289.000 anak umur 0-18 tahun yang terpapar korona. Jumlah itu setara 12,6 persen kasus positif korona di Indonesia dan tingkat kematiannya mencapai 3-5 persen.
Repotnya, gejala Covid-19 pada anak tidak khas, beda dengan orang dewasa. Anak yang terpapar korona umumnya mengalami multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) yang memicu peradangan berbagai organ tubuh anak, bukan hanya paru-paru seperti pada orang dewasa. Peradangan akibat Covid-19 pada anak itu bisa terjadi di tulang belakang, jantung, mata, atau pembuluh darah yang mirip dengan gejala sindrom kawasaki.
Selain itu, proses peradangan juga tetap berlangsung meski virusnya sudah mati atau hasil uji PCR-nya dinyatakan negatif. Kondisi itu, lanjut Annelia, seringi menimbulkan kebingungan pada anak. Mereka merasakan sakit, tapi bingung menjelaskan apa yang dirasakannya.
Persepsi anak tentang Covid-19 memang beragam, bergantung umur dan paparan informasi korona yang diterimanya. Menurut psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Depok, Anna Surti Ariani, bayi sampai anak umur tiga tahun masih sulit memahami korona.
Sedang pemahaman anak tiga tahun hingga sebelum remaja akan sangat ditentukan oleh bagaimana keluarga, teman dan guru memberikan informasi korona dengan segala manifestasinya. ”Jika pengaruh negatif lebih menonjol, maka korona akan dianggap sebagai kengerian,” katanya.
Namun, untuk remaja, persoalannya menjadi lebih kompleks. Selain pengaruh keluarga, teman atau guru, remaja punya pola pikir sendiri meski belum matang. Reaksi orang-orang sekitar terhadap korona akan sangat memengaruhi pola pikir remaja.
Baca juga: Lindungi Anak, Waspadai ”Long Covid”
Menghadapi kondisi itu, komunikasi orangtua dan anak menjadi penting. Waspada dan hati-hati adalah keharusan. Namun, peringatan yang disampaikan berlebihan dan penuh kecemasan justru akan menularkan kecemasan kepada anak. Bahkan, remaja akan menganggap peringatan itu sebagai hal yang menganggu.
”Munculnya rasa takut dan khawatir saat anak atau anggota keluarga lain terpapar Covid-19 adalah wajar. Namun, orangtua perlu membuka diri bahwa tak selamanya korona berakhir buruk. Lebih banyak pasien korona justru sembuh,” ujar Anna. Ketenangan orangtua justru bisa membuat anak lebih berdaya, berpikir positif dan bersemangat sembuh dari korona.
Ketika anak positif Covid-19 harus menjalani isolasi mandiri padahal mereka belum bisa dilepaskan dari orangtuanya yang statusnya negatif, Annelia mengingatkan untuk memastikan rasa aman dan kebutuhan dasar anak terpenuhi. Anak harus diyakinkan bahwa sakit yang dialaminya itu tidak akan membuatnya terpisah dari orangtua.
Meski demikian, kondisi itu jarang, kecuali pada remaja. Umumnya anak terpapar Covid-19 dari orangtua atau orang lain di sekitarnya. Jika status korona anak dan orangtua berbeda, Ikatan Dokter Anak Indonesia menyarankan agar anak menjalani isolasi bersama orangtuanya dengan jarak tidur 2 meter dan di kasur terpisah. Selain itu, orangtua atau pengasuh yang menemani anak isolasi adalah yang punya risiko infeksi rendah.
Sebaliknya, saat orangtua harus menjalani isolasi Covid-19 dan anak negatif, anak bisa dititipkan pada orang lain atau pengasuh yang sedapat mungkin memiliki risiko penularan korona rendah. Jika di kemudian hari anak menunjukkan perburukan kondisi, pengasuh harus segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan.
Pengasuh juga harus jujur menyampaikan kondisi orangtua kepada anak, tentu dengan bahasa yang dipahami anak sesuai umurnya. ”Jangan sampai pengasuh menakuti anak dan memintanya tidak nakal agar orangtuanya sembuh. Jika sampai hal buruk terjadi, anak akan merasa sangat bersalah,” kata Anna.
Untuk mengurangi kerinduan anak, pengasuh bisa menyambungkan anak dengan orangtuanya melalui panggilan video, telepon atau pesan singkat yang dibacakan. Walau demikian, upaya ini tidak mudah, terlebih jika orangtua harus menjalani isolasi di unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit.
Keluarga
Kompleksnya situasi yang harus dihadapi keluarga saat paparan Covid-19 melanda membuat penguatan keluarga menjadi kunci. Pelaksanaan protokol kesehatan secara ketat harus dimulai dari keluarga. Namun, saat korona benar-benar melanda, sikap positif dan optimistislah yang harus dibangun keluarga.
Baca juga: Jangan Abaikan Risiko Covid-19 pada Anak
Saat ini, tinggal di rumah saja adalah cara terbaik mencegah dan memutus rantai penularan Covid-19. Keluar rumah seharusnya hanya dilakukan untuk hal-hal yang mendesak saja. Masalahnya, ”Masih banyak orangtua mengajak anaknya keluar rumah dengan berbagai alasan,” kata Anna. Jika anak bosan di rumah, khususnya remaja, orangtua harus menyadarkan anak pentingnya saat ini di rumah saja atau membangun aktivitas yang menyenangkan di rumah.
Tinggal terus menerus di satu lingkungan tertentu dengan orang yang sama memang tidak mudah. Potensi munculnya konflik tinggi. Terlebih, banyak rumah tangga di Indonesia tidak memiliki ruang pribadi untuk semua anggota keluarga. Meski demikian, situasi terbatas ini tetap bisa menjadi potensi positif untuk mengeratkan kembali hubungan keluarga.
Sementara itu, untuk menjaga imunitas anak dan keluarga, Annelia mengingatkan pentingnya menjaga asupan gizi keluarga. Pola kerja dari rumah dengan jam kerja yang fleksibel membuat banyak orangtua kesulitan menyiapkan makan anak. Akibatnya, konsumsi makanan tinggi lemak, gula dan garam melalaui pengantaran daring banyak jadi pilihan.
Selain itu, hingga enam bulan pertama pandemi, keluhan remaja terbanyak ke psikolog adalah gangguan tidur. Banyak remaja tidur lewat tengah malam, padahal mereka butuh 8-10 jam tidur malam. ”Kurang tidur membuat anak sulit konsentrasi, terganggu fungsi kognitifnya, hingga mudah alami perubahan suasana hati,” katanya.
Jika semua hal baik untuk mencegah korona sudah dilakukan, tetapi tetap ada yang terpapar, pikiran positif perlu dikedepankan. Tak perlu mencari siapa yang salah, tetapi harus menjadi koreksi semua anggota keluarga. Meski berat, peluang Covid-19 disembuhkan tetap besar.
Optimisme juga harus dibangun. Meski pandemi sudah berjalan 1,5 tahun dan belum jelas kapan berakhir, tetapi kondisi berat bagi semua orang itu pasti berakhir. Semua itu hanya membutuhkan kepedulian semua orang untuk mematuhi protokol kesehatan, tidak egois. Meski sulit beradaptasi dengan pola hidup baru, tetapi hanya cara ini yang membuat korona segera berlalu.