Situasi pandemi Covid-19 bisa memicu gangguan jiwa. di masyarakat. Beban kerja tinggi, khawatir tertular, dan stigma yang dialami membuat tenaga kesehatan rentan mengalami gangguan kesehatan tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Pepatah “Men Sana in Corpore Sano” mengartikan bahwa di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Tanpa jiwa yang kuat, kesehatan fisik menjadi rentan terganggu. Namun sayang, kesehatan jiwa terkadang tidak menjadi perhatian yang utama.
Tidak sedikit orang yang mengesampingkan kebutuhan serta keutuhan jiwanya. Di masa pandemi Covid-19, kerapuhan jiwa cukup banyak ditemui pada setiap individu di masyarakat. Tekanan ekonomi, stigma ketika tertular penyakit ini, serta banyaknya target yang tidak tercapai bisa menjadi penyebabnya,
Hal ini pula yang berisiko dialami oleh tenaga kesehatan. Sebagai sosok yang mau tidak mau berhadapan langsung dengan virus yang mudah menginfeksi, rasa cemas sering dialami. Belum lagi, pandemi Covid-19 yang terus berlarut tanpa tahu kepastian usainya.
Hal itu disampaikan Adhi Wibowo, psikiater dari Rumah Sakit Jiwa Dr Soeharto Heerdjan. Menurut dia, tenaga kesehatan merupakan profesi paling rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa akibat pandemi. Ketidakpastian terkait penyakit ini pada awal pandemi menjadi salah satu pemicu timbulnya kecemasan,
Tenaga kesehatan masih menerka-nerka apa itu penyakit ini juga bagaimana cara penularan. Padahal, jika tidak tahu cara penularan, upaya pencegahan dan penanganan menjadi sulit dilakukan. Sementara tenaga kesehatan harus bersentuhan langsung dengan pasien yang terinfeksi.
“Tekanan jiwa lain yang juga terjadi selama masa pandemi adalah terbatasnya interaksi tenaga kesehatan dengan anggota keluarga mereka. Bahkan, ketika sedang bertugas untuk menangani pasien Covid-19, tenaga kesehatan bisa satu sampai dua minggu tidak bertemu dengan keluarga karena khawatir dapat menularakan penyakit,” kata Adhi.
Hal lain yang juga dapat memicu terjadinya kerapuhan jiwa ketika harus kehilangan rekan sejawat serta guru-guru yang meninggal karena tertular penyakit yang disebabkan virus korona baru ini. Jumlah tenaga kesehatan yang harus berpulang karena Covid-19 tidak sedikit. Setidaknya 342 tenaga kesehatan dan medis meninggal meliputi 192 dokter, 14 dokter gigi, dan 136 perawat.
Mengalami stigma
Belum lagi masih adanya stigma bagi tenaga kesehatan. “Bahkan saya sendiri mengalami stigma dari keluarga saya. Ibu saya pun masih ragu bertemu saya karena takut saya membawa virus. Saya sempat dinyatakan positif Covid-19, namun saat ini saya pun rutin menjalani tes swab,” kata Adhi.
Kondisi terkait stigma itu diperkuat dengan data dari hasi survei Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan yang dilakukan pada 30 April 2020 selama 30 hari. Disebutkan, ada 21,7 persen dari 277 tenaga kesehatan yang disurvei merasa dijauhi oleh keluarga dan teman karena bekerja di rumah sakit rujukan.
Kondisi itu mengakibatkan tenaga kesehatan mudah cemas dan khawatir. Dari survei yang sama ditemukan, sebanyak 67,9 persen tenaga kesehatan merasa dirinya membahayakan keluarga. Sebanyak 28,2 persen menyatakan mendapatkan stigma dari masyarakat. Hal ini membuat kondiri kecemasan mereka menjadi semakin buruk.
Psikiater dari Divisi Psikiatri Komunitas, Rehabilitas, dan Trauma Psikososial Departemen Psikiatri Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (RSCM-FKUI) Gina Anindyajati menuturkan, beban kerja tinggi selama masa pandemi juga dapat memicu gangguan jiwa pada tenaga kesehatan. Pandemi yang terus berlarut dengan kasus yang terus meningkat menambah beban kerja serta beban psikis yang dialami.
Dari hasil riset yang dilakukan tim dari Program Magister Kedokteran Kerja FKUI menemukan sebanyak 82 persen dari 1.197 responden mengalami kelelahan dengan tingkat sedang serta 17 persen mengalami kelelahan tingkat rendah dan 1 persen lainnya masuk tingkat berat. Kelelahan atau burnout yang dialami tenaga kesehatan ini termasuk dalam sindrom psikologis karena adanya tekanan kronik yang berlangsung dalam jangka waktu panjang.
Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Dari survei global yang dilakukan Lucia A Morgantini dan kawan-kawan dari University of Ollinois di Chicago, Amerika Serikat, pada 2020 menemukan 51,4 persen respoden tenaga kesehatan di 33 negara mengalami kelelahan secara emosional terkait pekerjaan mereka selama masa pandemi Covid-19.
Beban kerja tinggi selama masa pandemi juga dapat memicu gangguan jiwa pada tenaga kesehatan.
Menurut Gina, persoalan kelelahan pada tenaga kesehatan ini perlu diantisipasi dengan baik. Jika kondisi ini tidak disadari dan tidak segera mendapatkan penanganan, kejiwaan dari tenaga kesehatan bisa berpengaruh. Akibatnya, kinerja yang dilakukan akan menurun serta akan sulit mengambil keputusan dalam tindakan.
“Hal pertama yang perlu dilakukan yakni memastikan jam kerja tenaga kesehatan tak berlebihan. Waktu istirahat perlu diperhatikan serta kebutuhan nutrisi yang diperlukan. Selain itu, kehadiran rekan kerja yang bisa menjadi sosok untuk bercerita dibutuhkan. Jika perlu, secara sistematis dibentuk kelompok pendukung sebaya yang membantu mengelola stres,” ujarnya.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam menambahkan, pengelola fasilitas kesesehatan pun bisa berperan untuk menyediakan layanan konsultasi serta memantau kesehatan jiwa dari tenaga kesehatan yang bertugas.
Jika selama ini dilakukan penapisan penularan Covid-19 dengan tes usap secara rutin, fasilitas kesehatan juga bisa menyediakan layanan penapisan gangguan kejiwaan secara rutin bagi tenaga kesehatan.
Peran Kementerian Kesehatan serta dinas kesehatan di setiap daerah juga amat penting untuk mengkoordinasi fasilitas kesehatan dalam pemenuhan layanan konsultasi kesehatan jiwa bagi tenaga kesehatan. Keterbatasan sumber daya dapat menjadi kendala pemenuhan layanan tersebut. Karena itu, koordinasi di satu wilayah menjadi penting agar layanan kesehatan jiwa bagi tenaga kesehatan tetap bisa diberikan.
“Pada prinsipnya, kecemasan, stres, dan depresi dapat memengaruhi daya tahan tubuh seseorang termasuk tenaga kesehatan. Daya tahan tubuh yang menurun bisa memicu kerentanan terhadap penularan penyakit. Karena itu, upaya menjaga kesehatan jiwa sekaligus untuk menjaga kesehatan fisik dari berbagai penyakit, termasuk Covid-19,” tutur Ari.