Kolitis ulseratif merusak dinding usus besar. Penyakit kronis yang belum ada obatnya ini perlu dijaga agar tidak kambuh. Komplikasinya bisa mengancam jiwa.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, Jumat (28/8/2020), mendadak mengundurkan diri karena alasan kesehatan. Ia telah lama menderita kolitis ulseratif. Dalam konferensi pers, Abe menyatakan, belakangan kondisi penyakitnya memburuk dan memerlukan penanganan serius.
Tahun 2007, setahun setelah pertama kali menjabat sebagai perdana menteri, Abe juga pernah mengundurkan diri akibat penyakit yang sama.
Menurut laman Mayo Clinic, kolitis ulseratif adalah salah satu jenis penyakit radang usus (IBD) yang menimbulkan radang kronis di saluran pencernaan. Pada kolitis ulseratif terjadi kerusakan pada dinding usus besar (kolon) dan rektum (bagian ujung usus besar yang berakhir di anus).
Kolitis ulseratif bisa membuat penderita tak berdaya. Bahkan, komplikasinya bisa mengancam jiwa. Belum ada obat untuk menyembuhkan penyakit ini. Namun, sejumlah obat dapat mengurangi gejala, bahkan menghindarkan kekambuhan dalam jangka panjang.
Gejala kolitis ulseratif bervariasi, mulai dari ringan hingga berat, tergantung beratnya peradangan. Gejala itu, antara lain, meliputi diare yang kadang bercampur darah atau nanah, demam, rasa letih, tidak nafsu makan, nyeri perut dan kram, atau nyeri rektum.
Laman Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris menyatakan, pada kasus berat, yakni demam, diare lebih dari enam kali sehari disertai darah, penderita akan merasa sesak napas dan jantung berdetak cepat atau tak beraturan.
Perlu dicatat, ada gangguan yang gejalanya mirip kolitis ulseratif, yakni sindrom iritasi usus besar (IBS). Gejalanya antara lain nyeri, kram perut, kembung, diare, atau sembelit. Kondisi ini juga bersifat kronis dan berulang.
IBS terjadi akibat gangguan kontraksi usus, tetapi tidak ada peradangan ataupun kerusakan jaringan pada saluran pencernaan. Gejala gangguan ini umumnya dipicu stres, makanan/minuman tertentu, seperti sayuran berserat atau kopi, serta perubahan hormonal, misalnya menstruasi.
Belum diketahui
Penyebab kolitis ulseratif belum diketahui. Semula diduga penyebabnya pola makan dan stres. Belakangan diketahui, hal itu bisa memperburuk gejala, tetapi bukan penyebab.
Salah satu kemungkinan penyebab adalah malfungsi sistem imun. Saat sistem imun melawan virus atau bakteri, respons imun yang menyimpang menyebabkan sistem imun juga menyerang sel-sel di saluran pencernaan.
Faktor risiko penyakit ini, di antaranya, adalah usia. Umumnya orang terkena kolitis ulseratif pada usia remaja hingga 30-an tahun. Sebagian kecil baru timbul pada usia 50-60-an tahun.
Faktor genetik atau riwayat keluarga memengaruhi risiko kolitis ulseratif. Hal lain yang memicu kolitis ulseratif adalah obat antiradang nonsteroid, seperti ibuprofen, naproxen sodium, dan diclofenac sodium.
Komplikasi dari kolitis antara lain dehidrasi parah akibat diare, kanker usus besar, peradangan pada kulit, mata dan sendi, cholangitis (radang saluran empedu), penyumbatan pembuluh darah, pembengkakan usus besar, serta usus besar berlubang. Selain itu, efek samping obat, misalnya kortikosteroid bisa menimbulkan osteoporosis, tekanan darah tinggi, dan kondisi lain.
NHS memperkirakan, 1 dari 420 penduduk Inggris atau sekitar 146.000 orang menderita kolitis ulseratif.
Menurut data epidemiologi IBD, demikian Karina Sutanto menulis di Alomedika.com, secara global, insiden kolitis ulseratif berkisar 0,5-24,5 kasus per 100.000 orang per tahun. IBD lebih sering terjadi di Amerika Utara, Inggris, dan Skandinavia dibandingkan di Eropa selatan, Asia, dan Afrika.
Data epidemiologi di Indonesia masih sulit ditemukan. Hanya ada laporan dari sedikit rumah sakit.
Analisis survei dari rekam medis pasien RSUD dr Saiful Anwar, Malang, yang dilakukan Syifa Mustika dan Nanik Triana dari Divisi Gastroenterohepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya/RSUD dr Saiful Anwar mendapati, tahun 2010-2014, prevalensi kolitis ulseratif di RSUD dr Saiful Anwar adalah 8,2 persen. Adapun prevalensi penyakit itu dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada 1991-1995 adalah 2,5 persen.
Kolitis ulseratif didiagnosis melalui tes darah untuk mengecek adanya anemia atau infeksi serta pemeriksaan tinja untuk memeriksa ada tidaknya darah pada tinja. Pemeriksaan lain adalah dengan endoskopi (kolonoskopi, endoskopi saluran pencernaan bagian atas, sigmoidoskopi) ataupun prosedur pencitraan (sinar X, CT scan, MRI).
Hindari lemak dan serat
Pengobatan dilakukan untuk mengurangi peradangan dengan obat antiradang, obat penekan sistem imun, dan antibiotik. Selain itu, ada obat penghilang rasa sakit, antidiare, suplemen mineral (zat besi, kalsium), dan vitamin D.
Jika pengobatan tidak mengurangi gejala atau penyakit makin parah, langkah terakhir adalah tindakan operasi, yakni membuang seluruh usus besar dan rektum. Untuk membuang kotoran dibuat kantong dari ujung usus halus disambungkan ke anus. Cara lain, membuat lubang pada dinding perut sebagai jalan kotoran yang dikumpulkan dalam kantong.
Untuk mengurangi gejala dan menghindari kekambuhan, penderita perlu mengurangi konsumsi susu, lemak, gorengan, buah dan sayuran yang berserat, kacang-kacangan, serta jagung.
Untuk mengurangi gejala dan menghindari kekambuhan, penderita perlu mengurangi konsumsi susu, lemak, gorengan, buah dan sayuran yang berserat, kacang-kacangan, serta jagung. Makanan berbumbu tajam, pedas, kopi, alkohol, dan rokok juga sebaiknya dihindari.
Makan dalam jumlah kecil, banyak minum, mengonsumsi multivitamin, dan yang terpenting mengelola stres mampu menjaga saluran pencernaan agar tetap sehat.