Pelacakan kasus Covid-19 yang masih lemah di Indonesia perlu diperkuat dengan pelibatan aktif masyarakat. Ini bisa menjadi jalan keluar bagi kendala ketersediaan sumber daya manusia.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya pelacakan atau tracing merupakan komponen sangat penting dalam surveilans penyakit menular, selain tes dan isolasi atau perawatan pasien. Pelibatan masyarakat diharapkan bisa mengoptimalkan pelacakan kasus yang selama ini menjadi titik lemah dalam penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Covid-19 Alexander K Ginting, dalam diskusi daring yang diselenggarakan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Jumat (19/3/2021), mengakui, pelacakan kontak dalam penanganan Covid-19 di Indonesia masih lemah. ”Saat ini angkanya masih 1,35, masih jauh,” katanya.
Menurut Alexander, sesuai dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), minimal 10 kontak dari setiap kasus positif harus dilacak dan ditemukan. ”Pelacakan kontak ini menjadi pilar untuk memutus penularan,” katanya.
Harus ada pelibatan masyarakat dalam deteksi dan pelaporan kasus yang bekerja sama dengan tenaga puskemas. (Ajeng Tias Endarti)
Kepala Subbidang Pelacakan Satgas Covid-19 Koesmedi Priharto mengatakan, kendala utama dalam pelacakan adalah keterbatasan sumber daya manusia dan dana. ”Ini menyebabkan selama ini yang positif di karantina, tetapi kontak eratnya dibiarkan. Tetapi, karantina juga tidak mudah karena ada stigma,” katanya.
Menurut Koesmedi, akhir 2020, Kementerian Kesehatan berencana menggandeng Bintara Pembina Desa (Babinsa) serta Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas) dalam upaya pelacakan. Meski demikian, jumlah Babinsa dan Bhabinkamtibmas juga relatif terbatas, selain juga kebanyakan sudah berumur.
”Oleh karena itu, menurut kami paling ideal memang melibatkan kader dan pemuka masyarakat. Selama ini kita gagal karena belum memberdayakan masyarakat,” ujarnya.
Pelibatan masyarakat
Epidemiolog yang juga Pengurus Pusat IAKMI, Ajeng Tias Endarti, mengatakan, surveilans penyakit menular seharusnya berbasis masyarakat mengingat keterbatasan sumber daya. ”Harus ada pelibatan masyarakat dalam deteksi dan pelaporan kasus yang bekerja sama dengan tenaga puskemas,” katanya.
Menurut Ajeng, pelibatan masyarakat dalam surveilans penyakit menular sudah banyak dipraktikkan di negara berkembang. Misalnya, ini terbukti untuk pengendalian cacar dan polio di Nigeria dan ebola di Afrika barat. ”Kita harus menyiapkan kader kesehatan sebagai kepanjangan tangan puskesmas, tetapi juga bagian dari komunitas,” katanya.
Kader kesehatan ini bisa dilatih untuk mengidentifikasi, mendata, dan melaporkan kelompok berisiko tinggi, termasuk membantu mengidentifikasi kontak erat dari warga positif. ”Yang harus dilakukan penyiapan instrumen pendataan dan pelaporan. Ini sudah ada di panduan penanggulangan Covid-19 revisi kelima sebenarnya. Lalu, alur komunikasi kader yang jelas, pemilihan kader, pelatihan, serta sistem pemantauan dan evaluasi,” ujarnya.
Ejeb Ruhyat, Pengurus Daerah IAKMI Jawa Barat, memaparkan pengalamannya mengimplementasikan surveilans bersama masyarakat di Desa Wangunharja, Kecamatan Bekasi Utara, Jawa Barat. Menurut dia, di desa dampingan terdapat kader siaga bencana yang bisa dimanfaatkan untuk posko Covid-19. ”Ini membantu meningkatkan kesadaran warga bahwa kesehatan juga merupakan tanggung jawab masyarakat juga,” katanya.
Menurut dia, partisipasi masyarakat di Desa Wangunharjo cukup tinggi, tetapi perlu peningkatan kapasitas kader, terutama terkait pemahaman akan Covid-19. ”Modal utama kemauan kader sudah ada. Namun, selama ini pengetahuan kader didapatkan dari grup Whatsapp. Tenaga kesehatan masyarakat harus jadi garda terdepan untuk membantu mengatasi masalah kesehatan di desa. Bukan hanya saat pandemi, melainkan untuk program yang lain,” katanya.
Ejeb menambahkan, Desa Wangunharja juga memiliki modal sosial yang bisa dikembangkan untuk membantu menangani Covid-19. ”Di desa sudah ada donatur dan kenclengan (iuran) yang diambil seminggu sekali. Ini sudah ada sebelum pandemi dan sekarang bisa dimanfaatkan untuk membantu jika ada yang positif,” katanya.
Sekretaris Jenderal IAKMI Husein Habsyi mengatakan, IAKMI telah melakukan pengkajian surveilans berbasis masyarakat di 7 desa di 7 provinsi terkait pelaksanaan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mikro. Selain di Bekasi, kegiatan juga dilakukan di Kota Denpasar, Tangerang, Jakarta Barat, Bantul, Boyolali, dan Gresik.
”Saya terlibat dalam evaluasi kegiatan ini di Krukut, Jakarta Barat, dan bisa disimpulkan bahwa kader masyarakat sangat potensial. Ini saatnya menjalankan surveilans berbasis masyarakat bisa digerakkan untuk membantu kegiatan pelacakan di puskemas dan posko PPKM Mikro. IAKMI dan juga mahasiswa kesehatan masyarakat bisa turut serta melatih kader dalam hal promotif dan preventif guna menangani Covid-19,” ujarnya.