Jangan sepelekan gangguan pencernaan yang sering berulang. Hal itu bisa berujung pada kanker usus besar. Periksa ke layanan kesehatan dan terapkan pola makan yang sesuai.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Diare, nyeri perut, atau ada darah pada tinja sebaiknya tidak diremehkan. Apalagi jika sering kambuh. Bisa jadi itu gejala inflammatory bowel disease (IBD). Jika tidak diatasi dengan baik, hal itu bisa meningkatkan risiko kanker kolorektal atau kanker usus besar dan dubur.
Dalam diskusi daring terkait World IBD Day 2021, akhir pekan lalu, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Aziz Rani yang juga Ketua Yayasan Gastroenterologi Indonesia (YGI) menjelaskan, IBD adalah peradangan kronis saluran cerna akibat kerentanan genetik, pengaruh lingkungan (merokok, pola makan, obat-obatan, mikrobiota usus), peningkatan permeabilitas usus, serta respons imun.
Ada dua jenis gangguan pada IBD, yakni penyakit Crohn dan kolitis ulseratif. ”Kolitis ulseratif telah dikenal lebih dari 100 tahun lalu, tepatnya tahun 1859. Sedangkan penyakit Crohn diidentifikasi tahun 1932,” katanya.
Laman World IBD Day mencatat, penyakit ini diderita lebih dari 5 juta orang di seluruh dunia. Menurut Aziz, setiap tahun terjadi pertambahan kasus 6 per 100.000 penduduk di Asia, 19 per 100.000 penduduk di Amerika Utara, dan 24 per 100.000 penduduk di Eropa. Adapun insiden di Indonesia 0,88 per 100.000 penduduk per tahun.
IBD dapat menyebabkan kualitas hidup penderita menjadi buruk, angka kesakitan tinggi, dan tidak jarang menyebabkan komplikasi yang memerlukan perawatan serta prosedur bedah. ”Berdasarkan eksplorasi dari patogenesis penyakit, epidemiologi, dan target pengobatan baru, tujuan terapi kini bergeser dari mengontrol gejala ke arah upaya mengatasi penyakit sejak dini sehingga bisa mencegah kerusakan lambung dan terjadinya disabilitas,” ujar Aziz.
Intervensi dini hanya bisa tercapai jika ada kesadaran luas terkait IBD. Karena itu, para ahli penyakit dalam terkait gangguan pada sistem pencernaan mendirikan Yayasan Gastroenterologi Indonesia sebagai wadah melakukan edukasi ke masyarakat awam.
Menurut Marcellus Simadibrata, Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, di acara sama, penyakit Crohn bisa mengenai seluruh bagian saluran pencernaan, dari mulut hingga rektum (dubur). Paling sering terjadi di usus halus sebelum masuk ke usus besar.
Peradangan terjadi berselang-seling dengan daerah sehat. Luka akibat radang bisa menembus lapisan dinding usus dan merembet ke organ lain di dekatnya, seperti kandung kemih, vagina, ataupun bagian usus lain. Saluran akibat peradangan yang menembus ini disebut fistula. Komplikasi lain adalah penyempitan dan sumbatan usus, usus berlubang, dan bernanah. Pada penderita anak dan remaja, bisa terjadi hambatan pertumbuhan akibat malnutrisi atau kurang gizi.
Pada kolitis ulseratif, peradangan hanya dari rektum hingga usus besar. Peradangan juga terbatas pada dinding usus. Komplikasinya, megakolon toksik (pelebaran usus besar) dan pecahnya usus besar.
Selain gejala umum berupa diare, rasa lelah, nyeri perut, penurunan berat badan, gejala spesifik penyakit Crohn adalah demam, terhentinya pasokan darah ke usus (iskemia usus). Adapun gejala khusus kolitis ulseratif meliputi perdarahan pada dubur, nyeri atau kram perut, dan sering buang air besar dengan rasa tidak nyaman.
Sering kali penyakit Crohn ataupun kolitis ulseratif juga bermanifestasi di luar saluran cerna, seperti nyeri otot dan sendi, gangguan kulit, kurang gizi, batu empedu, radang saluran empedu, kanker saluran empedu, radang hati, infeksi mata, dan batu ginjal.
