Epidemi Varian Baru SARS-CoV-2 di Tengah Pandemi
Mutasi SARS-CoV-2 yang bervariasi membawa babak baru persoalan pandemi di sejumlah negara. Adaptasi virus penyebab Covid-19 itu menjadi epidemi yang kian memperpanjang dan menyusahkan penanganan pandemi.
Mutasi SARS-CoV-2 yang semakin bervariasi dan adaptif telah menjadi epidemi di tengah pandemi. Berbagai varian baru itu berperan di balik melonjaknya kembali wabah Covid-19 di tengah vaksinasi. Indonesia jangan sampai terlena dengan kasus yang seolah menurun karena pemeriksaan dan pelacakan yang belum memadai.
Data yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, peningkatan terbesar kasus Covid-19 di Amerika, Eropa, dan Timur Tengah, wilayah yang menyumbang 80 persen dari kasus di dunia minggu lalu. India, yang sebelumnya mulai melandai, menjadi penyumbang kenaikan kasus terbesar di Asia.
Kini, secara global ada sekitar 3,28 juta kasus baru dan lebih dari 60.000 kematian selama seminggu terakhir. Jumlah kasus ini mencerminkan kenaikan selama empat minggu berturut-turut. Angka kematian meningkat 3 persen dari minggu sebelumnya, menjadi peningkatan pertama dalam empat minggu.
Secara keseluruhan, WHO melaporkan 126,3 juta kasus dan lebih dari 2,7 juta kematian akibat Covid-19 hingga Senin (29/3/2021). Sementara hingga pekan lalu, jumlah vaksin Covid-19 yang telah disuntikkan mencapai 462,8 juta dosis.
Di wilayah Amerika, negara-negara seperti Brasil, Peru, Paraguay, dan Chile saat ini menghadapi tantangan terbesar. Brasil memiliki jumlah kasus terkonfirmasi tertinggi kedua setelah AS dan menghadapi penularan di sebagian besar negara ini. Keberadaan varian P.1 yang lebih menular dan bisa menghindari antibodi serta memicu infeksi ulang berada di balik ledakan kasus baru.
Baca juga: Tak Bisa Lengah Setelah Vaksinasi
Epidemiolog dan ahli kesehatan global dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan, kemunculan beragam varian baru SARS-CoV-2 telah menjadi epidemi baru di dalam pandemi Covid-19. Ini karena, selain lebih menular dan bisa meningkatkan keparahan, sejumlah varian baru bisa memicu terjadi infeksi ulang hingga menyiasati antibodi yang dipicu vaksin.
”Varian-varian baru ini terutama akan muncul di negara-ngara yang kasusnya besar. Keberadaan varian baru ini seperti wabah baru di tengah pandemi. Jika sebelumnya tingkat infeksinya mungkin mendekati herd immunity, sekarang seperti mengulang dari awal karena orang yang pernah terinfeksi bisa terinfeksi ulang dengan varian baru,” kata Dicky.
Di Eropa, varian B.1.1.7 yang awalnya ditemukan di Inggris dianggap bertanggung jawab atas lonjakan saat ini. Beberapa negara, seperti Perancis, Jerman, Italia, dan Belanda, memutuskan memperpanjang atau menerapkan kembali penutupan bisnis dan pembatasan mobilitas. Kenaikan tersebut juga menyebabkan negara-negara Eropa membatasi ekspor vaksin di luar Uni Eropa.
Inggris yang memiliki cakupan vaksin Covid-19 sangat tinggi, juga tak bisa menghindari kenaikan kasus dan kematian walaupun tidak separah negara Eropa lain. Data yang dilaporkan Our World in Data menyebutkan, hingga 27 Maret 2021, cakupan vaksinasi di Inggris mencapai 49,6 per 100 penduduk, jauh lebih tinggi dari rata-rata global 6,9 per 100 penduduk atau jika dibandingkan dengan Indonesia yang baru 3,8 per 100 penduduk.
Pertumbuhan di Mediterania Timur juga terkait erat dengan varian B.1.1.7, dengan situasi paling serius terjadi di Jordania, Irak, Kuwait, Libya, dan Wilayah Palestina. Bahkan, Uni Arab Emirat yang telah memberikan vaksin kepada 81,7 per 100 penduduknya masih mengalami kenaikan kasus walaupun tidak sebesar tetangganya.
Adapun di India, setelah puncak kasus pada September 2020 selama lima bulan berturut-turut akhirnya mengalami penurunan kasus. Tes dan pelacakan kasus yang masif berkontribusi menurunkan kasus hingga di titik sekitar 10.000 kasus per hari.
Pemberian vaksinasi seiring penurunan kasus membuat mereka melonggarkan pembatasan sejak awal Februari 2021. Komuter yang padat kembali dibuka dan pesta-pesta digelar kembali. Hingga saat ini, sekitar 4,3 per 100 penduduk di India telah divaksin.
Populasi Indonesia yang kebanyakan masih muda usia turut mengurangi jumlah kasus keparahan, tetapi tidak menekan kasus penularan.
Akan tetapi, India terlalu cepat berpuas diri. Hanya sebulan setelah pelonggaran itu, memasuki Maret 2021, kasus Covid-19 kembali merangkat naik. Pada 28 Maret 2021, penambahan kasus harian di India mencapai lebih dari 68.000, mulai mendekati rekor tertinggi kasus harian sebesar 98.000 per hari.
”Kami terlalu cepat lengah,” kata ahli virologi Shahid Jameel, Direktur Sekolah Biosains Trivedi di Universitas Ashoka, seperti dilaporkan Science, 26 Maret 2021.
Mutasi, menurut Jameel, kemungkinan turut menyalakan kembali pandemi. Sekitar 736 dari lebih dari 10.000 sampel yang dikirim untuk pengurutan genom dalam beberapa bulan terakhir dinyatakan positif B.1.1.7.
Pekan lalu, Kementerian Kesehatan India juga merilis laporan baru yang mengungkapkan temuan varian Covid-19 ”mutan ganda” yang mulai menyebar ke seluruh negeri. Dua mutasi yang terjadi sekaligus dalam satu varian, yaitu L452R dan E484Q, dikhawatirkan membuat virus ini, selain lebih menular, juga bisa menyiasati antibodi.
Jangan lengah
Dengan tren global saat ini, menurut Dicky, Indonesia harus lebih meningkatkan kewaspadaan dan jangan dulu melonggarkan protokol kesehatan dan pembatasan sosial. Sekalipun vaksinasi sudah dijalankan, hal itu bukan jaminan wabah bisa terkendali. Apalagi, cakupan vaksinasi di Indonesia masih rendah.
”Dari negara-negara yang sudah menjalankan vaksinasi, hanya Israel dan Indonesia yang kasusnya menurun. Negara lainnya masih terus naik,” kata Dicky.
Israel sudah menyuntikkan 57,6 persen penduduknya dengan vaksin tahap pertama dan 52 persen penduduk sudah mendapatkan suntikan kedua. Jumlah ini termasuk yang paling tinggi di dunia. ”Israel rasio tes positifnya sudah di bawah 5 persen, menunjukkan tingkat penularan memang rendah dan cakupan tes yang dilakukan sudah memadai,” kata Dicky.
Sementara Indonesia, penurunan kasus di Indonesia, menurut dia, wajib diwaspadai karena terjadi seiring dengan penurunan pemeriksaan dan pelacakan. Selain itu, Indonesia masih bermasalah dengan pelaporan data kasus. ”Data di Indonesia sulit dianalisis karena jumlah tes dan lacak belum representatif,” katanya.
