Mutasi E484K Terjadi Simultan, Termasuk di Indonesia
Mutasi E484K di Indonesia muncul dari mutasi lokal. Kombinasi varian B.1.1.7 yang lebih menular dan mematikan dengan E484K dalam menghindari kekebalan menjadikannya kian mengkhawatirkan.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mutasi E484K ditemukan secara simultan pada berbagai varian baru SARS-CoV-2 di sejumlah negara, termasuk di Indonesia. Mutasi ini merupakan bentuk adaptasi evolutif virus penyebab Covid-19 untuk menyiasati antibodi sehingga dikhawatirkan bisa menurunkan efektivitas vaksin.
”Mutasi E484K ini ditemukan pada varian-varian utama SARS-CoV-2 di dunia. Misalnya, tiga varian baru yang saat ini mendominasi, B.1.351 dari Afrika Selatan, P1 dari Brasil, dan sebagian B.1.1.7 dari Inggris, diketahui telah membawa mutasi E484K,” kata peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, di Jakarta, Senin (29/3/2021).
Varian baru SARS-CoV-2 biasanya ditandai dengan terjadinya sejumlah mutasi sehingga memengaruhi sifat atau karakter virus ini. Misalnya menjadikannya lebih menular, meningkatkan keparahan, atau bisa menyiasati antibodi. Menurut Riza, varian yang baru saja diidentifikasi, yaitu B.1.427/B.1.429 dari California, B.1.526 dari New York, P2 dari Brasil, P3 dari Filipina, dan B.1.525 dari Inggris, juga membawa mutasi E484K.
Kombinasi varian B.1.1.7 yang lebih menular dan mematikan dengan E484K dalam menghindari kekebalan menjadikannya semakin mengkhawatirkan.
”Hipotesis dari sejumlah ilmuwan dunia, mutasi E484K yang terjadi secara terpisah di sejumlah negara ini merupakan hasil dari evolusi SARS-CoV-2 dalam setahun terakhir. Mutasi ini menjadi perhatian karena sejumlah penelitian menunjukkan E484K menurunkan kemampuan netralisasi antibodi terhadap virus ini,” ujarnya.
Data hasil pengurutan genom utuh dari Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 pada Kementerian Riset dan Teknologi pada 28 Maret 2021 menunjukkan, telah ditemukan 731 mutasi D614G sejak April 2020, 37 mutasi 677H sejak April 2020, 143 mutasi N439K sejak November 2020, 8 mutasi N501Y sejak Januari 2021, dan 1 mutasi E484K sejak Februari 2021.
Data ini diperoleh dengan melakukan pemeriksaan terhadap 848 genom yang 815 di antaranya merupakan genom utuh dari SARS-CoV-2. Dari pemeriksaan ini juga menemukan tujuh varian baru B.1.1.7.
”E484K yang ditemukan di Indonesia ini muncul dari mutasi lokal di Indonesia sendiri,” kata Riza.
Menurut Riza, perkembangan mutasi SARS-CoV-2 memang semakin mengkhawatirkan karena varian baru yang muncul bisa mengombinasikan beberapa mutasi, seperti varian P3 di Filipin yang merupakan gabungan P1 yang diimpor dari Brasil dan mutasi yang terjadi lokal. Mutasi ganda juga sudah dilaporkan di India.
Sementara itu, laporan studi Ravindra Gupta dari Universitas Cambridge dan rekannya pada Februari 2021 telah mengonfirmasi bahwa varian B.1.1.7 plus E484K secara substansial meningkatkan jumlah antibodi serum yang diperlukan untuk mencegah infeksi sel. Kombinasi varian B.1.1.7 yang lebih menular dan mematikan dengan E484K dalam menghindari kekebalan menjadikannya semakin mengkhawatirkan.
Dengan telah terdeteksinya varian baru B.1.17 dan adanya mutasi E484K di Indonesia, menurut Riza, Indonesia harus meningkatkan pelaksanaan protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mengurangi mobilitas harus dijalankan guna mencegah penularan lebih lanjut. Mencegah penambahan kasus berarti juga mengurangi risiko terjadinya mutasi.
Kasus Covid-19
Laporan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 menyebutkan, jumlah kasus di Indonesia bertambah 5.008 sehingga total menjadi 1.501.093 orang. Korban jiwa bertambah 132 orang sehingga total menjadi 40.581 orang.
Jumlah kasus ini didapatkan dengan pemeriksaan menggunakan reverse-transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) sebanyak 22.748, tes cepat molekuler (TCM) 218 orang, dan tes cepat antigen 15.791 orang. Dengan data ini, jumlah rasio kasus positif harian 12,8 persen.
Epidemiolog Indonesia di Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan, jumlah pemeriksaan di Indonesia masih sangat kurang, terutama tes PRC yang justru semakin kurang. Selain itu, pelacakan kasus juga masih terbatas.
Oleh karena itu, menurut Dicky, penurunan kasus di Indonesia belum bisa jadi patokan bahwa wabah sudah terkendali. Karena itu, ia menyarankan agar jangan dulu melonggarkan pembatasan.
”Kalau pemeriksaannya sudah sangat tinggi dan rasio kasus positif di bawah 5 persen, kita baru bisa mengukur situasi sesungguhnya. Saat ini masih sulit diketahui karena tes dan lacak masih kurang,” ujarnya.
Dicky juga mengingatkan, kasus Covid-19 secara global juga cenderung naik sekalipun vaksinasi sudah diberikan. ”Dari semua negara yang sudah menyuntikkan vaksin, hanya Israel dan Indonesia yang kasusnya turun. Negara lainnya cenderung naik, termasuk Amerika, Eropa, dan India,” ujarnya.
Sejauh ini Indonesia baru memberikan vaksin dosis pertama kepada 7,3 juta penduduk dan suntikan kedua 3,3 juta penduduk. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan Israel yang sudah memberikan suntikan vaksin dosis kedua kepada 52 persen penduduknya. ”Saya khawatir penurunan kasus di Indonesia lebih karena tes terbatas dan masalah di pelaporannya,” kata Dicky.