Stigmatisasi Membebani Pemulihan pada Orang dengan Bipolar
Stigmatisasi kepada orang dengan gangguan bipolar menjadi masalah yang terus berlangsung dan belum tuntas. Sudah saatnya memperluas pemahaman publik bahwa gangguan bipolar bukan berarti orang tidak dapat produktif.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
Stigmatisasi dari publik menjadi penghambat bagi orang dengan bipolar mengatasi gangguan pada kesehatan mentalnya. Pada Hari Bipolar Sedunia yang diperingati setiap 30 Maret, publik perlu kembali diingatkan pentingnya memahami gangguan pada kesehatan mental ini.
Sejumlah orang dengan gangguan bipolar ini mengalami pahitnya terkena stigma dari publik saat berusaha memulihkan diri.
Tara Audina (26), yang mulai merasakan gangguan kesehatan mental pada dirinya saat ia duduk di bangku kuliah, ini contohnya, sempat menyangkal bahwa dirinya mengalami hal tersebut. Dia pun tidak pernah bercerita kepada keluarga dan teman-teman tentang apa yang dia rasakan.
Hingga pada 2013, dia baru memberanikan diri untuk berkonsultasi dengan psikiater. Saat mengetahui kondisi itu pun, dia terus menyembunyikan statusnya sebagai orang dengan bipolar terhadap orang tua dan teman lantaran takut terkena stigma.
“Butuh waktu lima tahun, hingga akhirnya pada 2018 saya baru berani terbuka dengan status saya (bipolar), meski di saat itu tidak semua orang bisa menerima (gangguan mental yang dialami),” tutur Tara, Selasa (30/3/2021).
“Butuh waktu lima tahun, hingga akhirnya pada 2018 saya baru berani terbuka dengan status saya (bipolar), meski di saat itu tidak semua orang bisa menerima (gangguan mental yang dialami),” tutur Tara.
Orang dengan bipolar atau ODB mengalami gangguan pada alam perasaan yang menyebabkan episode tertentu timbul menjadi suasana hati depresi atau sebaliknya, suasana hati mania atau hipomania. Dalam kondisi tertentu, episode mania dan depresi terjadi pada satu periode waktu tertentu dan perubahan suasana hati amat cepat.
Pada episode mania, seseorang dengan gangguan bipolar merasa hebat, hiperaktif, berbicara cepat, banyak ide, hingga merasa tidak butuh tidur. Sebaliknya, saat depresi, ia pesimistis, aktivitas menurun, menarik diri, tidak nafsu makan, dan dunia serasa mau runtuh (Kompas, 31/3/2017).
Menurut data dari Bipolar Care Indonesia (BCI), sebanyak 2 persen populasi di Indonesia yang setara dengan hampir 73.000 orang mengalami gangguan bipolar. Dengan jumlah itu, pembahasan terkait gangguan kesehatan mental kian penting dibahas dan tidak lagi dianggap tabu.
Seiring waktu, Tara menemukan penyaluran dirinya pada dunia penulisan. Dia yang dulu kerap alami kecemasan, kini lebih percaya diri serta mendapat banyak dukungan dari teman baru. Ia kini berusaha konsisten menerbitkan buku dan menjadi penulis.
"Dulu saya sangat khawatir dianggap aneh, bahkan dikucilkan. Seiring waktu, saya tidak terlalu mempedulikan orang yang menstigma itu, karena mereka tidak berkontribusi apa-apa dalam hidup saya. Saya sekarang fokus dengan orang yang mendukung saya," ujar perempuan yang kini berdomisili di Jakarta ini.
Tiara (27), ODB asal Depok, Jawa Barat, ini juga mengalami hal serupa. Pada 2018, dia mendapat diagnosa depresi berat dari psikiater. Pada 2019, dia menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo.
Pada masa awal pengobatan, sejumlah teman justru menakuti dengan kekhawatiran akan kecanduan obat dan sebagainya. "Ada yang bilang, duh, mendingan berhenti "berobat" deh, perbanyak ibadah saja. Seiring waktu saya tetap menjalani pengobatan (dari psikiater), mereka enggak komentar lagi karena pemulihan saya cukup signifikan," jelasnya.
Pada masa itu, Tiara justru banyak terbantu dengan dukungan orang tua. "Yang jelas, ibu saya punya kesadaran kalau saya enggak bisa sembuh sendiri dan harus ke dokter untuk dibantu," tambahnya.
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) DKI Jakarta Nova Riyanti Yusuf, Senin (30/3/2021), menuturkan, ada berbagai macam stigma yang membuat ODB dianggap tidak dapat produktif dan berkarya di masyarakat. Padahal, mereka juga punya sisi kreativitas, tetapi terkendala karena sejumlah manifestasi klinis.
Oleh karena itu, menurutnya, ODB membutuhkan pengertian dan dukungan dari orang sekitar. "Selama ini, publik salah mengerti para ODB. Pemahaman ini membuat para ODB terus-menerus distigma oleh publik," ujar Nova yang akrab disapa Noriyu.
Dalam momentum Hari Bipolar Sedunia yang diperingati tiap 30 Maret ini, Noriyu mengingatkan, pentingnya pemahaman publik terhadap masalah gangguan kesehatan mental. Sebab, persoalan kesehatan mental ini belakangan kian melanda generasi yang lebih muda.
Noriyu merujuk studi American Psychology Association (APA) yang dipublikasi pada Januari 2019 berkaitan tentang stres pada kalangan generasi Z. Survei yang melibatkan sekitar 3.700 orang muda dengan rentang usia 15-21 tahun di Amerika Serikat menunjukkan mereka punya kegelisahan yang memicu depresi. Sebagian besar pemicu itu adalah masalah finansial.
Noriyu mencemaskan hal serupa juga terjadi pada orang muda di Indonesia, tetapi tertahan karena adanya stigmatisasi dari publik. Kondisi tersebut pun turut membuat orang dengan gangguan kesehatan mental menjadi sulit terdeteksi.
"Kami (PDSKJI) berupaya memperluas pemahaman publik tentang ODB ataupun orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) lainnya, bahwa mereka juga bisa sehat dan tetap produktif. Bukan hanya fokus pada gangguan yang mereka alami. Kalau pemahaman publik meluas, kan, enggak akan ada stigma bagi mereka," jelasnya.
Diungkapkan pula oleh Audina dan Tiara, agar orang muda tidak perlu lagi malu untuk berkonsultasi dengan ahli kesehatan jiwa apabila merasakan ciri gangguan kesehatan mental. Dengan cara berkonsultasi, menurut mereka, seseorang dapat mengetahui kondisi diri sebenarnya secara klinis.