Penyuluh Keluarga Berencana dan Penyuluh Agama Disinergikan untuk Penanganan Tengkes
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional berkoordinasi dengan Kementerian Agama untuk menyiapkan calon pengantin agar mampu merencanakan kehamilan, siap menjadi ibu, dan mencegah janin mengalami tengkes.
Oleh
MUCHAMAD ZAID WAHYUDI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan prevalensi anak berumur kurang dari 5 tahun atau anak balita yang mengalami tengkes pada 2024 mencapai 14 persen. Meski target itu dinilai ambisius, apalagi dalam situasi pandemi Covid-19 saat ini, penanganan tengkes butuh percepatan demi tercapainya bonus demografi serta keadilan bagi seluruh rakyat.
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ditetapkan pemerintah sebagai ketua pelaksana program percepatan penanganan tengkes di Indonesia sejak akhir Januari 2021. Targetnya, dalam waktu kurang dari empat tahun, BKKBN harus mampu menurunkan jumlah anak balita tengkes hampir separuh dari prevalensi tengkes pada 2019 sebesar 27,6 persen.
Untuk mencapai target itu, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo berkoordinasi dengan Kementerian Agama, Kamis (11/2/2021), untuk menyiapkan calon pengantin agar mampu merencanakan kehamilan, siap menjadi ibu, dan mencegah janin yang dikandungnya mengalami tengkes.
Dari sekitar 2 juta pernikahan di Indonesia setiap tahunnya, sebanyak 80 persen pasangan akan hamil dan melahirkan pada satu tahun pertama setelah pernikahannya.
”Dari sekitar 2 juta pernikahan di Indonesia setiap tahunnya, sebanyak 80 persen pasangan akan hamil dan melahirkan pada satu tahun pertama setelah pernikahannya,” katanya. Pasangan pengantin Indonesia rata-rata ingin segera memiliki anak setelah pernikahannya, bukan menundanya.
Karena itu, menyiapkan calon ibu penting dilakukan sejak dini untuk mengatasi tengkes, bukan menangani janin atau bayinya saja. Ibu hamil yang tidak mengalami kekurangan gizi dan anemia serta mampu mengatur penjarakan antarkelahiran minimal tiga tahun akan mengurangi risiko janin atau bayi mengalami tengkes sejak dalam kandungan.
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, seperti dikutip dari siaran pers BKKBN, mengatakan isu tengkes merupakan persoalan lama dan perlu mendapat perhatian lebih besar karena terkiat dengan masa depan bangsa.
”50.000 penyuluh agama di seluruh Indonesia bisa disinergikan dengan penyuluh keluarga berencana (KB) untuk menyosialisasikan stunting (tengkes) kepada masyarakat,” katanya. Selain itu, isu tengkes juga bisa masuk dalam pelayanan agama yang dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) karena KUA kini tidak hanya memberikan pelayanan pernikahan saja.
Sementara itu, BKKBN memiliki 22.600-an penyuluh KB dan petugas lapangan KB serta 1,3 juta kader yang bisa digerakkan untuk mempercepat penanganan tengeks. Diikutsertakannya penyuluh agama diyakini akan memperluas jangkauan upaya percepatan penanganan tengkes mengingat ada hampir 84.000 desa dan kelurahan di seluruh Indonesia.
Untuk mendukung penyiapan calon pengantin itu, lanjut Hasto, BKKBN sedang menyiapkan aplikasi daring yang bisa digunakan oleh calon pengantin untuk memberitahukan kondisi kesehatannya pada tiga bulan sebelum pernikahan. Aplikasi itu direncanakan akan diselaraskan dengan aplikasi untuk mempermudah pengurusan pernikahan yang juga sedang dikembangkan oleh Kementerian Agama.
Dengan laporan melalui aplikasi tersebut, BKKBN berharap bisa menilai dan memantau kondisi kesehatan calon ibu. ”Bagi perempuan, menikah dan melahirkan disarankan dilakukan pada usia minimal 21 tahun karena secara medis, usia ideal untuk hamil dan melahirkan adalah di atas 21 tahun,” ucapnya.
Sebelumnya, koordinasi percepatan penanganan tengkes juga dilakukan BKKBN dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes) pada 1 Februari 2021. Pelibatan Kemendes penting mengingat jumlah anak tengkes lebih banyak berasal dari kawasan perdesaan. Padahal, lebih dari separuh penduduk Indonesia saat ini tinggal di perkotaan.
”Banyak negara membutuhkan waktu 10-30 tahun untuk menurunkan stunting. Karena itu, Indonesia butuh bergerak dan bekerja dengan cepat,” kata Hasto. Karena itu, kerja sama dengan kementerian dan lembaga lain menjadi penting. Dari sekitar 5 juta kelahiran di Indonesia setiap tahunnya, sebanyak 1,2 juta bayi di antaranya akhirnya mengalami tengkes.
Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Budi Arie Setiadi yang menerima kunjungan BKKBN saat itu mengatakan, dana desa bisa digunakan untuk pencegahan tengkes. ”Untuk tahun 2021 dan 2022, harus diingatkan kembali bahwa anggaran untuk pencegahan
stunting harus ada di setiap desa,” katanya.
Saat ini ada 62 kabupaten dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang masuk kategori daerah tertinggal. Daerah ini, lanjut Budi, bisa dijadikan sasaran utama pencegahan tengkes. Upaya itu juga bisa diselaraskan dengan program Desa Peduli Kesehatan dan Desa Peduli Keluarga milik Kemendes serta Program Kampung Keluarga Berkualitas milik BKKBN.
Hasto berharap dukungan pendanaan itu bisa mendorong penyebaran bidan, minimal satu bidan di setiap desa, serta mengaktifkan kembali pondok bersalin desa (polindes). Selain itu, kerja sama antara bidan, penggerak pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK), penyuluh KB, dan petugas pendamping desa harus mampu menjadi tim tangguh hingga tengkes dapat segera tertangani serta mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat.