Seorang ibu yang menerima kehamilannya dengan perasaan gembira akan lebih memperhatikan perkembangan dan kebutuhan gizi bayinya. Ini contoh bagaimana psikologis orangtua berdampak pada kualitas kesehatan gizi anak.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aspek psikologis orangtua sangat berperan penting dalam tumbuh kembang anak, khususnya pada 1.000 hari pertama kehidupan. Orangtua yang memiliki kestabilan emosi akan turut memperhatikan gizi dan tumbuh kembang anak sehingga mencegah terjadinya tengkes atau permasalahan kesehatan lainnya.
Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia Indria Laksmi Gamayanti menyampaikan, permasalahan kognitif pada anak akan memengaruhi dan memunculkan permasalahan lainnya. Permasalahan itu, antara lain, berkaitan dengan emosi anak, cara bersosialisasi, dan kemampuan motorik.
”Saat seorang anak bermasalah, biasanya juga akan berdampak pada kondisi psikologis orangtuanya. Mengingat Indonesia menganut extended family, keluarga besar juga menjadi bermasalah. Artinya, konstelasi dalam keluarga besar juga akan terganggu akibat adanya perasaan bersalah atau disalahkan,” ujarnya dalam diskusi daring memperingati Hari Keluarga Nasional 2021, Selasa (29/6/2021).
Menurut Gamayanti, aspek psikologis orangtua ini sangat berperan dalam tumbuh kembang anak, khususnya untuk mencegah terjadinya tengkes atau stunting. Seorang ibu yang menerima kehamilannya dengan perasaan gembira akan lebih memperhatikan asupan gizi janin dan bayinya ketika melahirkan.
Upaya pencegahan menjadi kunci karena akan lebih sulit mengatasi anak yang sudah mengalami tengkes.
Namun, Gamayanti memandang, perasaan gembira saja tidak cukup bagi ibu untuk menjaga kondisi kehamilannya. Seorang ibu juga perlu mengetahui berbagai hal terkait kehamilan dan proses pemberian makan, mulai dari air susu ibu (ASI) hingga pengganti ASI.
”Ketika ibu sedang memberikan ASI dalam proses menyusui, tetapi psikologisnya tidak stabil, produksi ASI dan proses pemberiannya juga tidak optimal. Bahkan, tidak jarang anak akan menolak minum ASI. Jadi, kesiapan ibu, ayah, dan keluarga merupakan sesuatu yang sangat penting untuk menerima kehamilan,” katanya.
Pencegahan tengkes tidak terlepas dari proses pemberian atau perilaku makan. Adapun faktor yang berkontribusi pada perilaku makan ini tidak hanya dari aspek komposisi makanan, tetapi juga kondisi fisik dan psikologis dari anak, orangtua, hingga lingkungan sosial. Proses pemberian makan ini akan mudah apabila anak merasa bahagia.
Mengingat kehamilan dan mengurus anak merupakan hal yang kompleks serta membutuhkan kematangan emosi, Gamayanti menekankan pentingnya mencegah terjadinya perkawinan anak usia dini. Saat ini, para psikolog klinis di tingkat puskesmas juga banyak yang telah memberikan konseling pranikah.
”Cukup banyak masalah keluarga pada awal pernikahan. Terdapat penelitian bahwa anak yang bermasalah, termasuk stunting, ada pada keluarga dengan pernikahan dini dan perceraian di awal pernikahan,” ucapnya.
Ketua Satuan Tugas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Hartono Gunardi mengatakan, tengkes dapat disebabkan oleh kekurangan zat gizi makro, seperti karbohidrat, protein, dan lemak, serta zat mikro, yaitu zat besi dan seng. Di samping itu, tengkes juga bisa disebabkan infeksi menahun seperti tuberkulosis (TBC), gangguan penyerapan, dan diare sehingga menyebabkan proses pemberian atau penyerapan makanan tidak optimal.
”Faktor kurangnya kasih sayang juga akan menyebabkan anak mengalami malanutrisi. Bisa dilihat anak-anak yang kurang beruntung di panti asuhan juga terkadang malanutrisi karena kurang perhatian meski makanannya berkecukupan,” tuturnya.
Hartono menegaskan, upaya pencegahan menjadi kunci karena akan lebih sulit mengatasi anak yang sudah mengalami tengkes. Salah satu upaya pencegahan itu dapat dilakukan dengan cara menimbang berat anak usia di bawah dua tahun. Intervensi perlu segera dilakukan apabila berat badan anak tidak naik dalam beberapa bulan.
Ancaman
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan, Indonesia perlu memaksimalkan bonus demografi yang dihadapi saat ini. Terjadinya tengkes pada anak-anak akan menjadi ancaman dan berpotensi menyebabkan kehilangan bonus demografi. Potensi tengkes juga meningkat apabila remaja Indonesia menikah pada usia muda, hamil berulang kali, serta kematian ibu dan bayi tinggi.
Berdasarkan Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program (SKAP) dari BKKBN tahun 2019, angka tengkes sebesar 27,6 persen memang masih menjadi tantangan bagi kualitas anak atau generasi emas Indonesia 2045. Namun, selain tengkes, tantangan lainnya yang juga dihadapi generasi muda adalah masalah gangguan kejiwaan (9,8 persen) dan difabel atau autisme (4,1 persen).
Prevalensi anak balita tengkes di Indonesia terus turun setelah stagnan di kisaran 35-37 persen antara 2007 dan 2013. Namun, jumlah saat ini masih jauh lebih tinggi dari standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu maksimal 20 persen. Jumlah anak balita tengkes di Indonesia menduduki peringkat ke-108 dari 132 negara di dunia (2018) dan menjadi yang terbanyak kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja (Kompas.id, 22/4/2021).