Disiplin dan Kesabaran untuk Mandirikan Anak
Gangguan kognitif dan masalah kesehatan pada anak dengan sindrom Down memberikan tantangan dalam pengasuhan. Agar bisa mandiri, anak harus dididik dengan disiplin dan kesabaran.
Orangtua harus disiplin dan tegar sehingga mampu mendisiplinkan anak dengan sindrom Down agar menjadi mandiri, di antaranya dengan melatih anak melakukan kegiatan sehari-hari, serta membuat jadwal rutin yang bisa diikuti sesuai kemampuan anak.
Aryanti Rosihan Yacub, pengurus dan penanggung jawab Center of Hope, pusat pelatihan Ikatan Sindroma Down Indonesia (ISDI), membuktikan lewat putra ketiganya, Michael Rosihan Yacub (31), yang lahir dengan sindrom Down.
Michael dengan IQ 35 menjadi satu-satunya pegolf di Asia dengan sindrom Down pada 2010. Ia menjadi juara lari jarak pendek pada Special Olympics World Games (SOWG) XI di Dublin, Irlandia, 2003. Kemudian juara renang di ajang olahraga tunagrahita pada 2014. ”Minggu depan, Michael akan ujian kenaikan karate, dari sabuk hijau ke sabuk biru,” tutur Aryanti.
Baca juga: Mengasihi Tiada Henti
Mendampingi anak sindrom Down bukan hal mudah. Frieda Handayani Kawanto dan Soedjatmiko dari Divisi Tumbuh Kembang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)-Departemen Ilmu Kesehatan Anak RS dr Ciptomangunkusumo, Jakarta, menulis di jurnal Sari Pediatri, Oktober 2007, anak dengan sindrom Down mengalami retardasi mental, mulai dari ringan (IQ 50-70) hingga sedang (IQ 35-49).
Meski jarang, ada juga retardasi mental berat (IQ 20- 34). Perlu intervensi dini dan pemantauan tumbuh kembang terus-menerus agar anak dengan sindrom Down memiliki kualitas hidup baik.
Ada anak yang perlu satu tahun dilatih untuk mampu naik turun tangga sendiri dengan membawa ransel atau menggunakan kalkulator, ada yang perlu lima tahun untuk mampu menulis namanya dan nomor telepon rumah.
Aryanti menuturkan, melatih hal sederhana pada anak sindrom Down perlu kesabaran. Di Center of Hope, ada anak yang perlu satu tahun dilatih untuk mampu naik turun tangga sendiri dengan membawa ransel atau menggunakan kalkulator, ada yang perlu lima tahun untuk mampu menulis namanya dan nomor telepon rumah.
Di Center of Hope yang berada di lantai 2 sebuah ruko di bilangan Sunter, Jakarta Utara, penyandang sindrom Down berusia belasan hingga 40 tahun dilatih melakukan kegiatan sehari-hari.
Mereka diajar berkomunikasi, mengurus kebutuhan sehari-hari seperti menghitung kebutuhan alat mandi, berbelanja sederhana, memasak, bahkan hal paling sederhana, seperti makan, minum, dan menyikat gigi sendiri.
Ada penyandang sindrom Down berusia 30-an tahun yang masih disuapi ibunya. ”Buang jauh rasa tidak tega demi membuat anak bisa mandiri. Orangtua tidak bisa selamanya mendampingi anak dengan sindrom Down,” katanya.
Selain mandiri, anak-anak didorong berprestasi dengan berbagai pilihan kegiatan seperti melukis, menari, main musik, olahraga, atau memasak. ”Saya pasang spanduk di dinding dengan foto anak yang jago masak atau prestasi lain secara bergantian. Jadi anak merasa bangga dengan pencapaiannya,” tutur Aryanti. Mereka juga belajar sopan santun, bersikap baik, sehingga penghargaan orang terhadap penyandang sindrom Down meningkat.
Baca juga: Memahami Anak Penyandang ”Down Syndrome”
Sejak pertengahan Maret 2020, karena pandemi Covid-19, pertemuan tatap muka dihentikan. Semua pelatihan, seperti melukis, menari, memasak, sejak April, dilakukan secara daring. Ada pula program individu untuk belajar berkomunikasi, dan berhitung.
Tidak mudah melakukan kegiatan secara daring. Banyak anak mogok, mengamuk, atau stres. Mereka tidak bisa lagi ke pusat latihan, pakai seragam, atau bertemu teman-teman dan guru. Tidak mudah memberi pengertian. Orangtua pun kelabakan. Jadwal jadi kacau, bangun terlambat, tidak mau mandi, dan enggan belajar secara daring.
Untuk mengatasi hal itu, guru akan datang membujuk agar anak mau bangun, mandi, pakai seragam, dan belajar. Seminggu sekali dilakukan pertemuan dengan panggilan video berdelapan. Dengan melihat wajah teman-temannya, anak-anak merasa senang.
Menurut Aryanti, anak sindrom Down perlu diberi tanggung jawab di rumah, sehingga tumbuh perasaan berharga. Michael juga memiliki jadwal. Bangun pukul 05.00, mandi, sarapan. Kemudian membersihkan kamar dan menyapu halaman.
Dengan memiliki jadwal rutin dan tanggung jawab, anak mampu membuat keputusan. Ia tidak akan mau diajak pergi sebelum menyelesaikan tugasnya. Juga menerapkan pola makan sehat, misalnya makan sayur sebelum makan ayam.
