Pandemi Covid-19 meningkatkan jumlah penderita tengkes. Belum lagi, kesadaran masyarakat dan pemangku kebijakan atas isu yang berdampak besar pada kualitas manusia Indonesia itu masih rendah.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menargetkan menurunkan prevalensi anak balita tengkes dari 27,6 persen pada 2019 menjadi 14 persen pada 2024. Target itu sangat besar mengingat pandemi justru meningkatkan penderita tengkes. Belum lagi, kesadaran masyarakat dan pemangku kebijakan atas isu yang berdampak besar pada kualitas manusia Indonesia itu masih rendah.
”Kepedulian terhadap isu stunting (tengkes) masih rendah sehingga persoalan anak yang terganggu tumbuh kembangnya akibat kekurangan gizi kronis belum dianggap sebagai masalah serius,” kata Deputi Pengendalian Penduduk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dwi Listyawardani dalam Ambassador Talk di Jakarta, Rabu (21/4/2021).
Prevalensi anak balita tengkes di Indonesia terus turun setelah stagnan di kisaran 35-37 persen antara 2007 dan 2013. Namun, jumlah saat ini masih jauh lebih tinggi dari standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu maksimal 20 persen. Jumlah anak balita tengkes di Indonesia menduduki peringkat ke-108 dari 132 negara di dunia (2018) dan menjadi yang terbanyak kedua di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Selama 2015-2019, penurun prevalensi anak balita tengkes hanya mencapai 0,3 persen per tahun. Namun, pada 2020-2024, pemerintah berambisi menurunkan prevalensi tengkes hingga 2,5 persen per tahun. Dengan penurunan prevalensi tengkes secara besar-besaran itu, diharapkan tidak akan ada lagi pertambahan kasus tengkes dalam lima tahun ke depan.
Target besar itu dirancang karena tengkes berdampak besar pada kecerdasan, kesehatan, hingga produktivitas bangsa. Pendeknya tinggi badan dibandingkan standar sesuai umurnya akibat tengkes menunjukkan otak dan sel tubuh yang tidak berkembang optimal. Repotnya, persoalan ini sulit diperbaiki saat anak sudah menginjak usia 2 tahun atau lebih.
Kepedulian terhadap isu stunting (tengkes) masih rendah sehingga persoalan anak yang terganggu tumbuh kembangnya akibat kekurangan gizi kronis belum dianggap sebagai masalah serius.
Wakil Duta Besar Denmark untuk Indonesia Soren Bindesoll mengatakan, upaya Denmark mencegah tengkes dilakukan secara terintegrasi sejak sang ibu belum hamil, selama mengandung, hingga setelah persalinan. ”Untuk memastikan anak memiliki gizi yang baik, perawatan bayi dimulai dengan fokus pada sang ibu,” katanya.
Upaya itu dilakukan otoritas kesehatan beserta badan pangan dan veteriner setempat dengan membuat panduan yang membuat perempuan bisa fokus pada kesehatannya, baik sebelum, selama, maupun sesudah persalinan.
Sebelum hamil, calon ibu disarankan mengonsumsi asam folat, tidak merokok, minum alkohol dan obat terlarang, serta mematuhi anjuran yang telah ditetapkan. Selama kehamilan, komunikasi ibu dengan bidan dan dokter diintensifkan melalui 4-7 kali konsultasi, dua kali pemeriksaan ultrasonografi, pengontrolan berat badan ibu, pemberian suplemen khusus, mendorong aktivitas fisik, serta menghindari paparan zat kimia berbahaya dan pemicu stres.
Setelah persalinan, pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif dilakukan hingga bayi berumur 6 bulan dan diharapkan diperpanjang hingga usia 1 tahun. Makanan pendamping ASI bisa diberikan setelah bayi berumur 6 bulan dengan memperhatikan kandungan gizinya, termasuk lemak yang penting bagi perkembangan sel dan hormon bayi.
Dwi menambahkan, salah satu tantangan besar dalam pemberian ASI eksklusif di Indonesia yakni aturan ketenagakerjaan yang hanya membolehkan cuti hamil dan bersalin bagi pekerja perempuan selama tiga bulan saja, belum bisa enam bulan, bahkan satu tahun seperti di negara-negara Skandinavia. Cuti ayah untuk menemani istri mengasuh bayi juga belum ada.
Kearifan lokal
”Besarnya jumlah penduduk dan keragaman budaya Indonesia membuat penanganan stunting perlu didekati dengan nilai-nilai kearifan lokal di setiap daerah,” kata Dwi.
Deputi Pelatihan, Penelitian, dan Pengembangan BKKBN M Rizal Martua Damanik menambahkan, Indonesia memiliki tantangan tak mudah dalam penurunan tengkes. Tingginya anak balita tengkes di Indonesia di antaranya dipicu oleh adanya 192.000 bayi lahir dengan berat badan rendah dan panjang badan kurang dari 48 sentimeter (2018) dan 675.000 bayi lahir prematur (2010).
Selain itu, 593.000 ibu hamil berumur 10-19 tahun dengan anemia (2018), adanya 505.000 perempuan yang sudah menikah di usia 10-19 tahun (2015), serta adanya 663.000 kelahiran dengan jarak antar-kelahiran kurang dari 2 tahun.
Sementara itu, prevalensi tengkes tertinggi ada di Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat, sedangkan prevalensi terendah ada di DKI Jakarta, Bali, dan Bangka Belitung. Sejumlah provinsi di Jawa juga memiliki prevalensi tengkes yang masih cukup tinggi. Namun, karena jumlah penduduk yang besar, membuat jumlah anak balita yang mengalami tengkes juga besar.
Kini, berbagai persoalan untuk menyelesaikan tengkes menjadi tanggung jawab BKKBN setelah Presiden Joko Widodo pada Januari 2021 menunjuk BKKBN sebagai ketua pelaksana program percepatan penanganan tengkes. Semua itu tidak bisa ditanganai BKKBN sendiri karena banyak akar masalah tengkes berada pada tanggung jawab kementerian atau lembaga lain.
”Target prevalensi stunting 14 persen pada 2024 tidak bisa dicapai tanpa partisipasi berbagai pihak,” kata Rizal. Pelibatan pihak lain, baik akademisi, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, maupun lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, juga diperlukan hingga persoalan tengkes bisa diselesaikan secara terintegrasi dan komprehensif.
Tengkes juga tidak bisa ditangani hanya menggunakan pendekatan kesehatan saja. Pembangunan sanitasi dan air bersih serta perbaikan layanan kesehatan juga penting untuk bisa menyelesaikan persoalan tengkes.
Selain lemahnya pemahaman tentang dampak tengkes pada kualitas sumber daya manusia, Duta Besar Indonesia untuk Denmark dan Lituania Dewi Savitri Wahab menilai penguatan sistem kesehatan di Indonesia perlu dilakukan.
Puskesmas perlu dijadikan ujung tombak dalam penanganan tengkes, bukan hanya untuk memberikan layanan kesehatan guna mencegah dan mengatasi tengkes, melainkan juga membangun kesadaran tentang pentingnya penanganan tengkes demi terciptanya sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.