Ritme hidup berubah drastis akibat pandemi yang memicu kelelahan mental mendalam. Saling dukung menjadi upaya agar situasi ini dilalui dengan jiwa yang tak terlalu terluka.
Oleh
M Zaid Wahyudi/Ester Lince Napitupulu/Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
Jika tidak ada dukungan keluarga, Bedu (22), mahasiswa semester VIII salah satu universitas swasta di Bandar Lampung, Lampung, mungkin sudah tidak ada di dunia. Renteten pengalaman pahit selama pandemi membuat dia lari pada obat-obatan yang nyaris merenggut nyawanya.
Sebelum pandemi, Bedu aktif berkegiatan di dalam ataupun luar kampus. Pandemi membuatnya tiba-tiba harus berdiam diri di rumah. Di tengah beban itu, ayahnya meninggal.
Saat sedih belum sirna, ia diskors kampus karena ikut lomba inovasi yang digelar partai politik tanpa izin kampus. Sanksi itu membuat kuliahnya mundur satu semester dan kehilangan kesempatan wisuda bersama teman seangkatan serta beasiswa untuknya terancam dicabut.
Di tengah pilu yang mendera, beredar isu ia dikeluarkan dari kampus. Ia pun berusaha keras menyembunyikan desas-desus itu dari ibu dan keluarganya. ”Aku merasa jadi beban ibu. Semua target yang kususun berantakan. Niat baik yang kulakukan justru berbuah skors dari kampus,” katanya, Sabtu (10/4/2021).
Situasi itu membuatnya mengurung di kamar hampir satu bulan. Di tengah rasa sedih dan putus asa, ia menenggak obat-obatan hingga tak sadarkan diri. Beruntung, sang ibu yang menemukannya tergeletak di kamar langsung membawanya ke puskesmas.
Setelah kejadian itu, ibu Bedu pun mendampingi dan mendukung anaknya. Kasih sayang ibu membuat Bedu yakin, semua masalah ada jalan keluarnya. ”Kini, aku sudah bisa menerima keadaan dan berusaha bangkit,” katanya.
Dukungan menghadapi beban mental pandemi tak hanya bisa diberikan oleh keluarga, tetapi juga komunitas. Beberapa kelompok bergerak saling menjaga sesama sesuai kemampuan mereka masing-masing.
Selama pandemi, Sofyan (24), penjual polis asuransi di Kota Bekasi, Jawa Barat, stres. Performa kerjanya turun akibat sulit bertemu klien. Upah dan bonus yang diterima pun terjun hingga memengaruhi kondisi finansialnya.
Pandemi membuat orang makin sadar akan kesehatan mentalnya dan berusaha mengatasi persoalan yang dihadapinya.
”Belum lagi, saya hidup di keluarga besar yang kebutuhannya juga besar. Padahal, omzet usaha keluarga juga lagi turun,” kata Sofyan, Jumat (9/4/2021).
Untuk melepas stres, ia memilih bersepeda di akhir pekan dengan komunitas Gabungan Pesepeda Pondok Gede (GPPG), Bekasi. Bertemu dengan orang baru dan bersosialisasi dengan pesepeda lain membuatnya senang dan sejenak lupa dengan persoalan yang dihadapi.
Kegiatan GPPG tidak melulu soal bersepada. Mereka juga punya ”agenda tersembunyi” guna meramaikan usaha anggotanya. Beberapa kali, mereka ngopi dan makan bareng di warung anggota komunitas demi mengeratkan hubungan dan menolong usaha mereka yang terimbas pandemi.
Alhasil, lanjut Ketua GPPG Riki (31), kegiatan komunitas yang semula fokus pada olahraga berkembang menjadi kelompok sosial yang ingin menyehatkan anggotanya, jasmani, dan rohani. ”GPPG jadi wadah gotong royong, berbagi info kerja, promosi usaha, dan melariskan dagangan anggota,” ujarnya.
Kalangan profesional pun tak tinggal diam. Beratnya situasi mental yang dihadapi masyarakat justru mendorong berkembangnya kelompok dukungan sebaya dan telekonseling. Sarana ini bisa menjadi solusi buruknya akses kesehatan mental selama ini.
Ira Ramawati, dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, bersama dosen lain mengembangkan layanan konseling daring melalui situs sobatmu.com. Platform ini bisa menjadi solusi banyak anak muda yang sulit berbagai cerita atau memendam masalah sendiri.
”Banyak anak muda takut dihakimi, dimarahi, dan dianggap lemah jika bercerita kepada orangtua. Bercerita ke teman juga bingung karena tidak yakin ada solusi,” katanya. Situasi itu membuat performa kuliah mereka turun.
Melalui surat elektronik dan media sosial, anak muda bisa bercerita apa saja. Sebelum pandemi, rata-rata hanya empat orang yang berkirim cerita ke sobatmu.com per hari. Kini, jumlahnya bisa mencapai 10-15 orang berhari.
Di luar kampus, dukungan itu juga dibangun komunitas Sehat Jiwa Bahagia. Usaha sosial ini menyediakan layanan dukungan sosial, pemanduan (coaching), dan konseling dengan biaya relatif terjangkau. Jalur daring yang dipilih membuat pengakses layanan ini cukup luas meski masih terkonsentrasi di Jawa akibat terbatasnya jaringan internet.
”Kami ingin mengedukasi masyarakat agar lebih sadar akan kesehatan jiwa, bukan fokus soal gangguan yang mereka hadapi, melainkan bagaimana mereka bisa bangkit dan mencari solusi atas setiap masalah yang dihadapi,” kata Manajer Proyek Psikologi Sehat Jiwa Bahagia Syifa Khairunnisa.
Terbatasnya layanan kesehatan jiwa membuat kebutuhan akan dukungan kelompok dan telekonseling sangat tinggi sejak sebelum pandemi. Namun, pandemi membuat orang makin sadar akan kesehatan mentalnya dan berusaha mengatasi persoalan yang dihadapinya.
Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan jiwa, khususnya anak muda, menjadi pendorong makin membaiknya pemahaman masyarakat akan pentingnya masalah kesehatan jiwa. Karena bagaimanapun, kata Syifa, kesehatan mental individu akan berdampak pada kesehatan mental komunitas dan sebaliknya. (ELN/SKA/MZW).