Penting Segera Meningkatkan Surveilans Genomik Covid-19
Sistem surveilans sekuens genomik merupakan bagian amat penting dalam penanganan pandemi, apalagi virus SARS-CoV-2 akan terus bermutasi dan bukan tidak mungkin kejadian mutasi ini akan memengaruhi kebijakan negara.
Mutasi virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 kini jadi bahan pembicaraan utama, khususnya terkait dampaknya pada penularan, berat ringannya penyakit, dan juga efektivitas vaksin.
Pimpinan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 11 Januari 2021 menyatakan, masalah mutasi virus ini akan menjadi masalah besar (highly problematic) dalam penanganan Covid-19 di dunia.
Pada 2 Maret 2021, Direktur Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat menyatakan, kemajuan terkait Covid-19 di AS belakangan ini akan dapat terhapus dengan makin meluasnya mutasi ini.
Sudah diketahui bahwa mutasi memang menyebabkan penyakit menjadi lebih mudah menular, bahkan ada yang menyebutkan peningkatan penularan dapat sampai 30-70 persen.
Baca juga: Dampak Mutasi Virus Covid-19
Tentang dampak pada vaksin, para ahli sepakat bahwa kalau nanti mutasi terus berkepanjangan, produsen vaksin akan dapat memodifikasi vaksinnya sehingga efektivitasnya tetap terjaga.
Mutasi yang dikenal sejak Februari 2020 adalah bentuk D614G, yang kemudian tidak terlalu memengaruhi situasi epidemiologik. Namun, mutasi di Inggris dalam bentuk B 1.1.7 dan di Afrika Selatan, yaitu E484K, ternyata punya dampak lebih besar. Apalagi kemudian sudah dilaporkan bahwa orang dapat terinfeksi dua mutasi sekaligus.
Pada 1 Februari 2021, Inggris mengidentifikasi 11 sampel yang ada mutasi B.1.1.7 dan juga mutasi E484K sekaligus, sesudah menganalisis 214.159 sampel sekuens. Mutasi sekaligus B.1.1.7 dan E484K akan secara nyata meningkatkan jumlah antibodi yang diperlukan untuk menangani infeksi ini sehingga makin sulit untuk diatasi.
Tidak berlebihan kalau memang disebut bahwa mungkin kita dapat masuk dalam fase baru dari pandemi sekarang ini.
Hal lain yang juga perlu dapat perhatian adalah bahwa varian Afrika Selatan (apalagi kalau bersama dengan varian B.1.17) dapat membuat reinfeksi (infeksi ulangan) lebih mudah terjadi, pada orang yang tadinya sudah terinfeksi Covid-19 oleh virus yang belum bermutasi.
New York juga melaporkan mutasi jenis B.1526 yang meningkat jumlahnya sebanyak 12,3 persen dalam dua minggu sampai akhir Februari 2021.
Baca juga: Vaksinasi dan Ancaman Mutasi Virus
Yang kemudian lebih mengkhawatirkan lagi adalah adanya laporan mutasi ganda B.1.1.7 dari Inggris dan B.1.429 dari California pada pertengahan Februari 2021 ini. Kejadian itu disebut recombination yang kemudian membentuk versi hibrid yang amat bermutasi (heavily mutated hybrid version).
Dilaporkan bahwa mutasi berganda ini mungkin jadi penyebab kenaikan kasus di Los Angeles dan juga mengakibatkan keadaan kekebalan terhadap antibodi sehingga makin sulit ditangani. Tidak berlebihan kalau memang disebut bahwa mungkin kita dapat masuk dalam fase baru dari pandemi sekarang ini.
Untuk dapat mengantisipasi situasi ini, tentu harus selalu dilakukan kegiatan surveilans sekuens genomik yang terstruktur di suatu negara dengan sistem pengorganisasi yang baik.
Surveilans di sini maksudnya adalah pemeriksaan harus dilakukan secara terus-menerus, tidak hanya pada satu saat. Sekuens genomik artinya pemeriksaan yang lebih rinci tentang virus, tidak hanya positif atau negatif saja, tetapi juga akan menunjukkan apakah sudah ada perubahan-perubahan tertentu dalam virus dalam bentuk mutasi-mutasi tersebut.
Baca juga: Berpacu dengan Kecepatan Mutasi Virus SARS-CoV-2
Kita ketahui, pada 2 Maret 2021 Indonesia mulai melaporkan ditemukannya mutasi B 1.1.7 dan perlu mengantisipasi kemungkinan peningkatan penyebarannya serta juga mutasi jenis yang lain. Karena itu, peningkatan kegiatan surveilans genomik memang perlu dilakukan dan kajian di bawah mungkin bisa jadi salah satu pertimbangan.
Informasi yang diperoleh akan menjadi bahan penting pengambilan keputusan mengatasi pandemi di negara itu.
