Risiko penularan, mutasi virus, dan dampak Covid-19 bagi sanak saudara yang dikunjungi perlu dipahami dengan baik untuk meminalisir masyarakat yang nekat mudik.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Larangan mudik yang ditetapkan pemerintah perlu diiringi dengan edukasi yang masif. Kesadaran dan pemahaman masyarakat perlu ditingkatkan terkait risiko mudik. Harapannya, potensi masyarakat yang masih nekat untuk mudik bisa diminimalisir.
Tim Pakar Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang juga ahli biostatistik dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Iwan Ariawan, di Jakarta, Selasa (6/4/2021), menyampaikan, peningkatan mobilitas ataupun pergerakan masyarakat berkaitan erat dengan peningkatan kasus penularan Covid-19. Hal ini tampak dari libur panjang yang terjadi selama setahun pandemi berlangsung.
”Libur panjang memicu orang untuk bergerak. Pergerakan inilah yang kemudian berisiko meningkatkan kasus penularan Covid-19. Hal ini semakin mengkhawatirkan karena saat ini sudah ditemukan varian baru dari mutasi virus penyebab Covid-19 yang terbukti lebih cepat menular,” katanya.
Antisipasi ini penting karena diperkirakan masih ada 11 persen atau sekitar 27 juta orang yang berkeras mudik.
Menurut Iwan, kesadaran masyarakat akan bahaya dan dampak dari mudik perlu dibangun dan diperkuat. Larangan yang telah diberlakukan pemerintah perlu diiringi dengan edukasi untuk meningkatkan pemahaman tersebut. Vaksinasi yang sudah dilakukan pada sebagian masyarakat juga masih berisiko menimbulkan penularan jika tidak disertai dengan protokol kesehatan yang ketat.
Sejumlah negara di dunia saat ini dilaporkan mengalami peningkatan kasus Covid-19. Hal ini terjadi karena pergerakan masyarakat mulai meningkat serta masifnya penyebaran varian baru dari virus SARS-CoV-2 yang menjadi penyebab Covid-19, yakni varian B117. Varian ini juga sudah ditemukan bertransmisi di Indonesia.
”Komunikasi harus terus-menerus dilakukan agar masyarakat tahu apa risiko jika tetap nekat untuk mudik. Dengan tingkat penularan yang masih tinggi, terutama di Jabodetabek, akan berisiko meningkatkan penularan di tempat tujuan mudik, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Selain itu, kelompok rentan, seperti lansia, juga yang biasanya menjadi tujuan dari orang mudik,” papar Iwan.
Ia pun mengimbau agar pengendalian penularan Covid-19 harus diutamakan dari upaya pemulihan ekonomi. Upaya pengendalian yang mengendur justru semakin memperlama pemulihan ekonomi.
Staf Khusus Menteri Perhubungan Adita Irawati menuturkan, pemerintah tengah meyusun aturan terkait konsekuensi dari masyarakat yang masih mudik. Larangan yang sudah diatur oleh pemerintah nantinya akan disertai dengan konsekuensi tertentu, baik berbasis hukum ataupun sanksi tertentu.
Larangan mudik ini juga akan diperkuat dengan pengawasan di lapangan. Pengawasan tidak hanya dilakukan pada transportasi umum, seperti pesawat, bus, dan kereta api, tetapi juga pengawasan pada kendaraan pribadi.
”Pengawasan untuk kendaraan pribadi memang tidak mudah karena jumlahnya sangat besar. Namun, kami berupaya semaksimal mungkin untuk bisa mencegah dan mengantisipasi adanya pelanggaran. Antisipasi ini penting karena diperkirakan masih ada 11 persen atau sekitar 27 juta orang yang berkeras mudik,” tutur Adita.
Ia berharap sosialisasi yang berjalan sejak jauh hari dapat menekan tingginya mobilitas masyarakat selama masa mudik. Koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan yang dinilai dapat dipercaya masyarakat juga terus dilakukan, antara lain dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tenaga kesehatan.
”Jangan sampai mobilitas yang tinggi karena mudik justru membuat penanganan pandemi menjadi tidak terkendali. Pemerintah sudah memutuskan untuk kembali memulai sekolah tatap muka. Jika kasus tidak terkendali, rencana tersebut sangat mungkin untuk kembali ditunda,” kata Adita.
Satuan Tugas Penangan Covid-19 pada 6 April 2021 melaporkan terjadi penambahan kasus baru penularan Covid-19 di Indonesia sebanyak 4.549 kasus dengan 162 kematian. Dengan penambahan ini, total kasus yang tercatat secara nasional menjadi 1,5 juta kasus dengan kematian sebanyak 41.977 orang.