Baca juga: Mutasi E484K Terjadi Simultan, Termasuk di Indonesia
Selain faktor tes dan lacak yang kurang agresif, menurut Dicky, ada kecenderungan perilaku masyarakat di Indonesia untuk tidak ke rumah sakit jika sakitnya belum parah. Tanpa tes dan lacak, mereka yang tanpa gejala tidak akan pernah ditemukan, tetapi akan terus menularkan.
Populasi Indonesia yang kebanyakan masih muda usia turut mengurangi jumlah kasus keparahan, tetapi tidak menekan kasus penularan. Jika kemudian yang tertular adalah kelompok rentan, seperti lanjut usia atau yang punya komorbid, risiko keparahan dan kematiannya menjadi tinggi.
Tanpa upaya progresif untuk melakukan tes dan lacak, tingkat kesakitan dan kematian di luar rumah sakit akan tinggi. ”Jadi, banyak kasus yang underreported,” kata Dicky.
Kematian berlebih
Indikasi perilaku masyarakat saat ini yang menghindari rumah sakit juga ditemukan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam. ”Salah satu dampak pandemi membuat masyarakat takut datang ke rumah sakit. Akibatnya, mereka yang punya sakit kronis, misalnya, gangguan lambung akan mengobati dirinya sendiri,” katanya.
Ari mengatakan, dalam tiga minggu berturut-turut ditemukan kasus polip lambung dan hasil pemeriksaan biopsi menunjukan fundic gastric polyps. ”Hal ini merupakan indikasi pasien ini dilakukan endoskopi karena mengalami sakit mag yang bolak-balik kambuh dan tetap mengonsumsi obat penekan produksi asam lambung,” ujarnya.
Menurut Ari, gangguan lambung berhubungan erat dengan stres. Pandemi ini untuk sebagian orang sungguh menakutkan sehingga mereka bisa bertahan untuk menahan sakitnya atau mengobati dirinya sendiri karena takut berobat ke dokter atau rumah sakit.
Memang, untuk kasus-kasus sakit lambung, jika kita kebetulan sedang kambuh, penggunaan obat penekan asam lambung, misalnya obat penghambat pompa proton, bisa mengurangi keluhan, bahkan menghilangkan keluhan. Namun, pasien yang mengonsumsi obat ini secara terus-menerus tanpa aturan dari dokter justru bisa memicu dampak samping berbahaya.
Baca juga: Dunia Berlomba dengan Mutasi Baru SARS-CoV-2
Upaya menghindari rumah sakit ini, selain akan memperumit penanganan Covid-19, jelas berisiko meningkatkan keparahan dan kematian karena berbagai penyakit lain. Pada akhirnya, jumlah kasus dan angka kematian karena Covid-19 mungkin terlihat kecil.
Akan tetapi, tingkat kematian berlebih (excess death) akan terus membesar. Kematian berlebih ini metode untuk menghitung tingkat kematian di suatu daerah selama pandemi dibandingkan dengan kematian pada tahun-tahun sebelumnya.
Sebagai gambaran, hasil penelitian Iqbal Elyazar dari Eijkman Oxford Clinical Research Unit (EOCRU) bersama tim Lapor Covid-19 dan The Conversation Indonesia menunjukkan, selama 10 bulan pertama tahun 2020 terdapat 16.118 atau 61 persen kematian berlebih di Jakarta jika dibandingkan dengan jumlah orang yang meninggal pada periode yang sama dalam lima tahun sebelumnya. Kematian berlebih ini bisa karena Covid-19 ataupun kematian karena berbagai penyebab lain yang tak tertangani, baik karena rumah sakit yang penuh maupun masyarakat yang enggan ke rumah sakit.
Tanpa penelitian dan jika hanya mengandalkan laporan resmi pemerintah, angka excess death ini memang tak akan terungkap. Namun, selama pandemi ini tak terkendali, kita akan terus mendapati berita kematian demi kematian yang bisa jadi semakin mendekati lingkaran hidup kita.