”Penyakit ini menyebabkan gangguan produktivitas, menyebabkan sering tak masuk kerja yang bisa berujung pada pemecatan atau tak masuk sekolah, menimbulkan disabilitas, menurunkan kualitas hidup, menyebabkan kecemasan dan depresi, serta meningkatkan kematian,” ucap Marcellus.
Kematian umumnya akibat kanker kolorektal. Prevalensi kanker kolorektal terkait IBD di kawasan Asia Pasifik 0,3-1,8 persen.
Kematian umumnya akibat kanker kolorektal. Prevalensi kanker kolorektal terkait IBD di kawasan Asia Pasifik 0,3-1,8 persen.
Pengobatan IBD bersifat simtomatik (mengurangi gejala), dilanjutkan upaya penyembuhan mukosa (lapisan dinding saluran cerna) secara bertahap. Jenis obat, antara lain, golongan amino salisilat, antibiotik, kortikosteroid, penekan sistem imun (metotreksat, azatioprin, merkaptopurin, siklosporin), agen biologis (anti-TNF, anti-integrin, anti-interleukin, antibodi monoklonal), obat simtomatik (antidiare, antispasmodik). Penyembuhan akan makin maksimal jika penderita berolahraga 30 menit per hari, tidur cukup, mendapatkan psikoterapi, hipnoterapi, dan dukungan sosial.
Mengatur pola makan
Selain terapi obat, tak kalah penting adalah pengaturan pola makan. Dalam hal ini, pantangan makanan dan minuman untuk menghindari kekambuhan, sekaligus menjamin kecukupan gizi.
Menurut Marcellus, perlu dipenuhi kebutuhan protein 1,2-1,5 gram per kilogram berat badan per hari untuk orang dewasa. Juga pemberian probiotik, zat besi untuk mengatasi anemia, suplemen atau makanan kaya vitamin D3, dan kalsium.
Makanan yang harus dihindari jika mengidap IBD, demikian Medicinenet, 27 Agustus 2020, meliputi makanan berlemak yang digoreng, makanan pedas, daging, saus krim, makanan berserat tinggi, termasuk buah dan sayuran mentah, kacang-kacangan, biji-bijian, minuman berkafein, permen, soda, jus buah yang manis, serta alkohol. Membuat jurnal harian makanan untuk mencatat apa yang dimakan dan gejala yang mungkin dialami bisa membantu menghindari makanan penyebab kekambuhan.
Saat kambuh, dianjurkan mengonsumsi makanan yang netral dan lembut, seperti kentang tumbuk, nasi, mi, roti putih, sereal tawar, oatmeal, pisang, saus apel, daging unggas atau ikan tanpa lemak, dan telur.
Crohn’s & Colitis Foundation menyarankan penderita makan empat sampai enam porsi kecil setiap hari. Siapkan makanan yang bisa ditoleransi pencernaan dan gunakan teknik memasak sederhana, yakni rebus, panggang, atau kukus. Minum dalam jumlah cukup agar tidak mengalami dehidrasi. Boleh berupa air, kaldu, jus buah tanpa gula, atau larutan rehidrasi. Minum perlahan, hindari menggunakan sedotan yang menyebabkan Anda menelan udara sehingga kembung.
Jika diare dan nyeri perut mereda, mulai terapkan pola makan beragam dan kaya zat gizi. Lakukan secara perlahan. Konsultasikan dengan dokter atau ahli gizi sebelum membuat perubahan pada pola makan.
Makanan yang dapat membantu tetap sehat dan terhidrasi di antaranya kacang-kacangan, biji-bijian, daging tanpa lemak, ikan, telur, berbagai sayuran dan buah yang dikupas kulitnya, susu, dan makanan probiotik (yogurt, kimchi, miso, sauerkraut, dan tempe).
Mengingat penderita IBD mengalami ketidakseimbangan mikroba usus, yakni lebih banyak bakteri buruk yang menyebabkan peradangan, maka probiotik yang terdiri dari bakteri baik dan bersifat anti-peradangan sangat disarankan untuk dikonsumsi.