Seng, mineral yang memiliki sifat antivirus, dinilai bisa membantu mencegah dan mempercepat penyembuhan Covid-19 dengan gejala ringan dan sedang. Namun, hati-hati mengonsumsi. Jika kelebihan, justru beracun.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·5 menit baca
Kompas/Priyombodo
Tenaga medis dan sukarelawan bersama pasien orang tanpa gejala (OTG) Covid-19 mengikuti senam pagi di rumah singgah karantina Covid-19, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (26/5/2020). Ratusan pasien OTG dan pasien dengan gejala ringan Covid-19 telah menjalani perawatan di tempat tersebut sejak beroperasi pada 20 April 2020.
Seng (Zn) merupakan mineral yang naik daun kala pandemi Covid-19. Dalam unggahan di berbagai media sosial, mineral ini disebut sebagai salah satu suplemen yang diandalkan untuk mempercepat penyembuhan Covid-19 dengan gejala ringan sampai sedang.
Hal itu tidak terlepas dari fungsi seng sebagai pendukung sistem imun, penyembuhan jaringan yang rusak, serta fungsi mineral itu terkait indra perasa dan penciuman.
Kajian Yuichi Kubota dari Tokyo Women’s Medical University, Jepang, dan kolega di jurnal Medical Hypotheses, 25 Mei 2020, menyatakan, mengingat belum ada pengobatan standar bagi Covid-19, strategi terapi untuk menangani bersifat suportif. Seng (Zn) dinilai bisa membantu mencegah dan mengobati Covid-19 karena memiliki sifat antivirus.
Suplemen Zn berpotensi meningkatkan imunitas terhadap virus, memulihkan fungsi sel imun atau meningkatkan fungsi sel imun pada pasien yang mengalami gangguan sistem imun atau pasien lanjut usia.
Pemberian suplemen Zn berpotensi meningkatkan imunitas terhadap virus, memulihkan fungsi sel imun atau meningkatkan fungsi sel imun pada pasien yang mengalami gangguan sistem imun atau pasien lanjut usia. Zn juga dapat melindungi atau menstabilkan membran sel untuk menghalangi masuknya virus serta menghambat replikasi pada rhinovirus (virus penyebab pilek), virus hepatitis C, dan virus influenza serta mengurangi aktivitas sintesis RNA dari SARS-CoV-2 (virus penyebab Covid-19).
Sebelumnya, di Journal of Biomedical Science, 10 September 2019, Hadi Ghaffari dan kolega dari Universitas Ilmu Kedokteran Iran melaporkan penelitian terhadap aktivitas antivirus dari nanopartikel seng oksida (ZnO-NPs) dan nanopartikel seng oksida pegilasi (PEGylated ZnO-NPs) untuk melawan virus influenza H1N1. Hasilnya menunjukkan, PEGylated ZnO-NP berpotensi menjadi zat antivirus yang efektif melawan infeksi virus influenza.
Seng termasuk trace mineral alias zat gizi mikro, hanya dibutuhkan dalam jumlah sangat kecil oleh tubuh. Namun, fungsinya sangat penting. Laman Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Harvard menyebutkan, tak kurang dari 100 enzim memerlukan seng untuk melakukan reaksi kimia penting.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Ibu-ibu di Desa Manamas, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT, membawa anak-anak ke puskesmas setempat untuk melakukan pemeriksaan gizi dan pemantauan stunting (tengkes), Maret 2020.
Seng, antara lain, diperlukan dalam pembentukan DNA, pertumbuhan sel, pembentukan protein, fungsi saraf, penyembuhan jaringan yang rusak, serta mendukung sistem imun. Seng diperlukan dalam jumlah cukup selama masa pertumbuhan yang cepat, seperti masa kanak-kanak, remaja, dan kehamilan. Seng juga berperan penting terkait fungsi indra perasa dan penciuman.
Menurut Institut Kesehatan Nasional (NIH), Amerika Serikat, seng mampu mencegah kerusakan sel di retina mata. Karena itu, membantu menunda perkembangan degenerasi makula terkait usia dan kehilangan penglihatan.
Seng juga berperan penting dalam pembentukan dan kesehatan tulang serta membantu mencegah osteoporosis, sebagaimana dilaporkan Patrick O’Connor dan kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas New Jersey, AS, di jurnal MDPI, 12 Mei 2020.
