Pemerintah Belum Serius Menyikapi Risiko Susu Formula
Risiko kesehatan dari konsumsi susu formula bagi anak belum disikapi pemerintah secara serius. Publik meminta merek yang berisiko kesehatan bisa dibuka untuk publik.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dinilai tidak tegas menyikapi keberadaan susu formula yang diduga punya risiko terhadap kesehatan anak. Selama bertahun-tahun, belum ada regulasi yang spesifik mengatur persoalan susu formula itu.
Kewaspadaan terkait susu formula sebenarnya telah menjadi perhatian publik sejak adanya penelitian dari Institut Pertanian Bogor pada 2008. Laporan itu menyebutkan 22 sampel susu formula dalam negeri terkontaminasi Enterobacter sakazakii. Bakteri ini diketahui berdampak buruk bagi pencernaan hingga persoalan tumbuh kembang anak (Kompas, 2/3/2008).
Direktur Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (UII) Eko Riyadi menyampaikan, kecemasan publik di masa itu mendorong adanya tuntutan agar pemerintah membuka merek apa saja yang dianggap berbahaya. Namun, hingga kini tidak ada tindakan serius berbentuk regulasi yang merespons persoalan tersebut.
Eko menilai pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, abai atas kewajiban memberi jaminan perlindungan terhadap hak atas kesehatan, terutama bagi anak.
”Makna abai yang saya maksud adalah, setelah penelitian di tahun itu, tidak ada tindakan serius yang diambil pemerintah dalam memastikan susu formula itu aman bagi masyarakat,” ujarnya.
Hal itu disampaikan Eko dalam webinar ”Perlindungan Hak Atas Kesehatan bagi Anak terkait Penerapan Hak Asasi Manusia pada Produksi Susu Formula” yang diselenggarakan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Selasa (16/3/2021).
Berdasarkan catatan Kompas pada Maret 2008, bayi adalah kelompok yang paling rentan terdampak bakteri ini. Risiko makin besar pada bayi berumur kurang dari 28 hari, bayi lahir prematur, bayi dengan berat lahir kurang dari 2 kilogram, atau bayi berimunitas rendah. Publikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 13 Februari 2004 pun menyebutkan, sejak 1961-2003 ditemukan 48 bayi sakit karena terinfeksi E sakazakii.
Peneliti Pusat Studi HAM UII Sahid Hadi yang turut hadir dalam diskusi itu juga menyayangkan tidak adanya respons regulasi yang serius dari pemerintah. Padahal, payung hukum terkait perlindungan kesehatan anak banyak tercantum dalam konstitusi negara.
Dia mencontohkan, jaminan atas pemenuhan hak kesehatan anak tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 1997 tentang Kesejahteraan Anak dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Terdapat poin terkait jaminan kesehatan itu meski dipaparkan secara tersirat.
Sahid menambahkan, sejumlah regulasi pemerintah juga menjabarkan lebih spesifik tanggung jawab korporasi kepada pemerintah dan masyarakat. UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, misalnya, menyebut makanan dan minuman yang diedarkan oleh korporasi tidak boleh membahayakan kesehatan, termasuk anak. Regulasi ini juga mengatur sanksi pidana bagi pelanggar.
UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga mengamanatkan korporasi wajib ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan tertinggi bagi anak. Korporasi juga harus menghormati hak setiap anak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
”Dari sejumlah regulasi itu, artinya, secara normatif, peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya sudah memiliki basis legal, bagi siapa pun, baik negara, orang, maupun korporasi untuk menghormati hak anak atas kesehatan,” kata Sahid.
Tim Advokasi Susu Sehat Indonesia David Tobing, dalam diskusi itu, menyampaikan, keseriusan pemerintah dapat dimulai dengan membuka data terkait sejumlah merek susu formula yang dianggap berisiko. Hal tersebut setidaknya memberikan peringatan waspada bagi publik.
Tim Advokasi Susu Sehat Indonesia David Tobing, dalam diskusi itu, menyampaikan, keseriusan pemerintah dapat dimulai dengan membuka data terkait sejumlah merek susu formula yang dianggap berisiko. Hal tersebut setidaknya memberikan peringatan waspada bagi publik.
Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes Kirana Pritasari, pada Agustus 2020 lalu, menyebutkan bahwa Kemenkes selama ini tidak pernah menganjurkan pemberian susu formula. Kemenkes, menurut dia, selalu memprioritaskan penggunaan air susu ibu (ASI) bagi anak usia belia.
”Susu semahal apa pun tidak akan menandingi ASI. Kandungan ASI dapat menyesuaikan sendiri dengan usia bayi,” katanya.
Asisten Deputi Perumusan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sri Pihartini Wijayanti menyampaikan, arahan pemerintah sudah jelas terkait prioritas ASI untuk pertumbuhan bayi. Dengan prioritas itu, memang semestinya susu formula dihindari.
”Arah pemerintah terkait ASI sudah jelas. ASI adalah sumber makanan yang tepat untuk kebutuhan ukuran lambung bayi. ASI sudah sangat cukup dalam memenuhi keseluruhan kebutuhan gizi bayi secara sempurna,” ujarnya.