Skala nasional dan lokal
Negara tentu dapat melakukan surveilans genomik berskala nasional, seperti yang intensif dilakukan Inggris dalam ”Covid-19 Genomics Consortium (COG-UK)” yang kemudian menemukan mutasi N501Y dan kini dikenal dengan B.1.1.7.
Kegiatan COG-UK yang mulai diluncurkan di Inggris pada Maret 2020 ini bertujuan melakukan sekuensing virus SARS-CoV-2 (severe acute respiratory syndrome coronavirus 2) pada 230.000 pasien.
Baca juga: Menakar Keampuhan Vaksin Covid-19
Dengan informasi ini, maka akan dilakukan pelacakan pola penyebaran virus SARS-CoV-2 di Inggris, mendeteksi adanya mutasi dan mengintegrasikannya dengan data kesehatan sehingga didapat informasi lengkap tentang bagaimana genomik virus berinteraksi dengan kejadian Covid-19 di negara tersebut. Informasi yang diperoleh akan menjadi bahan penting pengambilan keputusan mengatasi pandemi di negara itu.
Surveilans dapat saja tidak berskala nasional, tetapi dapat juga dilakukan di suatu daerah tertentu. Pada Juni 2020, misalnya, Afrika Selatan meluncurkan Network for Genomic Surveillance yang pada pelaksanaannya hanya dapat 50-100 sampel dalam seminggu.
Walaupun jumlahnya terbatas, hasilnya ternyata jadi cukup penting karena menemukan varian baru 501Y.V2 yang kini luas dibicarakan. Jelasnya, walaupun dalam skala kecil, memang mungkin akan berguna dan untuk itu harus dilakukan secara terstruktur dan konsisten.
Data yang ada kemudian dikirim ke GISAID, organisasi nirlaba yang mengelola database genom virus. Ini perlu dilakukan agar para pakar dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk mengetahui penyebaran mutasi secara epidemiologik dan juga melakukan antisipasi pada terapi dan vaksin Covid-19, kalau sekiranya diperlukan.
Panduan WHO
Menurut panduan WHO edisi Februari 2021, secara umum semua spesimen yang PCR (+) dengan nilai cycle-threshold (Ct) ≤30 merupakan bahan yang tepat untuk dilakukan sekuensing genomik.
Kalau akan dilakukan pemeriksaan pada daerah tertentu dalam sistem sentinel, setidaknya empat hal harus diperhatikan. Pertama, perlu mencakup beberapa kelompok umur, misalnya nol sampai kurang dari dua tahun, dua sampai kurang dari lima tahun, lima sampai kurang dari 15 tahun, 15 sampai kurang dari 50 tahun, 50 sampai kurang dari 65 tahun, dan ≥65 tahun. Hal ini perlu dilakukan karena mungkin ada variasi mutasi pada kelompok umur tertentu.
Kedua, kegiatan perlu dilakukan di beberapa daerah tertentu di suatu negara sehingga sedikit banyak dapat menunjukkan situasi negara secara keseluruhan.
Baca juga: Vaksin dan Vaksinasi Covid-19
Ketiga, perlunya dilakukan pada beberapa waktu/bulan yang terpisah, tak hanya pada satu waktu tertentu, untuk melihat kemungkinan timbulnya pola mutasi pada waktu tertentu dalam satu tahun.
Keempat adalah sasaran mereka yang diprioritaskan untuk diperiksa sekuens genomik. Ini dapat berupa pasien yang punya gambaran klinik khusus dan atau kelompok tertentu seperti mereka yang sudah divaksin, kasus yang meninggal, mereka dengan gangguan sistem imun, pasien yang mendapat pengobatan terapi plasma atau antibodi monoklonal, dan kasus-kasus kambuh atau terinfeksi ulang Covid-19.
Untuk surveilans sentinel virus SARS-CoV-2, WHO merekomendasi bahwa idealnya dilakukan pemeriksaan 150 spesimen dalam seminggu. Juga dianjurkan agar negara dapat melakukan pemeriksaan sekuens genomik pada semua kasus Covid-19 dengan PCR positif dengan angka Ct ≤30.
Setidaknya, WHO menganjurkan bahwa negara-negara dapat melakukan minimal sekali 15 pemeriksaan sampel per minggu dari sistem surveilans sentinel nasional yang ada serta membagikan hasilnya ke database internasional yang ada sehingga dunia dapat memonitornya.
Pandemi Covid-19 masih bersama kita dan berbagai kemungkinan perkembangannya perlu diantisipasi secara mendalam. Kesiapan menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi harus merupakan bagian dari program penanggulangan nasional suatu negara.
Perlunya diberlakukan sistem surveilans sekuens genomik merupakan bagian yang amat penting, khususnya karena kita tahu bahwa virus SARS-CoV-2 akan terus bermutasi dan bukan tidak mungkin kejadian mutasi ini akan memengaruhi kebijakan negara di masa datang yang perlu disiapkan sejak awal.
Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI; Guru Besar FKUI; Mantan Direktur WHO SEARO; serta Mantan Dirjen P2P dan Kepala Balitbangkes