Rekomendasi asupan harian (RDA) untuk orang dewasa adalah 11 miligram (mg) per hari untuk laki-laki dan 8 mg untuk perempuan. Sedangkan perempuan hamil dan menyusui membutuhkan masing-masing 11 mg dan 12 mg per hari.
Kekurangan seng berdampak pada gangguan pertumbuhan, bahkan menyebabkan stunting (tengkes). Kajian tim peneliti dari Swiss dan Iran di Journal of Research in Medical Sciences, Februari 2013, menyatakan, defisiensi (kekurangan) seng selama periode pertumbuhan menyebabkan kegagalan pertumbuhan.
Sindrom anemia, hipogonadisme (gangguan produksi hormon seks pada kelenjar gonad), dan tengkes pertama kali dilaporkan terjadi pada seorang petani Iran berusia 21 tahun pada 1961. Sehari-hari, ia hanya mengonsumsi roti pipih, kentang, dan susu. Sindrom serupa ditemukan pada remaja Mesir dengan pola makan mirip petani Iran, yakni roti dan kacang-kacangan, tanpa daging atau produk hewani.
Disebutkan, sistem pencernaan, saraf pusat, kekebalan tubuh, kerangka, dan reproduksi paling terpengaruh oleh defisiensi seng. Defisiensi umum terjadi pada wilayah dengan pola makan biji-bijian dan rendah produk hewani. Selain itu, pada orang dengan gangguan pencernaan dan autoimun seperti penyakit Crohn, vegetarian dan vegan, perempuan hamil dan menyusui, penderita anemia sel sabit, gangguan ginjal, serta pencandu alkohol.
Kompas
Biji-bijian dan kacang-kacangan mengandung banyak vitamin dan mineral, tetapi mengandung juga senyawa asam fitat yang menghambat penyerapan mineral.
Meski sejumlah biji-bijian dan kacang-kacangan kaya akan seng, tetapi sulit diserap tubuh. Umumnya produk nabati mengandung asam fitat yang menghambat penyerapan mineral.
Sebuah penelitian di perdesaan Meksiko mendapati, 82 persen anak usia 18-36 bulan kekurangan setidaknya dua dari lima zat gizi mikro (mikronutrien), yakni zat besi, seng, vitamin A, vitamin B-12, dan riboflavin.
Untuk mengatasi defisiensi seng, ada empat strategi intervensi, yakni modifikasi atau diversifikasi makanan, yakni menambah produk hewani dalam pola makan, suplementasi dengan tablet Zn, fortifikasi pada makanan, dan bio-fortifikasi (pemberian Zn pada pemupukan). Dengan itu diharapkan tengkes bisa dicegah.
Gejala defisiensi seng pada bayi adalah diare. Di sisi lain, diare juga menyebabkan seng banyak terbuang. Selanjutnya, defisiensi seng menyebabkan gangguan fungsi kognitif, yakni ketidakmampuan belajar dan berpikir, masalah perilaku, gangguan daya ingat, dan atrofi saraf.
Masalah kulit sering terjadi seiring bertambahnya usia anak. Selain itu, rambut rontok, hambatan pertumbuhan, dan infeksi berulang. Sedangkan pada orang tua terjadi borok kronis, juga infeksi berulang. Gejala lain adalah gangguan suasana hati, kurang nafsu makan, serta gangguan indra perasa dan penciuman.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Pedagang daging sapi di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, sedang menunggu pembeli, Minggu (24/1/2021). Daging merah, ayam, dan makanan laut kaya akan mineral seng yang bermanfaat untuk pertumbuhan sel, pembentukan protein, fungsi saraf, penyembuhan jaringan yang rusak, serta mendukung sistem imun.
Sumber mineral seng antara lain daging merah, ayam, dan makanan laut. Juga keju, susu, dan telur.
Suplemen Zn bisa membantu mengatasi defisiensi seng. Namun, konsumsi tambahan seng harus dengan petunjuk dokter, maksimal 40 mg per hari. Kelebihan seng bisa menyebabkan keracunan. Gejalanya mirip kekurangan seng, yakni mual, muntah, diare, kurang nafsu makan, sakit perut atau kram, dan sakit kepala.
Menurut laman Mayo Clinic, konsumsi seng oral dalam jangka panjang dan dosis tinggi dapat menyebabkan defisiensi tembaga. Orang dengan kadar tembaga rendah bisa mengalami masalah neurologis, seperti mati rasa dan kelemahan pada lengan dan kaki.
Jadi, hati-hati mengonsumsi seng. Meski penting dan berguna, kelebihan seng bisa berakibat buruk.