Membuat keputusan menjadi tema ”Hari Sindrom Down Sedunia” tahun ini, yakni ”We Decide”. Semua penyandang sindrom Down harus berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Adapun 21 Maret dipilih untuk Hari Sindrom Down Sedunia guna menandai keunikan triplikasi (trisomi) dari kromosom ke-21 yang menyebabkan sindrom Down.
Kromosom ekstra
Menurut laman Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, umumnya bayi lahir dengan 23 pasang kromosom. Setiap kromosom dari ayah dan ibu di setiap pasang. Bayi dengan sindrom Down memiliki salinan ekstra di kromosom 21. Hal itu memengaruhi perkembangan intelektual dan fisik anak.
Kebanyakan anak dengan sindrom Down mengalami gangguan kognitif ringan hingga sedang, demikian laman Mayo Clinic. Sindrom Down juga menyebabkan kelainan medis, di antaranya gangguan pada jantung, saluran pencernaan, sistem imun, masalah penglihatan, pendengaran, ortopedi, dan obesitas. Dengan kemajuan kedokteran, kini harapan hidup mereka bisa lebih dari 60 tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan prevalensi sindrom Down 1 per 1.000-1.100 kelahiran di seluruh dunia. Setiap tahun ada 3.000-5.000 anak lahir dengan sindrom Down. Di AS, ada sekitar 6.000 bayi lahir dengan sindrom Down per tahun.
Sementara di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010 menyatakan, proporsi sindrom Down pada anak usia 24-59 bulan adalah 0,12 persen. Pada Riskesdas 2013 menjadi 0,13 persen dan melonjak pada Riskesdas 2018, yakni 0,31 persen.
Baca juga: Orangtua Anak Sindrom Down Berharap Pemerintah Lebih Terlibat
Rini Sekartini, Guru Besar Ilmu Pediatri Sosial FKUI, menyatakan, anak-anak yang pencapaiannya maksimal adalah yang mendapat stimulasi, intervensi, dan terapi sejak dini. Anak dengan sindrom Down biasanya memiliki ciri khas. Dokter anak akan memberitahukan kepada orangtua.
Jika ada keterlambatan pada tahapan perkembangan sesuai usia, misalnya kapan tengkurap, duduk, merangkak, berjalan, berbicara, orangtua bisa berkonsultasi sehingga anak diberi terapi yang sesuai. Diagnosis sindrom Down dipastikan dengan pemeriksaan kromosom.
Secara umum, ciri penyandang sindrom Down, di antaranya tubuh dan leher pendek, wajah datar, lidah terlalu besar dibandingkan mulut, kelopak mata mengarah ke atas, telinga kecil, otot lemah, telapak tangan hanya memiliki satu garis horizontal, dan tubuh terlalu lentur. Terapi yang diperlukan adalah fisioterapi, terapi wicara, terapi okupasi, dan terapi perilaku.
Terkait faktor risiko sindrom Down, National Down Syndrome Society menyebutkan, semakin tinggi usia ibu saat hamil (lebih dari 40 tahun) semakin tinggi kemungkinan memiliki anak dengan sindrom Down.
Selain itu ada faktor genetik, 4 persen kasus sindrom Down didapat dari orangtua yang menjadi pembawa gen. Hal lain, ibu kekurangan asam folat atau mengalami paparan zat kimia beracun, termasuk rokok.
Berprestasi
Dari Indonesia, selain Michael, penyandang sindrom Down yang berprestasi adalah Stephanie Handojo yang meraih medali emas untuk cabang renang 50 meter pada SOWG XIII-2011 di Athena, Yunani. Ia juga mampu memainkan 22 lagu dengan piano tanpa henti (Kompas, 29 Mei 2012).
Laman World Down Syndrome Day 2021 mencantumkan sejumlah penyandang sindrom Down berprestasi dan mampu berkontribusi di masyarakat dari berbagai negara. Mereka, antara lain, adalah Sujeet (39) dari AS yang menjadi musisi dan pembicara motivasi, Janet dari Kanada yang menjadi atlet snowshoeing dan pembicara motivasi. Keduanya tinggal di apartemen sendiri.
Ada pula Sheri dari Afrika Selatan yang terpilih menjadi ”Woman of the Year” versi Afrika Selatan, serta berbicara pada Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa di New York dan Geneva untuk advokasi hak-hak penyandang disabilitas intelektual.
Ia menjadi guru pendamping di sekolah untuk penyandang disabilitas intelektual. Juga George Basil Okudi (49) yang menjadi perwakilan penyandang sindrom Down Uganda pada Down Syndrome International. Okudi yang kuliah perdagangan kini bekerja di sebuah perusahaan distribusi rokok sebagai asisten pribadi CEO.
Dari Indonesia ada Morgan (22), aktivis hak disabilitas yang mampu berbicara bahasa Indonesia, Inggris, dan Perancis. Ia membantu ibunya mengajar setelah mendapat pelatihan ketat selama tiga bulan. Ia juga ikut menulis panduan tentang Covid-19 dengan bahasa awam.
Baca juga: Anak ”Down Syndrome” Butuh Penerimaan dan Perlakuan Sama
Syeda (20) dari Pakistan juga menjadi aktivis hak disabilitas sekaligus seniman. Wirausaha sosial yang mampu berbicara bahasa Inggris, Perancis, Jerman, dan Urdu ini mengelola studio seni digitalnya, Syedaalishba.com. Selain itu, ada penyandang sindrom Down yang menulis dan menerbitkan buku sendiri seperti Angela dari Malta, dan Lauren dari Kanada.
Mereka bisa mencapai potensinya secara maksimal. Tentu saja dengan dukungan keluarga, guru, dan teman-temannya. Kita pun bisa mendukung para penyandang sindrom Down di sekitar kita.